SETEGUH POHON, Di SEPANJANG TEPIAN SUNGAI ASAL


A. Syauqi Sumbawi *

Hujan deras. Bersama angin menghempas. Entah, berapa kecepatan angin yang menjatuhkan air dari langit itu. Abdun tak menghitungnya. Namun, hujan disertai angin kali ini cukup membikin rongga dadanya bergetar. Mulutnya tak henti menggumamkan adzan, shalawat, dan surat al-fatihah. Berulang-ulang. Berharap hujan mereda. Atau setidaknya, angin yang purik itu menjadi sedikit tenang.

Abdun menyaksikan keributan itu di emperan toko. Dahan dan ranting pepohonan bertubrukan. Daun-daun luntruh berserakan. Kabel listrik dan kabel telepon terombang-ambing. Terhempas dan tertahan pada tiang-tiang beton yang tampak muram. Pada selang-seling petir dan gemuruh di langit, gumpalan awan digiring angin. Merendah. Menciptakan kabut. Bergerak cepat dan mendekat.

Kian resah dengan keadaan, Abdun makin serius dengan doa-doa. Tak sadar, kakinya bergerak beberapa langkah ke kanan dan ke kiri. Juga ke depan. Lantas ketika garis-garis hujan seperti anak panah meluncur ke arahnya, Abdun pun mundur hingga terpentok pada rolling door toko. Menjinjitkan kaki, berusaha menghindar. Namun, tetap saja. Celana bagian bawah lututnya basah.

Kembali Abdun menyaksikan hujan angin yang mengepung. Mengakrabi cemas dengan gumam doa-doa, dia berharap kondisi tak berubah lebih buruk lagi. Dan perlahan seiring waktu, angin menjadi tenang. Namun, hujan kian deras. Abdun bersyukur. Baginya, sederas apapun hujan, itu lebih baik daripada hujan disertai angin kencang.

Abdun terus menggumamkan doa-doa. Kali ini dia berharap hujan segera reda. Dia ingin segera tiba di rumah. Menjumpai anak dan istrinya dengan membawa oleh-oleh dari perjalanan ke kota. Sejak berteduh tadi, oleh-oleh itu terus berada dalam dekapannya.

Terbangun dari ingatannya tentang rumah, pepohonan yang berdiri di sepanjang tepian sungai membuatnya tersenyum. Kecut. Mengingatkan pada tingkahnya sendiri beberapa saat yang lalu. Tak seperti dirinya, pepohonan itu tetap dengan posisi dan keberadaannya. Tak perlu pindah. Tak akan pernah menghindar. Bahkan jika hujan badai sekalipun.

Pohon yang teguh. Barangkali inilah yang menjadi gambaran dari puisi Pringgo HR berjudul “Sungai Asal”, dalam buku Sungai Asal: 99 Sajak (Lamongan: Pustaka Ilalang, 2020) hlm. 52, diungkapkan sebagai berikut:

SUNGAI ASAL

seteguh pohon
aku rasai deras hujan sore ini
membiarkan banjir mengepung
yang akan mengalirkan
daundaun rindu
ke sungai asal
menikmati senja sebentar lagi
merapuh

Ngimbang 2004
***

Keteguhan hidup tersirat dari puisi di atas. Keteguhan hidup, yang tidak lahir dari kehendak bebas, dendam maupun perlawanan. Bukan pula fatalistik. Melainkan sikap ridla atas segala sesuatu terkait keberadaannya di dunia. Sebuah kesadaran termaknai yang melahirkan kehendak menjadi, seteguh pohon/, dengan akar-akar yang tertanam di bumi. Ibarat iman pada diri manusia.

Dengan itu … aku rasai deras hujan sore ini/, setelah masa-masa sebelumnya dijalani sebagai “proses menjadi”. Proses yang penuh keterlibatan diri, dimana dualitas yang melengkapi, baik (deras hujan) maupun tidak—panas atau cerah, misalnya —, pada gilirannya akan menghidupkan kepekaan rasa. Di sini, bersama ke-ridla-an seseorang akan bisa me-“rasa”-kan dirinya dalam kondisi apapun. Maka, aku … membiarkan banjir mengepung/ yang akan mengalirkan/ daundaun rindu/ ke sungai asal/.

Manusia mampu ridla karena memiliki pemahaman dan kesadaran tentang hikmah di balik segala peristiwa. Juga konsekuensinya (banjir mengepung). Hikmah yang selalu mengarahkan kepada-Nya. Dengan itu pula, seseorang akan merasakan dan menikmati kebahagiaan, …menikmati senja sebentar lagi/ merapuh//. Bersama waktu, keberadaan yang material selalu mengarah pada kerusakan.
***

Dalam senyum kecut yang kesekian, Abdun teringat yang pernah dikatakan Mbah Mad. Bahwa kejadian seperti hujan yang disertai angin tadi misalnya, adalah “sentilan Tuhan”, agar manusia memahami keberadaan dirinya yang kerdil dan tak berdaya.
[]

*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *