LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (8-12)

Sunu Wasono

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (8)

Kalau awak boleh berterus terang, bagian ini awak tulis dengan susah payah. Kenapa menulis begini saja prosesnya susah seperti menulis karya agung saja. “Cerita begini tak lebih dari cerita biasa saja, malah terkesan terlalu didramatisasi. Tak heran kalau akhirnya memang menjadi cerita melodrama. Untuk menulis cerita begini, menyambung cerita sebelumnya, apa susahnya.” Begitulah kurang lebih ujar Raden Harya Sengkuni alias Tri Gantal Pati, salah satu tokoh cerita “Lenga Tala” yang sedang awak tulis ini. “Cepat lanjutkan,” desaknya.

Memang ini cerita biasa. Cerita pop saja, bukan karya sastra dengan S besar. Awak setuju. Tapi proses penulisannya bagi awak butuh perjuangan tersendiri. Kalau saja tak ada campur tangan Lik Mukidi, awak tak pantas bilang “prosesnya butuh perjuangan tersendiri.” Di situ poinnya. Lik Mukidi senantiasa mengintip dan mengawasi awak. Seperti yang sudah awak bilang di bagian sebelumnya, dia kadang-kadang nenempatkan diri sebagai kritikus, kadang sebagai editor pula. Dengan peran itu dia “menghajar” awak. Akibatnya, penulisan seperti berjalan di tempat. Tak maju-maju. Keruan saja Dewi Wilutama ikut kesal. “Cepat selesaikan bagian cerita yang di situ ada aku. Jangan ditunda lagi. Aku ingin segera kembali ke kahyangan untuk berkumpul dengan keluarga. Ibu-ibu di kahyangan sudah masak tongseng khusus untuk menyambut kehadiranku lagi sebagai bidadari. Kalau aku kelamaan di sini, gawat. Si Bambang Kumbayana itu maunya mengajak begituan saja. Sekali dikasih, jadi ketagihan dia,” ujar Dewi Wilutama kesal.

Jadi, sejujurnya awak mendapat tekanan dari mana-mana ketika hendak melanjutkan cerita ini. Bukan hanya dari Lik Mukidi. Tokoh pun ikut menekan. Belum lagi urusan lain. Selagi enak-enaknya menulis, diminta anak mengantarkan ke stasiun. Lagi menggarap bagian yang seru, teman-teman mengajak rapat secara daring. Ambyar semua. Pernah cerita di bagian ini hampir awak akhiri. Tapi tiba-tiba Lik Mukidi menyetop. “Tak bisa begini,” katanya.

“Memang kenapa, Lik? Apanya yang salah?”

Lik Mukidi tak langsung menjawab. Ia malah minta awak untuk membuatkan kopi. Setelah itu, baru awak dikuliahinya. Tak perlu awak ceritakan apa isi kuliahnya sebab akan menambah kesal saja. Semua yang dia katakan berkaitan dengan teori menulis. Kalau sudah bicara tentang teori, dia bisa lupa segalanya. Apalagi kalau ditunjang dengan kopi dan rondo royal. Hadeeuh.

Sampai sebegitu panjang dan lamanya ia bicara, tak satu pun ada kalimat atau penjelasan tentang kenapa awak harus berhenti menulis dan kenapa tulisan yang hampir selesai itu harus dihapus. Akhirnya, awak potong saja pembicaraannya, lalu awak minta dia untuk menjawabnya dengan singkat. Alamak dia hanya bilang bahwa tulisan awak belum ada warna mukidinya. Awak tak minta ia untuk menjelaskan apa itu warna mukidi sebab kalau itu terjadi, bisa panjang lebar lagi dia bicara. Karena itu, awak akui saja agar awak bisa melanjutkan cerita “Lenga Tala” ini.

Nah, cerita yang akan sampeyan baca ini–kalau masih sanggup membaca–cerita yang sudah lolos sensor Lik Mukidi.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (9)

Tak ada api tak ada asap. Segala sesuatu, kejadian apa pun macamnya, pasti ada sebab-musababnya. Tak mungkin tak ada angin tak ada petir tiba-tiba Dewi Wilutama dikutuk. Ia pasti telah membuat kesalahan besar sehingga mendapat kutukan dari Batara Guru. Nah, pertanyaannya: apa kesalahan dia? Lagi-lagi untuk mengungkap kesalahan dia, kata betis harus disebut. Betis Dewi Wilutamalah pemicu dari semua peristiwa yang sudah dan akan terjadi. Bagaimana konkretnya perkara itu bisa disimak dalam kisah berikut.

Bahwasanya Dewi Wilutama adalah bidadari tercantik di kahyangan telah diketahui para dewa, baik yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga. Semua anggota tubuh dan yang menempel pada tubuh Dewi Wilutama tak ada yang tak menarik. Semua: bibir, leher, jari, alis, mata, rambut, kuku, lengan, pinnggul, cara bicara, apa saja di tubuh Dewi Wilutama, punya pesona, punya energi birahi yang bisa menyihir laki-laki, termasuk laki-laki lugu dan alim sekalipun.Tapi di antara sekian banyak yang menarik itu tampaknya betislah yang paling menimbulkan getaran bagi laki-laki. Dewa yang telanjur pernah melihat–sedikit saja–betis Dewi Wilutama besar kemungkinan akan mendadak insomnia. Betis itu akan terus membayang di benaknya sehingga susah tidur.

Kecantikan, keramahtamahan, kecerdasan dan kelebihan-kelebihan lain Dewi Wilutama, termasuk betis yang indah itu, kiranya membuat hampir setiap bidadara yang mengenalnya–semua pasti mengenal–ingin dekat dan menjadi pacar dia. Dasar Dewi Wilutama juga supel, ramah, dan tidak angkuh. Ke mana saja dia berjalan atau pergi, ada saja laki-laki yang mengikutinya. Semua berebut untuk menemani. Saking dengan siapa saja dia bisa bergaul, dekat dan akrab, Dewi Wilutama jadi terkesan bebas hidupnya. Mau ke mana saja ada saja yang menerima. Tak pelak, ia terlibat dalam pergaulan bebas. Keadaan demikian membuat dia khilaf. Lalu dia lupa daratan, lupa akan etiket dan norma-norma sosial.

Singkat cerita, ia telah melakukan hubungan seks layaknya suami-istri dengan laki-laki bukan mukrimnya.Siapa laki-laki itu? Tak lain adalah Batara Wrahatpati. Ternyata di tatanan kadewatan juga ada larangan bagi dewa untuk berhubungan badan sebelum nikah secara resmi. Nah, dalam konteks itu, Dewi Wilutama kena pasal perzinahan. Atas kesalahannya itu ia dikutuk Batara Guru menjadi kuda. (Sayang tak dijelaskan apakah laki-lakinya juga mendapat hadiah kutukan. Jika tidak dikutuk, rasanya tidak adil.) Ia baru bisa menjadi bidadari lagi kalau sudah bertemu dan berhubungan badan dengan makhluk arcapada (manusia). Rupanya manusia yang “beruntung” memperoleh kesempatan untuk mendewakan kembali Dewi Wilutama adalah Bambang Kumbayana. Seperti yang sudah diceritakan di bagian sebelumnya, kuda sembrani itu akhirnya badar (berubah) menjadi Dewi Wilutama setelah bersetubuh dengan Bambang Kumbayana.

Kini Dewi Wilutama sudah terbebas dari kutukan Batara Guri, tapi wajahnya masih terlihat murung. Sebaliknya, Bambang Kumbayana terlihat semringah. Ia tak menyangka bahwa pengembaraannya berbuah manis. Andaikata aku waktu itu tak minggat dari Atas Angin, aku tak akan pernah kawin dengan bidadari. Melihat Dewi Wilutama murung, sementara dirinya senang, lama-lama ia tak enak sendiri.

“Wahai Embun pagiku, kenapa kau murung. Bukankah kau sudah bertemu laki-laki ganteng, putra tunggal raja pula. Apa lagi yang kaupikirkan? Aku kaya dan punya masa depan yang cerah. Aku kuat, laki-laki sejati. Bagaimana aku mahir bercinta kau sudah tahu dan mengalami sendiri. Kurang apa, ayo.”

Dewi Wilutama malah menangis terisak-isak.

“Eladala, kenapa kau, Dewiku. Katakan sejujurnya. Jangan ada dusta di antara kita,” ujar Bambang Kumbayana.

“Mas, perutku sakit. Aku hamil, Mas.”

“Hamil? Berarti aku tok cer. Buktinya kau langsung isi. Jadi, baru sebulan isi.”

“Sudah 9 bulan, Mas.”

“Astaganaga. Mana mungkin.”

“Ini yang ada di perutku ini bibitnya Batara Wrahatpati, Mas. Bukan bibitmu. Aduh, perutku kruwes-kruwes. Aku melahirkan, Mas.”

Bambang Kumbayana tak membuang waktu. Dewi Wilutama dibopongnya ke tempat yang lebih aman. Begitu tubuhnya diletakkan, tak pakai pembukaan satu, dua, dan tiga, lahirlah jabang bayi laki-laki. Bukan main girangnya Bambang Kumbayana. Dia sibuk mengurus bayinya dan sebentar-sebentar mencium bayi itu. Sebentar sebentar mencium ibunya. “Meskipun bayi ini bukan bibitku, aku tetap punya andil, setidak-tidaknya membantu memperlancar kelahiran. Apa yang aku lakukan, sperma yang kusemburkan itu melicinkan jalannya bayi. Buktinya tanpa pembukaan, bayi langsung lahir ceprot,” katanya entah ditujukan kepada siapa.

Bambang Kumbayana kini senang. Punya istri bidadari dan kawin sebentar saja sudah punya anak laki-laki. Ia ingin segera pulang ke Atas Angin untuk menunjukkan “prestasinya” ke hadapan ayahnya. Tapi–kalau dia tahu garis takdirya–dia tak akan mungkin punya angan-angan atau pikiran seperti itu. Justru perkawinannya dengan Dewi Wilutama ini baru titik awal baginya untuk melanjutkan perjalanan jauh lagi yang penuh dengan ujian. Ke manakah Bambang Kumbayana setelah ini? Sanggupkah ia menghadapi ujian itu?

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (10)

Baru saja Bambang Kumbayana mau menyampaikan hasratnya untuk memboyong Dewi Wilutama ke Atas Angin guna diperkenalkan ayahnya dan dipamerkan kepada seisi istana, Dewi Wilutama keburu menyampaikan hasratnya kepada Bambang Kumbayana. “Meskipun anak ini bukan bibit Mas Bambang Kumbayana, kuharap sampeyan sudi mengakui bahwa ia anak kita. Karena itu, kuharap sampeyan berkenan memberi nama,” pintanya kepada Bambang Kumbayana.

“Oh, tentu. Aku tak memasalahkan anak ini bibitnya siapa. Aku juga tak memasalahkan masa lalumu, keperawananmu. Buat aku, yang sudah lewat biarlah lewat. Mari kita tatap masa depan kita. Cintalah yang utama. Yang penting kau sekarang mencintaiku sebagaimana aku mencintaimu. Soal nama, itu persoalan teknis belaka. Sekarang juga bisa. Kalau kita paroan bagaimana. Kau kasih satu nama, aku menambahkan,” tawar Bambang Kumbayana.

“Kuserahkan saja semuanya pada Kangmas,” balas Dewi Wilutama.

“Baiklah. Kalau begitu, kuberi nama dia Bambang Haswatama.”

Jagat seisinya menjadi saksi. “Terima kasih, Kangmas,” ujar Dewi Wilutama seraya menyerahkan Bambang Haswatama kepada Bambang Kumbayana. Sesaat kemudian, “Kangmas, aku sekarang punya satu permintaan lagi. Mohon permintaan ini tidak ditolak.”

“Jangankan cuma satu, seribu permintaan pun akan kukabulkan. Katakan apa permintaanmu,” tantang Bambang Kumbayana.

“Tidak, Kangmas. Satu saja. Sekarang anak kita sudah ada di tanganmu. Silakan rawat, asuh, dan didik dia hingga kelak menjadi anak yang dibanggakan dan membanggakan orang tua. Aku pamit pulang. Aku tak bisa lama-lama di sini. Aku harus kembali ke kahyangan.”

Bagai disambar geluduk, Bambang Kumbayana kaget sekaligus sedih. “Kenapa kautinggalkan aku, Dewi. Kenapa harus?” Ujar Bambang Kumbayana sambil terisak. Untung anak di tangannya tidak terlepas.

“Oh, Dewi Dewi. Kenapa kau setega itu. Lalu anak kita bagaimana?”

Sesaat tak ada percakapan di antara mereka. Seekor burung kutilang di atas daun aren terus berdendang. Dewi Wilutama tak kuasa juga menahan tangis. Tapi bayi di tangan Bambang Kumbayana terlihat anteng. Setelah sedikit menguasai perasaannya, Bambang Kumbayana membuka percakapan lagi.

“Salahku apa, Dewiku. Kenapa kita harus berpisah.”

“Tidak ada yang salah, Kangmas. Kita berpisah karena takdir kita harus berpisah.”

“Apa kita tak bisa melawan takdir, Dewi?”

“Tidak bisa. Coba pikir, kenapa kita dipertemukan di sini. Waktu Kangmas minggat dari Atas Angin apakah direncanakan? Tidak kan? Kenapa ayahanda memaksa kangmas kawin, kenapa Kangmas menolak, kenapa aku dikutuk jadi kuda, kenapa kita bertemu di tepi bengawan, dan masih banyak lagi kenapa-kenapa lainnya. Nyatanya kita tak bisa menjawab. Kita hanya wayang, Kangmas. Semua itu terjadi karena takdir. Kita tak kuasa melawannya. Karena itu, bila kini kita harus berpisah, maka semata-mata karena takdir, Kangmas.”

Air mata Bambang Kumbayana membanjir lagi. “Lalu bagaimana dengan nasib anak kita?”

“Sudah takdirnya harus hidup bersama ayahnya, Kangmas.”

“Alamak, apa aku bisa mengasuhnya? Oh, dewa dewa. Kenapa tak kaucabut saja nyawaku.”

“Jangan begitu. Tak boleh kita menyerah. Aku punya saran untuk Kangmas dan kebaikan anak kita.”

“Apa itu?” sambar Bambang Kumbayana.

“Kangmas harus menikah lagi agar anak kita ada yang mengasuh.”

“Menikah dengan siapa. Adakah yang mau menikah dengan laki-laki yang di tangannya ada anak yang belum bisa apa-apa begini, Dewi.”

“Percayalah pada takdir, Kangmas. Mengalir saja. Pada waktunya akan ada jalan untuk meraih keberuntungan dan kebahagiaan. Kalau kangmas masih mencintaiku, harus percaya kepadaku.”

Bambang Kumbayana tak berusaha lagi mencari dalih agar Dewi Wilutama mengurungkan niatnya. Ia tak bisa tidak harus percaya kepada Dewi Wilutama. Bagaimanapun Dewi Wilutama itu dewa, sedangkan dirinya itu titah (umat manusia). Pastilah yang dikatakan dewa tak salah. Setelah dirasa agak tenang, Dewi Wilutama memberi petunjuk agar Bambang Kumbayana pergi ke suatu negara. Ia pun menunjuk arah yang harus dituju Bambang Kumbayana. “Percayalah, di sana Kangmas akan menemukan perempuan yang akan menjadi jodohmu, dan dia akan menjadi ibu Haswatama, anak kita.”

Akhirnya, Bambang Kumbayana melepas kepergian Dewi Wilutama dengan sedih. Namun, air matanya telah kering. Karena itu, tak ada lagi titik air mata yang jatuh. Dewi Wilutama mengecup kening suami dan anaknya. Setelah itu ia melesat ke kahyangan.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (11)

Sebetulnya awak masih punya semangat untuk melanjutkan cerita “Lenga Tala” yang sudah tayang 10 kali. Tapi awak mendadak berpikir lagi setelah mendengar komentar Lik Mukidi siang tadi. Saat bersilaturahim via WA siang tadi, awak bertanya, “Setelah cerita ‘Lenga Tala’ 10 kali saya posting di FB, apa komentar Lik Mukidi?”

“No kamen,” jawabnya singkat.

“Jangan begitu, Lik. Saya butuh tanggapan. Sewaktu awal saya mau menulis cerita ini, Lik Mukidilah yang menggebu-gebu. Ingat, kata-kata Lik Mukidi terekam di bagian awal cerita ini, lho. Ada jejaknya. Lik Mukidi tak bisa mengelak.”

Lik Mukidi tak langsung memberi tanggapan. Lama awak tunggui. Jangan-jangan tertidur dia, batin awak. Karena lama tak ada jawaban, awak nulis lagi di WA. “Lik Mukidi harus ikut bertanggung jawab atas cerita ini dan kelanjutannya. Apa komentar Lik Mukidi. Plis, Lik. Ditunggu.”

Alhamdililah, akhirnya dia menjawab meskipun jawabannya tak mengenakkan. Katanya, “Komentarku tidak ada komentar.”

“Masa tidak ada sepatah kata pun, Lik. Pelit amat, Lik.”

“Coba kau simak lagi dengan baik kata-kataku. Ada berapa patah kata di situ. Katanya penulis. Menghitung kata saja tak bisa,” jawab Lik Mukidi ketus.

Hadeuh. Puyeng menghadapi Lik Mukidi. Pasti “sajen” yang disiapkan Bu Lik kurang lengkap. Coba Lik Mukidi main ke rumah, awak servis sebaik-baiknya. Awak sediakan seteko kopi giling dan sepiring rondo royal. Pasti beres. Tak akan begini. Kalau masih macam-macam, awak suplai lagi. Kasih singkong kaniyem rebus. Masih kurang? Tambah lagi pisang tanduk rebus. Kalau belum kenyang, ganjal dengan ubi madu bakar.

“Jadi, bagaimana, Lik.” Awak mencoba sabar dan tabah. Tak mau buru-buru menyerah.

“Apanya yang bagaimana? Sudah jelas, kan. Komentarku tak ada komentar.”

Ah, begitu lagi begitu lagi. Oke. Awak tak mau membuang-buang waktu. Peduli amat dengan komentar Lik Mukidi. Baru mau bilang terima kasih dan selamat malam, eh Lik Mukidi menyusulkan keterangan. “Kalau aku komentari sekarang, aku jamin kau tak punya hasrat lagi untuk merampungkan cerita yang sudah kau tulis. Lanjutkan saja. Komentarku nanti saja setelah cerita yang kautulis secara serampangan dan dangkal itu selesai.”

Mak jleb. Terasa di ulu hati komentar Lik Mukidi. Awak tak bisa membayangkan bagaimana komentar panjang dia setelah cerita “Lenga Tala” ini nanti selesai. Tapi tak jadi masalah. Ini awak anggap risiko punya seorang paman macam Lik Mukidi. Sekarang jelas apa yang harus awak lakukan, yaitu melanjutkan cerita “Lenga Tala” ini sampai selesai. Bismilah. Niat ingsun menyambung cerita “Lenga Tala”.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (12)

Tinggallah kini Bambang Kumbayana dengan putranya yang masih dalam gendongan. Meski suara hewan di hutan ramai sekali, bagi Bambang Kumbayana dirasakan sepi. Ia meragukan kemampuan dirinya. Ia tak yakin bisa merawat putranya. Tak terpikir di benaknya bahwa ia harus menjadi seorang ayah sekaligus ibu bagi anaknya. Kalau ingat pada masa-masa sebelumnya, ketika masih di istana, ia malu dan menyesal. “Kenapa waktu itu aku begitu angkuh. Dinasihati baik-baik sama patih di kerajaannya, tak pernah ia bilang iya. Selalu saja membantah, bahkan ia berani membentaknya. Juga saat diminta ayahnya untuk menikah dan siap-siap menggantikan takhta orang tuanya, jawabannya tak enak didengar siapa pun. “Tak ada yang bisa mengatur hidupku. Bahkan dewa sekalipun,” ujarnya ketika ayahnya sedikit menekan dia agar mau menikah. Jawaban itulah yang membuat ayahnya naik pitam dan mengusirnya dari istana.

Kalau ia ingat pada peristiwa itu, hatinya sedih. Tanpa disadarinya, menitiklah air matanya. “Aku ini sungguh anak durhaka. Tak terbayangkan betapa besar dosaku,” ujarnya entah kepada siapa. Dalam kondisi seperti itu, dia pun teringat pada kedugalannya, pada kelakuannnya yang serba tak terpuji. “Kenapa untuk kesalahan sekecil itu–kalau tepat disebut kesalahan–aku menghajar pemuda itu sampai babak belur. Sungguh tak pantas itu dilakukan oleh seorang ksatria, putra raja agung binatara pula,” katanya dalam hati.

Ucapannya itu terkait dengan tindakan dia terhadap anak muda, Ekalawya, di masa lalu, yang tak mau menepi ketika dirinya melintas di sebuah jalan di tepi hutan. Di kalangan masyarakat luas, Bambang Kumbayana memang dikenal sebagai ksatria yang gemar berkuda, blusukan ke medan-medan sulit, masuk ke hutan sekalian berburu. Tentu saja karena dia putra raja, ke mana pun pergi selalu ada pengawal yang mengikutinya. Pernah ketika ia menghajar salah seorang pemuda, pengawalnya melerai dan mengingatkan agar penyiksaan segera disudahi. Apa tanggapan dia? Pengawalnya malah disaduk ulu hatinya. Mentang-mentang anak raja, ia berbuat semena-mena pada siapa saja yang tak disukainya. “Sapa sira sapa ingsun” (siapa kamu siapa aku) kiranya telah menjadi landasan baginya dalam berhadapan dengan orang lain.

Apa yang pernah dilakukannya di masa lalu itu kini seakan menjelma gambar nyata di hadapannya. Dan ia harus melihatnya kembali. Maka rasa penyesalan berkali-kali ia ucapkan meskipun tak ada yang mendengarkan. “Kalau sudah begini, dengan anak yang belum bisa apa-apa, aku bisa apa? Oh, Haswatama, anakku. Kalau akhirnya kau mati sia-sia, maafkan ayahmu yang berlumur dosa ini,” ujar Bambang Kumbayana seraya meratap.

Bersamaan dengan itu terdengar kicau Kutilang. Burung Kutilang terus saja berdendang. Bambang Kumbayana yang semula acuh tak acuh terhadap burung itu kini tergerak untuk memperhatikannya. Kenapa burung itu berkicau terus, lalu seperti ada suara lain yang menyambutnya. Apa dia mau mengejekku. Awas saja. Kupanah mati kau, ujarnya dalam hati. Lama Bambang Kumbayana memperhatikan Kutilang di rerimbun pohon ketapang.

Ahai, kini ia tahu bahwa Kutilang itu sedang menyuapi piyeknya. Tapi kenapa dia mengerjakannya sendiri, mana induknya? Ia induknya atau pejantannya? Peduli amat. Jantan atau betina tak penting. Bukan itu yang penting, tapi kesendiriannya itu. Ia–burung itu–kelihatannya santai saja keketika menyuapi anak-anaknya yang masih kecil, baru bisa menggerak-gerakkan sayapnya. Bambang Kumbayana tersadar dan bilang pada dirinya sendiri, “Kutilang itu sendirian bisa menyuapi anak-anaknya, kenapa aku mengeluh. Kenapa aku tak yakin pada kemampuanku? Aku harus bisa!”
***

Awak selingi puisi sebelum bagian (13) “Lenga Tala” hadir. Buat yang suka begadang atau yang tak berniat begadang, tapi susah tidur, keadaan seperti yang terlukis dalam puisi ini–kalau pantas disebut puisi–sudah biasa (tak asing lagi).

WAKTU

Tahu-tahu sudah jam satu dinihari. Apa yang terjadi? Ah, pertanyaan basa-basi. Satu hal pasti: matamu belum mengatup. Dan penyebabnya adalah huruf-huruf itu, baris-baris kata itu, yang entah sejak kapan, telah membawamu ke dunia entah-berentah.

Tak perlu kukatakan betapa sepinya di luar.
Seperti biasa, kau pun tahu bahwa pada detik
-detik begini, embun sudah mulai turun, sementara kabut telah bergerak di antara celah-celah daun. Tapi tunggu sebentar, lihat ke ujung sana, ke dekat rumah kosong itu. Agaknya seseorang sedang menabun. Tak perlu kauperiksa, apakah yang sedang bergerak menembus pohonan itu kabut atau asap. Yang penting bagimu kini adalah rebah.
Ya, rebahkan tubuhmu yang kian tambun itu
agar pergerakan malam ke pagi tak terusik
oleh ulah jari-jari dan kedap-kedip matamu.

Sesungguhnya kalau malam bisa bicara, ia ingin mengatakan kepadamu bahwa dirinya
tak perlu kautemani, atas nama apa pun. Waktu selamanya tak membutuhkan keberadaanmu.
Sebaliknya, kaulah yang membutuhkan kehadiran waktu, seperti yang terjadi pada malam ini, saat kauputuskan matamu harus mengatup.

Waktu tak pernah ikut campur tangan. Ia akan mengalir begitu saja tanpa kawalan siapa pun. Kalau kau sudah tahu bahwa subjeknya kau, bukan waktu, kuharap kau sekarang bisa memutuskan: rebah atau terus berjaga bersama waktu yang sesungguhnya tak pernah peduli pada kehadiranmu.

Baiklah. Kalau begitu, kau ikut aku. Jangan lupa ucapkan salam kepada waktu, sampai jumpa esok hari sebelum subuh tiba.
***

(bersambung)

2 Replies to “LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (8-12)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *