Djoko Saryono
Dari uraian sebelumnya tampaklah jalin-kelindan, malah perpaduan dan persenyawaan antara literasi, tradisi baca-tulis, dan pembelajaran sastra Indonesia. Sebagai salah satu fondasi literasi yang telah terbukti menjadi episentrum perkembangan dan kemajuan kebudayaan dan peradaban, tradisi baca-tulis dan kemampuan berpikir kritis- kreatif perlu ditumbuhkan dan dikembangkan dalam pendidikan/pembelajaran di samping dalam berbagai lapangan kebudayaan dan peradaban lain.
Pembelajaran sastra Indonesia pun berkewajiban menumbuhkembangkan literasi, tradisi baca-tulis, dan kemampuan berpikir kritis-kreatif. Oleh karena itu, perlu dikembangkan model pembelajaran sastra Indonesia berparadigma literasi dan tradisi baca-tulis [termasuk berpikir kritis-kreatif] dengan visi: menjadi manusia beraksara, bertradisi baca-tulis, dan berpikir kritis-kreatif berlandaskan spiritualitas, filosofi humanis baru, dan multikulturalitas dengan sastra Indonesia. Hal ini berarti bahwa pembelajaran sastra Indonesia harus mampu membuat subjek didik berimajinasi, terinspirasi, dan bertransformasi melalui sastra Indonesia.
Di tengah involusi tradisi baca-tulis di samping politik kurikulum yang tidak memihak pembelajaran sastra Indonesia, jelaslah tidak mudah mengembangkan pembelajaran sastra Indonesia berparadigma literasi dan tradisi baca-tulis yang mampu mengimajinasi, menginspirasi, dan mentransformasi subjek didik. Akan tetapi, dengan reinventing kurikulum, dalam arti rekonstruksi dan reorientasi kurikulum, sangat mungkin dikembangkan pembelajaran sastra Indonesia berlandasan literasi dan tradisi baca-tulis tersebut.
Dalam rangka rekonstruksi dan reorientasi kurikulum tersebut perlu diperjelas dan dimantapkan keberadaan dan tempat pembelajaran sastra Indonesia dalam struktur kurikulum dan organisasi mata pelajaran. Dalam hubungan ini proporsi standar isi pembelajaran sastra Indonesia perlu ditata-ulang dan ditambah di sana-sini dan dikembangkan ke dalam rancangan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan menciptakan literasi, tradisi baca-tulis, dan berpikir kritis-kreatif pada subjek didik. Bahan pembelajaran sastra Indonesia berupa teks-teks sastra Indonesia juga perlu dipilih sedemikian rupa sehingga mendukung dan memperkuat keberaksaraan, tradisi baca-tulis, dan berpikir kritis-kreatif. Selain itu, perlu dikembangkan model pembelajaran imajinatif-inspiratif-transformatif supaya dapat tercipta orkestra pembelajaran sastra Indonesia yang indah, yang mampu mengimajinasi, menginspirasi, dan mentransformasi subjek didik menjadi manusia literat, bertradisi baca-tulis, dan berpikir kritis-kreatif.
Untuk “memainkan atau memeragakan” orkestra pembelajaran sastra Indonesia tersebut diperlukan pendidik atau guru sastra Indonesia yang mampu memainkan peran sebagai pemimpin sekaligus aktor/seniman pembelajaran. Ketercapaian atau keberhasilan pembelajaran sastra Indonesia yang imajinatif- inspiratif-transformatif yang diperagakan oleh guru perlu diukur dengan berbagai alat pengukuran. Di samping alat-alat non-ujian atau non-asesmen [baca: survei dan pemantauan], pada umumnya alat ujian atau asesmen menjadi pilihan utama untuk mengukur ketercapaian visi, misi-utama dan standar isi pembelajaran sastra Indonesia. Dari pengukuran inilah dapat diketahui gambaran literasi, tradisi baca-tulis, dan berpikir kritis-kreatif di kalangan subjek didik.
Tentulah kita berharap hasil pengukuran pembelajaran sastra Indonesia berparadigma literasi dan tradisi baca-tulis benar-benar menunjukkan terbentuknya manusia literat, bertradisi baca- tulis, dan berpikir kritis-kreatif. Dengan manusia seperti ini dapat diharapkan perkembangan konstruktif, bahkan kemajuan berarti di berbagai lapangan kebudayaan dan peradaban Indonesia.
***
2 Replies to “PEMBELAJARAN SASTRA (7)”