SOREN KIERKEGAARD

Sebuah Penyerahan Akal kepada Iman?


Sunlie Thomas Alexander *

“Ala din al-shalib yakunu mawti,
wa la al-bathha uridu wa la al-madinah.”
—Al-Hallaj, Syarh Diwan al-Hallaj, ed. Kamil Mushthafa asy-Syibi—

Kierkegaard Sang Tragedi

“APAKAH artinya menjadi seorang Kristen?” barangkali adalah pertanyaan pokok dalam hidup bagi seorang Soren Kierkegaard, filsuf dan teolog Denmark yang dianggap sebagai pendiri filsafat eksistensialis itu.

Kierkegaard dilahirkan di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Anak seorang pedagang grosir bernama Michael Pedersen Kierkegaard yang menikahi seorang pembantu tidak berpendidikan, Ane Sorendatter Lund; setelah isteri pertamanya meninggal.

Kierkegaard kecil mendapatkan pendidikan di sekolah putera yang prestisius di Borgerdydskolen, kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Kopenhagen. Di sinilah ia belajar filsafat dan teologi kepada sejumlah tokoh seperti F.C. Sibbern, Poul Martin Moller, dan H.L. Martensen.

Konon pemikiran-pemikiran Kierkegaard yang ekstrim di bidang filsafat dan teologi, terutama mengenai kedudukan Tuhan yang transendental, banyak dipengaruhi oleh tragedi dalam hidupnya sendiri. Seperti kenyataan ayahnya yang merasa tak pernah lepas dari dosa mengutuk Tuhan, dan kematian saudara-saudaranya dalam usia muda, juga gagalnya pertunangannya dengan Regina Olsen yang membuat ia melajang seumur hidup.

Tetapi bakatnya di bidang filsafat barangkali memang dipengaruhi oleh diskusi-diskusi mengenai filsafat Jerman yang sering dilakukan oleh ayahnya di rumah mereka. Sehingga dalam usia dua puluh tahun, ia sudah mulai menulis salah satu karya terbaiknya, Journals.

Ciri khas tulisan-tulisannya yang sukar dipahami adalah kegemarannya menggunakan komunikasi tidak langsung, sindiran, dan nama samaran (pseudonym). Ia tak pernah ingin menjadi pemikir yang sistematik dan menyenangi pertentangan arti (paradox).

Seperti halnya para filsuf eksistensialis lainnya, riwayat hidup Kiekegaard merupakan petunjuk yang berarti dalam memahami filsafatnya. Kita tak dapat mengetahui riwayat hidupnya secara terperinci, tetapi kesedihannya, pendidikan aliran Protestan Ortodoks-nya, serta lamarannya yang gagal agaknya memang telah memberikan pengaruh yang luas kepada tekanannya terhadap eksistensialis.

Pemikiran Descartes, Hegel, dan Kant dalam tradisi filsafat Barat yang beralih dari objek kepada subjek merupakan titik keberangkatan pemikiran Kierkegaard sekaligus sasaran kritiknya. Karena manusia, menurut Kierkegaard, sesudah memperoleh pengetahuan sebagai subjek yang berhadapan dengan alam (Penahu/ Knower) masih harus menjatuhkan pilihan yang sepenuhnya berada di tangannya berdasarkan gairah (passion) dan komitmen.

Modus kontemplasi yang selama ini sering diklaim sebagai aktivitas rasional manusia yang paling tinggi telah membuat manusia berjarak dengan hidup sehari-hari yang penuh konflik. Dalam pemikiran Kierkegaard: manusia selalu berada dalam situasi eksistensial yang menggugatnya untuk senantiasa berpikir dalam eksistensi ketika ia berhadapan dengan pilihan-pilihan personal.

Kontemplasi menurut Kierkegaard, telah membuat manusia cenderung menjadi pemerhati (spectator) yang berbeda dengan pelakon (actor). Meskipun seorang spectator juga bisa disebut eksistensi, tetapi eksistensinya tidaklah jauh berbeda dengan benda-benda: yang pasif, kosong, dan emosional. Sementara, actor adalah seorang yang terlibat secara partisipatoris dan penuh emosi. Seorang pelaku aktif yang benar-benar tahu.

Karena itu, filsafat bagi Kierkegaard tidak patut meninggalkan manusia konkrit. Filsafat harus peka-gairah, praktis, subjektif, dan eksistensialis. Filsafat yang jauh dari sifat instruktif dan objektif tidak memiliki “kuasa” untuk memberi petunjuk ke arah hidup dan menjelaskan segala sesuatu secara objektif, lantaran sifatnya yang abstrak dan berjarak dari hal-ihwal keseharian yang menuntut ‘passionate involvement’ (keterlibatan yang bergairah).

Sebuah Penyerahan kepada Iman?

PENGETAHUAN manusia yang baik, menurut Kierkegaard, tidaklah pernah akan cukup dan menjadi jaminan. Karena kebenaran adalah subjektif; bukan apa yang kita renungkan secara berjarak, tetapi apa yang kita ciptakan melalui pilihan-pilihan yang melulu personal. Ia selalu menjelma melalui pilihan kita sebagai actor (dalam sulaman eksistensi), bukan hal yang selalu siap pakai.

Tidak ada yang menentukan apa yang kita pilih selain diri kita sendiri dengan komitmen penuh, lantaran sifat pilihan yang teramat subjektif dan individual. Bagi Kierkegaard: apapun jadinya diri kita, sepenuhnya memang tergantung pada apa yang kita pilih. Namun kita tidak pernah tahu, apakah kita akan menjadi lebih baik atau lebih buruk karena pilihan yang kita jatuhkan tersebut. Ketidakpastian inilah, kata Kierkegaard, yang selalu membuat kita gundah (agony). Karena itu menurutnya, manusia harus berupaya mengatasi keterbatasannya sekaligus melepaskan diri dari kegundahan.

Namun, jalan satu-satunya bagi kita untuk keluar dari jurang keraguan bukanlah kesadaran bahwa kita mesti tergantung pada diri kita sendiri. Jalan satu-satunya hanyalah keputusasaan. Dalam keputusasaannya, manusia berserah total kepada Tuhan, Sang Tak Terbatas. Ini adalah kritikan Kierkegaard atas pernyataan Kant yang menyatakan manusia harus bersifat otonom, dalam pengertian mempercayai keputusan yang menjadi pilihannya.

Karena menurutnya, hanya melalui relasi tak berhingga dengan Tuhan, keraguan manusia akan redam, kecemasan berubah menjadi kesenangan. Manusia berada dalam relasi yang tak berhingga dengan Tuhan ketika ia mengenali Tuhan senantiasa berada dalam kawasan kebenaran, sedangkan ia sebaliknya.

Kierkegaard menafsirkan kejatuhan manusia dalam doktrin Kristen (pada kitab Kejadian) sebagai suatu kejatuhan dan ketercabutan dari kondisi yang tak terbatas (baca: Taman Firdaus) dan terlempar kepada yang serba terbatas (baca: dunia). Kejatuhan yang membuat manusia terasing dari wujud esensialnya (baca: gambar dan rupa Allah), di mana hal itu mengantarkannya pada kecemasan yang akut. Kodrat manusia adalah relasinya dengan Sang Tak Terbatas, dan eksistensi adalah kondisi dari akibat keterasingannya dengan Tuhan. Maka karena itu manusia akan selalu berada di wilayah eksistensi.

Analisis Kierkegaard memang masih dalam rangka kritiknya terhadap dialektika Hegel, tetapi kebalikan dengan teori Hegel mengenai perkembangan gradual kesadaran diri. Hegel menyatakan bahwa gerak dialektika kesadaran adalah pergerakan dari satu tingkat kesadaran intelektual ke tingkat kesadaran lain melalui proses berpikir. Tetapi Kierkegaard mengatakan gerak manusia dari satu tingkat eksistensialis ke tingkat eksistensialis lainnya berdasarkan dorongan kehendak dalam menjatuhkan pilihan. Dialektika Hegel bergerak pelan-pelan menuju pengetahuan yang universal, sementara dialektika Kierkegaard melibatkan aktualisasi progesif yang individual.

Bagi Kierkegaard, rahasia religius adalah individual, tidak dapat mengobjektivikasi Tuhan. Lantaran Tuhan adalah subjek dan hadir hanya untuk subjektivitas manusia. Lewat rasa putus asa dan berdosa, manusia dibawa ke suatu momen penentuan dalam hidupnya ketika ia menghadapi pilihan dari keimanan sebagaimana pengalaman Abraham (Nabi Ibrahim A.S.) tatkala memutuskan mengorbankan Ishaq (versi Islam: Ismail) dalam paradigma-empiris revolusi Tauhid: suatu ketegangan antara kemerdekaan dan penghambaan total! Kehilangan Tuhan dalam hidup manusia, sama sekali bukanlah kehilangan sesuatu yang objektif, tetapi subjektif.

Menuju Agama Kristen yang Otentik

“APAKAH artinya menjadi Kristen?”

Jawaban Kierkegaard tidaklah memperhatikan “wujud” secara umum, tetapi hanya memperhatian eksistensi individual. Ia berharap kita memahami iman Kristen yang sungguh-sungguh otentik. Kierkegaard berpendapat ada dua musuh bagi agama Kristen, yaitu filsafat Hegel dan adat kebiasaan (convention), khususnya adat kebiasaan para pengunjung gereja.

Kierkegaard menuduh pemikiran abstrak dalam filsafat Descartes dan Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kefakiran akan arti kehidupan. Tulisan Hegel tentang “pikiran murni”(pure thought), baginya adalah lucu, karena merupakan pikiran tanpa pemikir. Karena itu agama Kristen tidak boleh menjadi agama yang masuk akal (reasonable). Ia tidak suka pembelaan pada agama Kristen yang menggunakan alasan-alasan objektif-logis.

Bagi Kierkegaard, seorang umat Kristen yang biasa dan tidak berpikir mendalam mungkin seorang umat yang baik, tetapi ia tidak menghayati agamanya. Ia memiliki agama yang kosong (depersonalized) dan mungkin tidak pernah mengerti apa arti seorang Kristen.

Kierkegaard juga melawan kehadiran faktor perantara (pendeta, sakramen, gereja) sebagai penengah/wasilah manusia dengan Sang Pencipta. Tuhan baginya bertahta di atas segala ukuran sosial dan etika. Jarak antara manusia dan Tuhan hanya bisa dilebur dalam kesangsian yang berarti membiarkan manusia dalam kecemasan eksistensial.

“Tiap orang yang belum merasakan pahitnya putus asa telah kehilangan arti kehidupan, walaupun ia hidup dengan senang dan indah,” yang artinya jika seseorang berada dalam kecemasan ia harus meninggalkan akal dan memeluk keyakinan. Dalam lompatan keyakinan yang dashyat (leap of faith), manusia memeluk sesuatu hal yang tak masuk akal—di sanalah agama Kristen bermula. Agama kristen, bagi Kierkegaard, telah mengambil langkah spektakuler, langkah menuju yang tidak masuk akal (baca: iman akan Tuhan).

Pemikiran Kierkegaard ini mungkin boleh dikatakan sebagai sebuah pembelaaan atas iman dan doktrin Kristen yang istimewa dan ekstrim, terlebih menyangkut konsep ketuhanan yang Tritunggal (Trinitas). Karena sejak semula dan pada akhirnya, Trinitas adalah sebuah konsep tentang Tuhan Yang Transenden dan Imanen. Tuhan yang berada di luar keterbatasan akal manusia dan yang hadir secara terus-menerus dalam sejarah manusia (kolektif maupun personal). Di sini, kita harus memahami bahwa Tuhan yang masuk akal bukan lagi Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Tak Terbatas, melainkan Tuhan yang dikonstruksi oleh pikiran manusia.

Kritik Keras Kierkegaard terhadap Gereja

KARENA itulah, tidak mengherankan bila Kierkegaard menentang habis-habisan Danish Lutheran Church dan usaha menjadikan agama Kristen itu masuk akal. Dalam karyanya Attack upon Christendom (1848), setidaknya ada sepuluh artikel mengkritik Gereja yang menurutnya telah menyimpang dari hakikat Gereja yang semestinya.

Kierkegaard menganggap para pendeta dan Gereja tidak lagi mewartakan Injil Yesus Kristus, tetapi mewartakan pesan kemapanan dan kegembiraan. Gereja justru memberikan rasa aman, penghargaan dan kedudukan dalam masyarakat. Gereja, menurutnya, telah mempermainkan Allah dengan memberitakan sesuatu yang menyimpang dari kekristenan Perjanjian Baru.

Kecaman Kierkegaard yang keras ini tentu saja menimbulkan reaksi balik dari pihak Gereja, antara lain ancaman sanksi Gereja dari Diaken Bloch, yang kemudian ditanggapi lagi olehnya lewat tulisan: “Bila saya tidak mengubah diri, Sang Diaken akan menghukum saya dengan sanksi Gereja. Lalu bagiamana? Hukuman itu memang direncanakan dengan kejam; sebegitu kejamnya sehingga saya mengatakan kepada para wanita untuk menyediakan obat amonia agar mereka tidak pingsan sewaktu mendengarnya. Bila saya tidak mengubah diri, pintu Gereja akan tertutup bagi saya. Mengerikan! Jadi, bila saya tidak mengubah diri, saya akan sendirian di luar pintu, dan pada hari Minggu saya tidak dapat lagi mendengar kefasihan bicara para saksi kebenaran.” (Attack upon Christendom 47).

Karya-karya Kierkegaard banyak mempengaruhi tokoh-tokoh lain seperti Heidegger, Sartre, bahkan para teolog abad ke-20 seperti Karl Barth, Rudolf Bultmann, Paul Tillich, dan Dietriech Bonhoeffer.

Pada dasarnya, karya-karyanya dapat dikelompokkan dalam dua periode. Periode pertama ditulis antara 1841 dan 1845. Sebagian besar bernuansa filosofis dan estetis, beberapa ditulis dalam nama samaran, Johannes Climacus. Karya-karya dalam periode ini ialah The Concept of Irony with Constant Reference to Socrates (1841), Either/Or (1843), Fear and Trembling (1842), The Concept of Dread (1844), Stages on Life’s Way (1844), Philosophical Fragments(1844), Concluding Unscientific Postscript to the Philosophical Fragments (1846), dan sejumlah Edifying Discourses.

Karya-karya periode keduanya lebih ditekankan pada kekristenan. Pada masa ini, tulisan-tulisannya banyak ditujukan pada Gereja. Karya-karya yang ia hasilkan pada masa ini ialah Works of Love (1847), Christian Discourses (1848), dan Training in Christianity (1850). Sementara itu, Journals terus ia tulis sampai akhir hayatnya.

Akhir Hayat Seorang Pemberontak yang Religius

MESKIPUN melancarkan kritik yang sangat keras terhadap gereja, Soren Kierkegaard tetap berkunjung ke gereja. Tidak untuk menghadiri ibadah. Ia hanya duduk di luar gereja dengan tenang pada hari Minggu. Namun, ia tetap memberikan perpuluhan kepada gereja.

Tatkala ia hendak pulang ke rumah dengan uang terakhir yang dimilikinya, Kierkegaard terjatuh tak sadarkan diri. Ia dibawa ke rumah sakit dan meninggal lima minggu kemudian. Ia meninggal pada tanggal 11 November 1855. Pemakaman Kierkegaard tidak dihadiri oleh seorang pendeta pun. Hanya dua orang sepenting Peter, saudara laki-lakinya yang telah menjadi uskup, dan seorang dekan dari sebuah katedral.[]

Yogyakarta, September 2007

____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Leave a Reply

Bahasa »