Andhi Setyo Wibowo, pria yang tinggal di Parimono Jombang ini aktif sebagai penerbit buku serta penggerak literasi generasi muda. (Anggi Fridianto/JP Radar Jombang)
Editor: Mardiansyah Triraharjo
Laki-Laki kelahiran Solo 1974 ini memiliki nama asli Andhi Setyo Wibowo. Namun dia lebih akrab disapa Andhi Kephix. Ya, nama Andhi Kephix di kalangan sastrawan dan pegiat literasi Jombang memang tak asing lagi. Laki-laki 46 tahun ini sejak muda sudah aktif di kegiatan literasi.
Kini, pria yang tinggal di Parimono Jombang ini aktif sebagai penerbit buku serta penggerak literasi generasi muda.
Andi dibesarkan di Solo. Ia mengawali pendidikannya di SD Mulyo Harjo 9 Pemalang lulus 1986. Karena pekerjaan ayahnya, setelah lulus SD, Andi pindah ke Semarang dan meneruskan di SMPN 2 Semarang 1989 dan SMAN 2 Semarang lulus 1992. Duduk di bangku SMA itulah ia mulai tertarik dengan dunia literasi.
Beberapa kegiatan ekstrakurikuler di sekolah seperti teater maupun drama diikutinya. Terutama yang memelajari tentang penulisan puisi, cerpen maupun naskah drama. Setamat SMA, Andi melanjutkan kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang Fakultas Pertanian lulus 1997.
Kecintaannya pada literasi berlanjut. Selama kuliah, ia juga bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) teater kampus. Sehingga kemampuannya semakin terasah. Setelah lulus kuliah, Andi bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis di Semarang kurang lebih 1,5 tahun. Masih bidang yang sama, Andi kemudian pindah ke Surabaya di PT Branita Sandini Agrobisnis. ”Saya bekerja di beberapa pabrik cukup lama, pindah-pindah, misalnya di Pandaan Pasuruan bekerja di pabrik Gudang Garam,” ujar bapak tiga anak ini.
Malang melintang di perusahaan agrobisnis akhirnya terhenti setelah dirinya memutuskan pindah ke Jombang 2001. Gadis pujaan hatinya Nurul Azizah asli Parimono berhasil membawanya untuk menetap di Jombang sampai sekarang. Kini, pria yang tinggal di Parimono Jombang ini aktif sebagai penerbit buku serta penggerak literasi generasi muda.
Ingin Fasilitasi Penulis Lewat Penerbitan Indie
SETELAH lepas dari perusahaan tempat ia bekerja, Andhi Kephix kini lebih fokus memfasilitasi penulis muda untuk bisa menerbitkan karya. Bagi seorang penulis pemula, menerbitkan buku di penerbit mayor tidaklah mudah. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui penerbitan indie (independen) alias mandiri.
”Saya tertarik dunia literasi karena ingin membantu teman-teman di Jombang untuk menerbitkan buku,” ujar Andi kepada Jawa Pos Radar Jombang kemarin (27/6). Dilihatnya banyak pegiat sastra muda maupun senior yang mengirim karya-karyanya ke luar kota agar bisa diterbitkan. Seperti Tuban, Lamongan dan Surabaya. ”Sejak 2019 saya mendirikan penerbitan Boenga Ketjil ini,” tambahnya.
Andi awalnya belajar penerbitan mulai dari editing naskah, tata layout dari komunitas pegiat literasi di Mojokerto. Di sana, kegiatan literasi terus berkembang seiring banyaknya penerbitan indie yang memfasilitasi anak-anak muda berbakat untuk menerbitkan karya. ”Karena saya melihat siswa masih bingung, karyanya mau diapakan. Kenapa tidak dijadikan antologi atau kumpulan sastra untuk diterbitkan,” terang dia serius.
Apalagi biaya penerbitan buku melalui penerbitan indie cukup terjangkau. Ongkos cetak mulai Rp 30-40 ribu per buku. Itupun sudah termasuk jasa edit dan tata letak buku. ”Editing buku butuh waktu berhari-hari, sehingga kalau ada yang mau menerbitkan buku jangan tergesa gesa,” terangnya.
Meski baru berjalan 2019, Andi sudah menerbitkan puluhan karya dari sejumlah penulis. Mulai dari buku karya Anjrah lelono Broto, Dian Soekarno maupun beberapa penulis muda lain. ”Ada juga yang dari STKIP PGRI Jombang, beberapa siswa dan pegiat literasi lainnya,” peungkas dia.
Adakan Selasastra, Lahirkan Penulis Muda
SALAH satu upaya Andhi Kephix menumbuhkan literasi di Jombang adalah mengadakan kegiatan ngaji sastra setiap bulan. Di rumahnya Parimono, Andi mengajak penulis, cerpenis, mahasiswa maupun pelajar sekolah untuk bergabung di kegiatan Selasastra.
Selasastra sendiri berasal dari kata Selasa Sastra. ”Agar lebih mudah diingat, kami menyebut selasastra,” ujar dia. Kegiatan tersebut kali pertama diadakan 2014 lalu dan mampu bertahan hingga sekarang. Kegiatan tersebut bermacam-macam, mulai bedah buku, sharing literasi hingga diskusi mengenai karya seorang sastrawan. ”Intinya kita ingin mewadahi teman-teman sastra di Jombang agar mereka bisa diskusi, saling sharing dan bertukar pikiran,” tambah Andi.
Kegiatan Selasastra sendiri diadakan di Warung Boenga Ketjil miliknya sendiri. Warung sederhana yang memang dikemas dengan beberapa tumpukan buku dari beberapa penulis itu cukup lengkap. Mulai penulis muda hingga penulis senior yang cukup terkenal. ”Kita kemas seperti warung dan kita seting agar tempat ini tidak membuat mereka tegang dan terpaku situasi. Kita ingin mereka santai ngobrol tentang sastra,” jelas dia.
Tak hanya pegiat sastra, beberapa pelajar dari SMP negeri maupun swasta juga sering mampir di tempatnya. Mereka awalnya ingin sharing dan bertukar pikiran mengenai sastra, namun lama kelamaan mereka ingin karyanya diterbitkan dalam sebuah buku. ”Ya sebuah karya, kalau hanya kita biarkan begitu saja, tentu sangat rugi,” tandasnya.
Andi menceritakan, kegiatan Selasastra tak hanya dihadiri penulis lokal. Beberapa penulis buku asal luar Jombang seperti Tuban, Malang dan Surabaya pernah mengadakan bedah buku di tempatnya. ”Kami undang mereka untuk memaparkan karya, disini kami juga mengundang teman-teman sastra untuk saling berbagi opini,” beber dia.
Namun sejak pandemi Covid-19, kegiatan Selasastra ditiadakan sementara. ”Sesuai dengan imbauan pemerintah, kegiatan yang bersifat kerumunan kami tiadakan terlebih dahulu,” pungkasnya.