Tentang Buka-buka Baju Itu

Bambang Bujono
Majalah Horison, Nomor 2 tahun XI, Peb 1976

Tanggapan atas kecaman Gubernur Ali Sadikin tentang adegan telanjang yang dilontarkan dalam memberi sambutan penutupan “Festival Desember” 10 Januari yang lalu, datang dari berbagai pihak. Tulisan-tulisan Indonesia O’ Gelelano(IOG), Virga Belan (VB), Ras Siregar (RS), S. Rahardjo Rais (SRR) dan beberapa lagi ternyata menarik: tulisan-tulisan ini tak hanya berbicara perkara “buka baju” saja, namun ada juga yang lain.

Misalnya ini: Sedekaden-dekadennnya atau seporno-pornonya pameran atau pergelaran di TIM toh itu adalah seni, hasil daya cipta yang tidak bisa digugat oleh mereka yang tidak mengerti seni (VB: “Kecaman Gubernur DKI terhadap TIM”, Merdeka, 27 Januari 1976). Bukan hanya porno, tapi juga – dan saya kir aini sasarannya – nilai keseniannya itu sendiri. Yang lebih terdengar lebih keras adalah: “Biaralah TIM yang megah dan dibangun dari uang rakyat yang masih sengsara ini dipakai untuk experimen seni agung, seni berkilau-kilauan, seniman-seniman telanjang …. Kita mudah saja menebak bahwa di belakang mereka ini barangkali bekerja sebuah kekuatan yang dengan bodoh naif maupun sadar sesadar-sadarnya sedang menggerogoti kultur penonton, rakyat dan negara kita (IOG, “Dewan Kesenian Jakarta Mulai Beringsut Dengan Penampilan Kesenian yang Jorok,” Pelita, 13 Januari 1976). Saya kira ada semacam prasangka politis yang mendasari tulisan IOG tersebut. Sebuah tanggapan yang tidak jelas sikapnya, yang mengatakan bahwa adegan-adegan jorok, telanjang, kata-kata jorok serta caci-maki konyol tidak lebih hanya sensasional konyol atau over acting semata-mata, ditutup dengan : “Tetapi barangkali semacam keberanian yang patut disambut gegap gempita karena mempunyai nilai-nilai pembaharuan (SRR, “Bumerang”, Pelita, 27 Januari 1976).

Ada hal-hal yang kemudian terbuka. Jorok atau porno ternyata hanya digunakan sebagai pintu untuk mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap segala macam yang disuguhkan di TIM. Kalau toh mau berbicara tentang ketidakpuasan, saya kira mereka yang mengemudikan DKJ beserta TIM –nya, itu pun merasa begitu . Dan hal ini baik. Artinya apabila ketidakpuasan itu dijadikan pendorong pencarian untuk meningkatkan nilai keseniannya, pada jalur yang proporsional , ini positif. Namun apabila itu digunakan untuk memaksakan selera masing-masing, tanpa membicarakan pokok persoalan secara proporsionil, memang bisa kacau. Yang diperlukan adalah pertukaran pikiran.

Kemudian orang mensinyalir bahwa itu semua bisa terjadi karena adanya kebebasan seni yang mutlak. Seperti yang ditulis oleh IOG, “… Walaupun tanpa papan nama semua orang sudah tahu, seni di atas segala-galanya, kebebasan adalah segala-galanya. Semua orang mengeluhkan kurangnya variasi.” (“Gubernur dan DPRD DKI boleh-boleh Saja Dengar ARgumentasi Khayali Para Seniman , Terpengaruh, Jangan!” pelita, 20 Januari 1976). Agak aneh sebutulnya sinyalemen itu. Soalnya apabila dibutuhkan variasi, pertama-tama yang diperlukan tentunya kebebasan. Justru tanpa kebebasan variasi akan menciut.

Tapi apa sebetulnya, yang dikehendaki oleh IOG bisa dibaca pada kelanjutan tulisan tersebut, “Maksudnya agar dalam penampilan karya seni budaya tidaklah seharusnya hanya kaidah dan mazhab seni budaya yang menjadi pedoman dan pertimbangan, tapi adalah juga aspek moral, yang dalam hal ini adalah soko gurunya.”

Saya kira kalau orang sudah menerima berjenis-jenis nama untuk hal-hal yang ada di dunia itu, artinya hal-hal tersebut berbeda satu dan lainnya. Sebuah kursi adalah tempat untuk duduk. Kalau ada orang yang menggunakan meja misalnya, dan karena itu ia dirugikan, misalnya saja digunakan untuk menaruh gelas dan kemudian gelas itu jatuh dan pecah, itu salahnaya sendiri. Demikian juga kalau ada orang yang menilai kursi hanya dari bentuknya yang bagus, tanpa menilai apakah nyaman untuk duduk, tentulah penilaian itu tidak menentukan mana kursi yang baik. Jadi, pertama-tama untuk menilai sesuatu tentulah sewajarnya bertolak dari kodratnya itu sendiri. Dan karya seni, pertama-tama adalah karya seni, dan bukannya alat propaganda politik maupun agama maupun yang lain.

Memang benar dalam karya seni yang besar di dalamnya tidak hanya ada seninya saja; tapi hal-hal lain yang terkandung di dalamnya. Bak hujan, akan menjadi lebih hebat apabila disertai guntur dan kilat. Namun guntur dan kilat bisa terjadi tanpa hujan; dan apabila itu kemudian disebut hujan orang mana akan percaya?

Sebuah tulisan yang mencoba bersikap netral datang dari Ras Siregar, improvisasi ke arah sana memang mungkin terjadi. Improvisasi telanjang bugil, improvisasi bersetubuh dan improvisasi berak, merupakan improvisasi yang menurut ukuran seni , merupakan suatu gerak yang akan menciptakan suatu idea baru, bila benar dilandasi oleh faktor keindahan yang terarah,: (“Seniman dan Masyarakat”, berita Buana 19 Januari 1976).. tapi tak urung disambungnya dengan mengemukakan persyaratan berikutnya, ialah publik. “Tapi jelas ketergantungan timbal balik antara seniman dan masyarakat merupakan suatu ha yang tidak dapat dipisahkan, yang sudah ditakdirkan menjadi dua kutub insan yang saling membutuhkan. Inilah soalnya.”

Berbicara tentang publik, IOG lebih jelas. “Sentuhan kita bagi pesan yang diajukan oleh Putu Wijaya dengan teater luka hanya tergerak manakala kita pada mulanya mempunyai persiapan ke arah itu. Dan terhadap hal begini orang harus bicara dulu tentang apresiasi dan penontonnya (Gubernur dan DPRD….” Berita Buana, 20 januari 1976).

Sebetulnya pangkal tolaknya bukanlah dari itu, apresiasi publik. (Soalnya kalau mau bicara tentang itu, kita lihatlah pementasan “Lho” selama lima hari yang selalu penonton itu; tak seorangpun melakukan protes. Bukan bahwa diantara mereka tak ada seorangpun yang keberatan, mungkin ada juga, tapi bahwa mereka telah menjadi penonton yang baik dan tahu bahwa yang ditontonnya adalah kesenian). Soalnya adalah kita sudah terlanjur menerima adanya Dewan Kesenian jakarta beserta Taman Ismail Marzuki-nya. Namanya saja Dewan Kesenian, tentulah kriteria yang digunakan adalah kriteria kesenian. Kalau kemudian timbul masalah moral dan sebagainya yang di luar itu, bukan berarti tak bisa dipersoalkan. Namun berbicara soal mutu keseniannya, dan ini adalah paspor bagi karya-karya seni untuk bisa bermain di TIM, sewajarnyalah dengan kriteria kesenian.

Yang kemudian dikhawatirkan adalah apabila hal-hal itu menular kepada kaum remaja, yang notabene memang sudah terjadi. Tapi barangsiapa yang mengikuti pementasan-pementasan group-group teater remaja, akan mendapatkan, bahwa tidak hanya seni :telanjang” saja yang mereka tiru, namun juga protes-protes sosial di atas panggung. Ini harus dilihat sebagai semangat latah, semangat mau terkenal, semangat mau dibicarakan, semangat nakalnya anak-anak muda. Tapi percayalah bahwa mereka tak punya maksud-maksud jahat. Dan kalau ada ekses berlebih-lebihan, itu biasa. Tiru-meniru mereka itu memang banyak kali tak fungsional: asal protes, asal buka baju, asal yang aneh-aneh,. Pokoknya asal menarik. Bukankah mereka juga ingin populer macam Rendra, yang notabene sudah populer tapi masih aneh-aneh juga itu kan?

Dan itu semua tidak akan bertahan lama,. Kalau nanti ada teaterawan baru yang rapi, berdasi, serba bersih dalam pementasan maupun hidupnya, percayalah bahwa remaja-remaja itu akan berkiblat ke sana.

Memasalahkan moral dan kesenian memang bisa panjang dan bukan hal baru. Melarang hal-hal yang disebut porno dalam pementasan-pementasan itu gampang. Tapi bagaimana caranya? Sementara satu kelemahan sensor adalah, bahwa ia melarang hal-hal yang belum jelas benar pengaruhnya terhadap masyarakat. Sensor mungkin saja jatuh ke dalam penilaian estetik yang sembarangan, yang meremehkan, sementara dalam moral ia terlalu berlebihan.

Kita memang tidak pernah bisa tahu persis, mana kesenian yang merugikan masyarakat dan mana yang bermanfaat. Pertama, karena kesenian memang membutuhkan sikap estetik untuk memungkinkan terjadinya pengalaman estetik yang adalah pengalaman menikmati sesuatu sebagaimana yang terlihat, sebagaimana yang terdengar, tanpa kehendak untuk menghubungkannya kepada hal-hal di luar itu. Tak ada masalah berguna atau merupakan. Kedua yang disebut masyarakat itu bersifat majemuk. Dan dalam kemajemukan selalu saja ada pertentangan. Menguntungkan sepihak , selalu saja mungkin merugikan pihak lain. Dan pun istilahnya “masyarakat” bersifat abstrak. Yang konkrit adalah orang-orang. Artinya berbicara atas nama masyarakat, perlu diragukan, apakah tidak hanya berbicara atas namanya sendiri atau paling atas nama sekelompok orang. Ketiga, yang disebut moral itu berubah.

Bukannya bahwa pendapat individu itu tak perlu ada, justru itu yang penting. Namun bagaimana pendapat itu tidak keluar dari proporsi masalah, sehingga bisa terjadi pertukaran pikiran yang wajar. Bukannya dari sebuah foto kemudian orang berbicara tentang pementasan, atau dari sepotong kalimat orang berbicara tentang novel.
***

https://seputarteater.wordpress.com/2015/10/14/horison-1976-tentang-buka-buka-baju-itu/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *