Hudan Hidayat *
“Jejak yang tak terpotong”
Jejak terpotong, bukanlah tiada berguna, karena itu, sia-sia. Haknya tetap diberikan. Sadler menukar bahasa Jerman, bahasa Yunani dipandangi Heidegger, jemarinya menarikan “The Essence Of Truth.” Seperti kita bergerak dalam “Gua Kahfi”, membuntuti cara berpikir Derrida yaitu “jejak,” yang kita imbuhi dengan “terpotong”. “Of” adalah sela, ikhtiar akal yang pandai menimbang, berdiri sejajar di antara dua kata tapi dengan arah yang sama, yakni esensi dan benar. Ada polisemi di sini, kebenaran tidak mungkin tampilan centang-prenang. Ia musti, sampai ke dasarnya. Esensi melimpah ke benar, benar menaungi esensi. Alegori manusia gua dihayati Heidegger dengan membawakan The Essence Of Truth. “We wish to consider the Essence of truth”, katanya. Seperti Derrida menghayati dunia dengan cara membacanya, menghadirkan nalar yang ia persepsikan. Adalah Of Grammatology. Apabila Of Grammatology dihidupkan menjadi bagian buku (bab 3), dengan menambahkan “as a positive science”, ialah daya dari, hasrat akal mencapai tepian terjauh “essence” dalam kerangka “truth”.
Seperti bagian yang menjulur ini:
“Science and the
Name of Man”,
pose, kata Derrida, “the general histories of writing”, arah penanya, jejak yang tak terpotong, karena memotongnya membuat “histories of writing” kehilangan makna. Bagaimana kalau “Man”, asalnya dari bahasa Arab? Bagaimana “Manusia Gua”, dijejerkan dengan “Gua Kahfi”? Sering kita bayangkan cakrawala sebagai mulut, pandai mengeluarkan bunyi. Bunyi surealistik yang menarik. Struktur mengada sebelum Saussure meneorikannya. Struktur yang tak mampu dilewati teori bahasa, adalah organ mulut beserta fungsi. Alangkah imajinatif, andai, seperti tangan dan kaki, kelak, cakrawala memperlihatkan kemampuan melakukan hirupan sekaligus hembusan. Angin kesiur, seolah mulut bersiul, mengadon bunyi murni jadi bahasa yang kita pahami, misalnya suara Tsu: “Cukup. Kita berdamai saja. Perang pedang tak usah dilanjutkan karena akan membawa kematian, walau dirimu, Yiyi, adalah The Grand Master.”
“Tegelak Yiyi
Yurakah itu, kecek Kawabata
Tsu lah tiada
Nang tinggal hanyalah salju
Dingin dalam hatimu”
Seperti Epilog Nabi Tanpa Wahyu, momen mulut cakrawala meruncing jadi pena penyair dan esais Nurel Javissyarqi: “Saya temukan Hudan Hidayat sosok gila yang membeberkan kelicikan nan beredar di depan mata kita. Ia berani berkorban dipermalukan dengan melawan siapa saja, demi memberikan isyarat kepada kita yang tengah lupa senjakala. Ketika membahas keindahan, ia seakan orang gila melangkahkan kaki tanpa sendal sambil memegang tongkat kayu yang sesekali diputarnya serupa medan galaksi, sedang mata kita memusar sebab melihat pada ujung tongkatnya saja.”
Udara hanya menghasilkan kesiur, tapi tidak dengan mulut. Ia pandai membentuk: a, k, u, menyambungnya jadi aku. Aku yang tak teraba, segera menghilang meninggalkan jejak ingatan. Itulah kelisanan. Kini, tulisan. Telinga tak mampu memandang aku, hanya mampu mendengarnya. Gambar dan bunyi sama-sama menarik, oleh sifatnya yang gaib. Tulisan menggambar aku, mulut membunyikannya. Sebelum menjadi baris puisi atau kalimat, aku menjelma, keindahan dalam hal: ia sungguh unik. Apa yang indah, unik. Hidup indah karena unik. Manusia unik sebelum keunikannya naik. Unik karena tersendiri, sebuah species, seperti dunia yang kita huni, unik karena tiada duanya. Puisi unik karena pengaturan dirinya sebagai bahasa. Prosa unik karena hal yang sama. Kalau demikian apakah khasnya keindahan?
Meneorikan keindahan sebagai keunikan adalah mengamati serta mengalami yang tidak biasa, yang unik. Kaki dalam penampilannya yang menyeluruh, dan ini tubuh, unik. Tidak pernah menyadari kaki merasa sepi. Sebenarnya aku ingin ke kanan, katanya, tapi dirimu membawa diriku selalu, ke kiri. Begitulah si kaki merasa sepi. Ia tertekan saat berjalan, sebelum telapaknya menekan jalanan, menimbulkan jejak yang tak nyaman. Andai pun kaki normal, rasa unik terhadap tiang yang tak pernah kita sadari ini, tetap kita rasakan. Uniknya kamu menjadi tiang tubuhku ini. Bermain imajinasi apa jadinya badan tanpa kedua kakinya? Seolah-olah kita melihat tubuh bergerak naik tanpa tangga, hal yang tak mungkin, seperti tak mungkinnya badan tanpa kakinya. Di sini kita baru merasakan uniknya penciptaan. Manusia tercipta, dengan kakinya, dengan tangannya, bahkan dengan kuku-kukunya. Rasa cerah mengintensifkan anggota badan sendiri, adalah rasa aneh saat tiba-tiba melirik urat kecil yang tergantung sunyi, di tubuh sendiri.
Instrumen kehidupan, properti badan, nukil dalam puisi ialah Nama. Disebutkannya Asmaulhusna, di bawah Nama, kita mengerti maksud pujangga. Maksud Kemala, Nama itu adalah nama-namaNya yang baik, Asmaulhusna. Kalau benar Derrida setia pada “histories of writing”, sebagai jejak, apakah yang menghalangi filsuf ini naik sampai ke sini? Bahasa bukanlah gasing yang menderam di tubuhnya sendiri, tapi putaran yang melenting. Inilah sebabnya kita berkata: sejarah bahasa bukanlah keadaan yang terpotong, melainkan tersambung. Walau kabur. Seperti kaburnya tubuh dalam kubur, bahkan, menghilang. Langit memang kuasa menelan apa saja. Saat tubuh di langit bumi tak bisa membacanya. Bahkan saat tubuh di bumi, lidah sukar mengejanya. Kecuali Ia ajari. Seperti diajarinya Adam tentang nama-nama.
Kemala:
“Waktu Adam dijadikan Allah
Ia diajar rahsia Nama.” Dan ia adalah, kata Kemala: Asmaulhusna.
31 Agustus 2020
*) HUDAN HIDAYAT, penerima Tokoh Persuratan Dunia Numera 2017.