: Genealogi Sosial
Djoko Saryono
Salah satu hal menarik di dalam teks-teks novel Indonesia yang adalah citra asal-usul sosial perempuan Indonesia sebagai unsur citra sosok perempuan Indonesia. Teks-teks novel Indonesia yang pernah saya baca tampak secara kuat dan menonjol merepresentasikan citra asal-usul sosial perempuan Indonesia. Citra asal-usul sosial perempuan Indonesia di sini berkenaan dengan kedudukan dan golongan sosial perempuan Indonesia. Dipandang dari asal-usul sosialnya, perempuan Indonesia yang berasal dari golongan bawah, golongan menengah, dan golongan menengah-atas terepresentasi di dalam teks-teks novel Indonesia yang diteliti. Jadi, citra perempuan golongan bawah, menengah, dan menengah-atas terpancar dan tampil di dalam teks novel-novel Indonesia.
Perempuan golongan bawah yang dicitrakan di dalam teks novel-novel Indonesia pada umumnya adalah perempuan-perempuan yang miskin atau dari keluarga miskin, kurang berpendidikan, bekerja di sektor kasar atau dianggap rendah, dan secara genealogis bukan priyayi atau bangsawan. Sebagai contoh, teks Pengakuan Pariyem merepresentasikan citra Pariyem sebagai perempuan golongan bawah yang berasal dari keluarga buruh tani di wilayah polosok Yogya. Pariyem juga dicitrakan sebagai babu di dalam keluarga priyayi Kanjeng Raden Tumenggung Cokrosentono yang serba pasrah-pasif-fatalistis dan nenerima. Dalam pada itu, teks wacana Ronggeng Dukuh Paruk merepresentasikan citra Srintil sebagai seorang ronggeng yang serba permisif terhadap nilai etis dan moralitas. Srintil digambarkan sebagai seorang perempuan yang berasal dari dusun miskin dan orang tua yang miskin.
Selanjutnya, teks Tirai Menurun menyodorkan citra perempuan-perempuan kecil yang berada dan bergerak di dalam lingkaran kesenian wayang orang Jawa. Sumirat dan Kedasih merupakan perempuan yang asal-usulnya dari kalangan bawah yang hidupnya di seputar rombongan kesenian tradisional Jawa, yaitu rombongan wayang orang, yang juga berkonotasi kesenian rakyat bawah. Contoh-contoh ini memperlihatkan adanya representasi citra perempuan-perempuan kalangan bawah. Selanjutnya, hal ini mengimplikasikan terpancar dan tampilnya citra sosok perempuan golongan bawah di dalam teks novel-novel Indonesia.
Di samping citra sosok perempuan golongan bawah, citra sosok perempuan golongan menengah juga terpancar dan tampil di dalam teks novel-novel Indonesia. Perempuan golongan menengah yang dicitrakan di dalam teks-teks novel Indonesia adalah perempuan yang mengenyam pendidikan menurut zaman masing-masing, yang secara ekonomis mapan atau tidak berkekurangan, dan yang diri dan orang tuanya memiliki kemapanan sosial. Teks Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, Belenggu, Pada Sebuah Kapal, dan Saman, sebagai contoh, mencitrakan perempuan golongan menengah tersebut.
Di dalam teks Sitti Nurbaya, tentu saja, Sitti Nurbayalah representasi citra perempuan golongan menengah. Sitti Nurbaya digambarkan sebagai perempuan yang mengenyam pendidikan modern, memiliki kesadaran hidup yang relatif aktif, dan asal-usul orang tuanya terpandang secara sosial dan ekonomis. Demikian juga Tuti dan Maria di dalam teks novel Layar Terkembang – meskipun kepribadian keduanya berbeda – mencitrakan sosok perempuan golongan menengah pada zaman mereka. Khususnya Tuti, dia seorang perempuan yang rasional, memiliki kesadaran hidup mandiri, aktif di organisasi perempuan, dan berasal dari kalangan terpandang secara sosial dan ekonomis.
Selanjutnya, meskipun kepribadian dan karakter keduanya berbeda, Tini dan Yach dalam Belenggu juga mencitrakan sosok perempuan golongan menengah. Khususnya Tini (Sumartini), istri dokter Sukartono, dia adalah perempuan yang relatif berpendidikan, rasional, dan memiliki kesadaran hidup modern. Dalam Pada Sebuah Kapal, Sri adalah citra perempuan golongan menengah. Dia bukan saja berpikir rasional dan memiliki kesadaran hidup, tetapi juga menikah dengan orang asing, dalam hal ini seorang diplomat Prancis, dan mampu menyeleweng dengan alasan seperti orang modern. Adapun Saman mencitrakan perempuan-perempuan muda – yaitu Laila, Yasmin, Shakuntala, dan Cok – yang berpendidikan, berkesadaran rasional, melek soal-soal politik dan teknologi informasi, relatif mandiri, dan memanfaatkan kebebasan seluas-luasnya. Meskipun kepribadian dan karakter masing-masing perempuan tersebut berbeda-beda, semuanya mencitrakan perempuan-perempuan Indonesia dari golongan menengah.
One Reply to “CITRA PEREMPUAN DALAM FIKSI (3)”