Djoko Saryono
Fuad Hassan, mantan Mendikbud zaman awal tahun 90-an dan orang yang multitalenta, pernah menandasakan sebagai berikut. “Tidak berlebihan kiranya untuk mengatakan bahwa dalam setiap karya sastra yang baik niscaya tersirat sikap filsafat tertentu; jejak-jejak filsafat itu cenderung tembus dari balik segi kebahasaan yang berwujud kesusastraan yang hampa pesan, dan melalui karyanya itu sikap filsafat sang sastrawan menjadi transparan dan kentara”.
Pendapat tersebut dapat dimengerti dan diterima karena tiga hal. Pertama, sastra sebenarnya memang berurusan dan bergumul dengan manusia dan dunianya. Kedua, setiap sastra yang baik selalu menyajikan permenungan-permenungan dan relung-relung terdalam manusia. Ketiga, sastra termasuk kategori pernyataan penghadiran. Bahkan sering tergolong pernyataan eksistensial. Tak heran, dalam Solilokui Budi Darma, setiap karya sastra yang baik selalu berfilsafat meskipun karya sastra bukanlah karya filsafat. Artinya, di dalam sifatnya yang sastrawi sebenarnya terkandung pula sifat filosofis.
Implikasinya, karya sastra boleh dipahami tidak semata-mata literer, tetapi bisa juga filosofis. Bahkan kedua-duanya, literer sekaligus filosofis sebagai kesatuan dan kepaduan pekat. Dalam hubungan ini karya sastra dipahami bukan semata-mata sebagai teks cerita, melainkan juga teks filosofis; sastra diperlakukan sebagai teks filosofis yang mengandungi konsepsi-konsepsi atau pikiran-pikiran filosofis.
Perlakuan sebagai teks filosofis tidak berarti meniadakan karya sastra sebagai teks cerita karena konsepsi-konsepsi atau pikiran-pikiran filosofis terlukiskan dalam teks cerita; dalam struktur cerita, dalam tubuh cerita. Dengan demikian, tidaklah perlu dipertentangkan antara karya sastra sebagai teks filosofis dan sebagai teks cerita. Keduanya dapat saling mengada.
Sebagai teks filosofis, karya sastra tidak menyajikan konsepsi atau pikiran filosofis secara konseptual dan proposisional, tetapi secara naratif. Hal ini berarti bahwa sebagai teks filosofis sastra tidak melakukan konseptualisasi dan sofistikasi, tetapi melukiskan pikiran filosofis. Pelukisan ini dapat ditampakkan pada struktur cerita secara keseluruhan. Tema, alur, watak tokoh atau tokoh, latar cerita, dan sebagainya bisa digunakan untuk melukiskan konsepsi-konsepsi atau pikiran-pikiran filosofis tentang manusia.
Tentu saja pelukisan konsepsi atau pikiran filosofis tersebut sering tidak lugas, langsung, dan analitis sebab pelukisan demikian dapat menghilangkan keberadaan dan hakikat sastra sebagai teks cerita atau sebagai sastra. Pelukisan tersebut sering dibungkus dengan sarana-sarana estetis dan stilistis terutama simbol-simbol dan metafora-metafora. Pasalnya, simbol-simbol dan metafora-metafora menyangga dan mempertahankan keberadaan dan hakikat sastra. Dengan demikian, pikiran filosofis yang terkandung dalam sastra terbungkus oleh sarana estetis dan stilistis terutama simbol dan metafora. Contohnya, pikiran eksistensialisme dalam La Peste (Sampar) karya Camus terkandung dalam simbol-simbol dan metafora-metafora yang terdapat dalam novel itu. Meskipun demikian, tidak semua konsepsi atau pikiran filosofis dalam sastra terbungkus oleh simbol dan metafora. Tidak jarang justru tertuang dalam narasi biasa.
Konsekuensinya, pemahaman pikiran filosofis dalam sastra memerlukan interpretasi dan evaluasi kritis terhadap simbol-simbol dan metafora-metafora yang terdapat di dalamnya. Kalau tidak dilakukan interpretasi dan evaluasi kritis niscaya sulit ditemukan konsepsi atau pikiran filosofis dalam suatu karya sastra (yang diakui dan didaulat berbobot sastra). Pendek kata, untuk mendedah dan menemukan pikiran-pikiran filosofis dalam karya sastra diperlukan pembacaan tersorot atau minimal tersirat (reading beyond the lines atau between the lines), bukan sekadar pembacaan tersurat (reading in the lines). Bagaimana pembacaan tersebut dilaksanakan?
2 Replies to “SASTRA SEBAGAI DULANG RENUNGAN FILOSOFIS (2)”