BENTUK BAHASA BERLEBIHAN

Djoko Saryono *

“Bukan hanya makan kita acap berlebihan, berbahasa pun kita sering berlebihan. Kita gemar memakai bentuk-bentuk berlebihan yang hanya memboroskan kata, bahkan menghabiskan tempat menulis saja”, Cak Jumali sudah nyerocos sesaat setelah tiba di Kafe Literasi, tempat ngopi sembari berliterasi bersama Gus Jabbar dan Cak Mendol. “Ups…stop…stop… Baru tiba, belum duduk, sudah memuntahkan isi mitraliurnya!”, ledek Gus Jab. “Ya, rilekslah sedikit. Duduk dulu, menyeruput kopi, baru jelaskan perkara berlebihan dalam berbahasa Indonesia”, imbuh Cak nDol. Tanpa bersuara, Cak Jum menuruti keduanya, duduk lalu memesan kopi. “Nah, sembari menyeruput kopi, sekarang silakan Cak Jum melanjutkan omongan tadi, bentuk berlebihan dalam berbahasa!”, sila Cak nDol.

Dalam komunikasi sehari-hari, jelas Cak Jum, kita sering memakai bentuk-bentuk bahasa Indonesia yang berlebihan, entah disadari atau tidak, akibat tidak tahu atau ceroboh. Baik dalam pertuturan lisan maupun dalam tulisan kita sering, malah dalam frekuensi tinggi, memakai berbagai frasa atau untaian kata yang boros, bersifat berlebihan. Misalnya, bentuk seperti sangat banyak sekali, seringkali, bukan hanya pelajar saja, zaman dahulu kala, dan demi untuk. “Di mana salahnya bentuk-bentuk itu?”, usut Gus Jab. “Bukan masalah salah atau benar, bentuk tersebut bermasalah karena berlebihan, boros, tidak hemat! Tidak berguna dalam tuturan atau tulisan”, tandas Cak Jum. “Coba terangkan apa maksudmu Cak Jum. Kami ingin tahu.”, goda Cak Mendol dengan gaya suara menirukan lagu lama Semalam di Malaysia.

Mengapa berlebihan? Dalam susunan sangat banyak sekali, kata sangat dan sekali sama-sama berfungsi penyangat, seyogianya cukup digunakan salah satu. Misalnya, kalimat Baiq Nurul menerima dukungan sangat banyak sekali untuk memperoleh amnesti, perlu diubah menjadi Baiq Nurul menerima dukungan sangat banyak/banyak sekali untuk memperoleh amnesti. Demikian juga kata sering sudah bermakna berkali-kali sehingga kalau ditulis/diucapkan seringkali menjadi berlebihan, boros karena kata seringkali artinya berkali-kali kali. Misalnya, kalimat KPK seringkali melakukan OTT perlu diperbaiki menjadi KPK sering melakukan OTT. Selanjutnya kata hanya dan saja dalam susunan bukan hanya pelajar saja perlu dipilih salah satu karena sama-sama berfungsi sebagai penegas. Kalimat Bukan hanya pelajar saja yang memperoleh hadiah dari presiden, misalnya, hendaknya diperbaiki menjadi Bukan hanya/Bukan pelajar saja yang memperoleh hadiah dari presiden. Lebih lanjut, kata zaman dan kala sama-sama menunjuk jangka waktu sehingga kalau dipakai bersamaan terasa berlebihan, cukup dipakai salah satu. Susunan masa dahulu kala juga berlebihan, cukup dipakai masa dahulu atau dahulu kala. Kalimat seperti Ketangguhan Pancasila sudah teruji sejak zaman dahulu kala perlu dicermatkan menjadi Ketangguhan Pancasila sudah teruji sejak zaman dahulu/dahulu kala. Lebih jauh lagi, kata demi dan untuk berfungsi sama sehingga cukup dipakai salah satu. Tidak perlu kita menulis atau berucap Demi untuk mencegah ekstremisme kita harus selalu waspada, tetapi cukup Demi/Untuk mencegah ekstremisme kita harus selalu waspada.

“Dibandingkan dengan jumlah pola atau bentuk frasa bahasa Indonesia yang demikian banyak, bukankah jumlah bentuk bahasa berlebihan tersebut tidak seberapa?”, Cak Ndol menanggapi uraian Cak Jum. Memang bentuk berlebihan dengan pola di atas tidak seberapa banyak, tetapi frekuensi pemakaiannya sangat tinggi. Kalau kita cermati lebih seksama pemakaian bahasa Indonesia baik di media massa maupun di media-media lain, bentuk bahasa Indonesia yang berlebihan dengan pola sejenis di atas masih ada. “Taruhlah, misalnya, bentuk agar supaya, adalah merupakan, namun demikian.“, Cak Jab urun pendapat seraya menyeruput kopinya. “Betul sekali, Cak Jab”, sambar Cak Jum. Kata agar dan supaya sama-sama berfungsi penghubung dan bisa saling menggantikan sehingga cukup dipakai salah satu, misalnya dalam kalimat Pemerintah Jawa Timur melaksanakan berbagai perbaikan sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi agar/supaya Indeks Pembangunan Manusia meningkat secara berarti. Demikian juga adalah dan merupakan memiliki persamaan makna dan fungsi sehingga cukup dipilih salah satu, tidak perlu dipakai secara bersamaan. Cukup dikatakan Kedisiplinan ASN adalah/merupakan kunci meningkatnya kinerja birokrasi, tidak perlu dikatakan Kedisiplinanan ASN adalah merupakan kunci meningkatnya kinerja birokrasi. Kata namun merupakan penghubung yang menandai perlawanan dan bermuatan makna tetapi atau meskipun demikian, sehingga tak perlu dilekati kata demikian. Bentuk namun demikian dapat diartikan meskipun demikian demikian yang selain berlebihan, juga ceroboh dan tak berterima. Cukuplah kita menulis Namun, peningkatan Indeks Kebahagiaan Penduduk Jawa Timur tidaklah mudah, tidak perlu menulis Namun demikian, peningkatan Indeks Kebahagiaan Penduduk Jawa Timur tidaklah mudah. Dengan cara-cara demikian, kita bukan hanya pas atu tidak berlebihan memakai bentuk bahasa, tetapi juga hemat dan cermat berbahasa.

“Apakah bentuk bahasa Indonesia yang berlebihan hanya berpola seperti di atas?”, celutuk Cak Mendol yang sejak tadi lebih banyak menyimak. “Jangan hanya bertanya. Ikut urun pendapat dong!”, sambar Gus Jab. “Tentu saja tidak. Ada bentuk-bentuk dengan pola lain.”, tegas Cak Jum menjawab. Coba perhatikan kata-kata seperti penganalisisan, penstandardisasian, pernormalisasian, dan pengakselerasian yang sangat sering dipakai oleh penutur bahasa Indonesia dalam percakapan dan tulisan. Kata-kata benda yang bermakna proses atau kegiatan tersebut dibentuk dari imbuhan pe-an + bentuk dasar analisis, standardisasi, normalisasi, dan akselerasi.

Keempat kata tersebut merupakan kata benda proses yang mengandung komponen makna kegiatan, sedangkan imbuhan pe-an juga bermakna proses atau kegiatan. Sebab itu, cukuplah dipakai bentuk analisis, standardisasi, normalisasi, dan akselerasi atau analisis, penstandaran, penormalan, dan percepatan. Kata analisis kita serap secara utuh dari bahasa Inggris dan diperlukan sebagai kata dasar, sedangkan standardisasi dan normalisasi bersamaan dengan bentuk standar dan normal. Kemudian kita hanya menyerap bentuk akselerasi tanpa bentuk dasarnya dalam bahasa Inggris. Oleh sebab itu, cukuplah kita membuat kalimat Analisis sebab-sebab kecelakaan sedang dilaksanakan, tidak perlu kalimat Penganalisisan sebab-sebab kecelakaan sedang dilaksanakan; Standardisasi/Penstandaran kemampuan pemandu wisata terus dilakukan, tidak perlu kalimat Penstandardisasian kemampuan pemandu wisata terus dilakukan; Normalisasi/Penormalan sungai dikebut, tidak perlu kalimat Penormalisasian sungai dikebut; dan Akselerasi/percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dilakukan pemerintah, tidak perlu kalimat Pengakselerasian pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dilakukan pemerintah. Daripada kalimat-kalimat yang disebut terakhir, kalimat-kalimat yang disebut pertama lebih tepat, hemat, bahkan bertenaga. “Begitu ya?”, Cak Ndol berkomentar retoris. “Iya. Tak usah bertanya lainnya. Kapan-kapan saja kita rembuk lainnya.”, cegah Cak Jum sambil mengajak Gus Jab dan Cak nDol menyudahi nongkrong di Kafe Literasi.
***

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Bahasa »