Tangis
Ke mana larinya anak tercinta
yang diburu segenap penduduk kota?
Paman Doblang! Paman Doblang!
la lari membawa dosa
tangannya dilumuri cemar noda
tangisnya menyusupi belukar di rimba.
Sejak semalam orang kota menembaki
dengan dendam tuntutan mati
dan ia lari membawa diri.
Seluruh subuh, seluruh pagi.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Ke mana larinya anak tercinta
di padang lalang mana
di bukit kapur mana
mengapa tak lari di riba bunda?
Paman Doblang! Paman Doblang!
Pesankan padanya dengan angin kemarau
ibunya yang tua menunggu di dangau.
Kalau lebar nganga lukanya
mulut bunda ‘kan mengucupnya.
Kalau kotor warna jiwanya
ibu cuci di lubuk hati.
Cuma ibu yang bisa mengerti
ia membunuh tak dengan hati.
Kalau memang hauskan darah manusia
suruhlah minum darah ibunya.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Katakan, ibunya selalu berdoa.
Kalau ia ‘kan mati jauh di rimba
suruh ingat marhum bapanya
yang di sorga, di imannya.
Dan di dangau ini ibunya menanti
dengan rambut putih dan debar hati.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Kalau di rimba rembulan pudar duka
katakan, itulah wajah ibunya.
*
Perempuan Sial
la terbaring di taman tua
pestol di tangan dan lubang di jidatnya
Mereka menemuinya tanpa dukacita
dan angin bau karat tembaga.
Mulutnya menggigit berahi layu
bunga biru dan berbau.
Matanya tidak juga pejam
lain mimpi, lain digenggam.
Ah, tubuhnva! Ah, rambutnya!
Tempat tidur tersia suami tua.
Bunga bagai dia diasuh angin
oleh nasib jatuh ke riba lelaki tua dingin.
Nizar yang menopangnva dari kelayuan
perempuan bagai bunga, lelaki bagai dahan.
Lelaki muda itu bertolak tinggalkan dia
tersisa jantung dan hati dari timah.
la terbaring di taman tua
pestol di tangan dan lubang di jidatnva.
Suaminya yang tua berkata:
– Farida, engkau ini perempuan sial!
*
Ada Tilgram Tiba Senja
(Ada tilgram tiba senja
dari pusar kota yang gila
disemat di dada bunda).
(BUNDA, LETIHKU TANDAS KE TULANG
ANAKDA KEMBALI PULANG).
Kapuk randu! Kapuk randu!
Selembut tudung cendawan
kuncup-kuncup di hatiku
pada mengembang bemerkahan.
Dulu ketika pamit mengembara
kuberi ia kuda bapanya
berwarna sawo muda
cepat larinya
jauh perginya.
Dulu masanya rontok asam jawa
untuk apa kurontokkan air mata?
cepat larinya
jauh perginya.
Lelaki yang kuat biarlah menuruti darahnya
menghunjam ke rimba dan pusar kota.
Tinggal bunda di rumah menepuki dada
melepas hari tua, melepas doa-doa
cepat larinya
jauh perginya.
Elang yang gugur tergeletak
elang yang gugur terebah
satu harapku pada anak
ingat ‘kan pulang ‘pabila lelah.
Kecilnya dulu meremasi susuku
kini letih pulang ke ibu
hatiku tersedu
hatiku tersedu.
Bunga randu! Bunga randu!
Anakku lanang kembali kupangku.
Darah, o, darah
ia pun lelah
dan mengerti artinya rumah.
Rumah mungil berjendela dua
serta bunga di bendulnya
bukankah itu mesra?
Ada podang pulang ke sarang,
tembangnya panjang berulang-ulang
– Pulang ya pulang, hai petualang!
Ketapang. Ketapang yang kembang
berumpun di dekat perigi tua
anakku datang, anakku pulang
kembali kucium, kembali kuriba.
*
Balada Ibu yang Dibunuh
Ibu musang dilindung pohon tua meliang
bayinya dua ditinggal mati lakinya.
Bulan sabit terkait malam memberita datangnya
waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.
Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan
harian atas nyawa.
Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa
menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga.
Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba
oleh lengking pekik yang lebih menggigilkan
pucuk-pucuk daun
tertangkap musang betina dibunuh esok harinya.
Tiada pulang ia yang meski rampas rejeki hariannya
ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur
pula dedaun tua.
Tiada tahu akan merataplah kolik meratap juga
dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin
Tenggara.
Lalu satu ketika di pohon tua meliang
matilah anak-anak musang, mati dua-duanya.
Dan jalannya semua peristiwa
tanpa dukungan satu dosa. Tanpa.
*
Gerilya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana.
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kasumatnya.
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama.
la beri jeritan manis
dan duka daun wortel.
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya.
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.
Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
*
Ballada Lelaki yang Luka
Lelaki yang luka
biarkan ia pergi, Mama!
Akan disatukan dirinya
dengan angin gunung.
Sempoyongan tubuh kerbau
menyobek perut sepi.
Dan wajah para bunda
Bagai bulan redup putih.
Ajal! Ajal!
Betapa pulas tidurnya
di relung pengap dalam!
Siapa akan diserunya?
Siapa leluhurnya?
Lelaki yang luka
melekat di punggung kuda.
Tiada sumur bagai lukanya.
Tiada dalam bagai pedihnya.
Dan asap belerang
menyapu kedua mata.
Betapa kan dikenalnya bulan?
Betapa kan bisa menyusu dari awan?
Lelaki yang luka
tiada tahu kata dan bunga.
Pergilah lelaki yang luka
tiada berarah, anak dari angin.
Tiada tahu siapa dirinya
didaki segala gunung tua.
Siapa kan beri akhir padanya?
Menapak kaki-kaki kuda
menapak atas dada-dada bunda.
Lelaki yang luka
biarkan ia pergi, Mama!
Meratap di tempat-tempat sepi.
Dan di dada:
betapa parahnya.
*
Ballada Gadisnya Jamil, Si Jagoan
Begitu ia masuk ke dalam kali
perawan dengan dada-dada pepaya.
Sebab kedua matanya
telah ia tatapkan pada bulan
dan terkaca pada segala
hidup bukan lagi miliknya.
– Jamil! Jamil!
Bahkan pandang terakhir
tiada aku diberinya.
Punahlah sudah punah
lelaki yang hidup dari luka.
Kerbau jantan paling liar
memberi gila di dada berbunga.
Begitu ia masuk ke dalam kali
ikan larikan kail di rabunya
di pusaran putih
segala tuba.
– Jamil! Jamil!
Amis darah di mulutnya
kukulum keraknya kini.
Jamil! jamil!
Bersuluh obor
mereka mengejarnya
setelah ia bunuh
anak lurah di pesta.
Dan tikaman paling dendam
melepas dahaga hitam
pada tubuhnya yang capai.
Si dara menatap bulan di air
didengarnya bisik arus gaib.
Begitu ia masuk ke dalam kali.
Tiada kemboja di sini
dan gagak-gagak dilekati timah
pada mata-matanya.
Lala! Nana!
Tembang malam dan duka cita!
Angin di pucuk-pucuk mangga.
Tapi siapa ‘kan nyanyi untuknya?
*
W.S. Rendra bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun. Pendidikan SMA St. Josef, Solo. Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1967). Kumpulan puisinya antara lain Ballada Orang-Orang Tercinta, Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Sajak-sajak Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Pamphleten van een Dichter, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Disebabkan Oleh Angin, Orang Orang Rangkasbitung, Rendra: Ballads and Blues Poem, State of Emergency. Penghargaan yang pernah diterima : Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam Malik (1989), The S.E.A. Write Award (1996), Penghargaan Achmad Bakri (2006).
***
Link yang lainnya Balada-balada W.S. Rendra…