Aprinus Salam *
Kekuatan besar dalam suatu negara terletak pada masyarakatnya yang diam, atau memilih diam. Dalam proses sejarah politik dan sosial yang panjang, banyak orang terpaksa belajar diam. Mereka memilih diam karena tidak ingin ada kegaduhan yang tidak penting.
Lebih dari itu, mereka memilih diam karena mereka memiliki pendapat sendiri, sesuai dengan proses negosiasi yang ada dalam ruang kesadaran diri dan pikiran mereka masing-masing.
Persoalannya, hal apa saja yang dinegosiasikan dalam ruang kesadaran masyarakat diam tersebut? Bagaimana proses negosiasi itu terjadi? Dalam hal ini, ada empat hal yang bernegosiasi, yakni nilai-nilai lokal (tradisi), nilai-nilai agama, nilai-nilai nasional, dan nilai-nilai kapitalisme. Setiap nilai memiliki karakter dan tujuan tersendiri di dalam dirinya.
Modernisme dan globalisme tentu perlu diperhitungkan, tetapi untuk keperluan di sini diwakili oleh kapitalisme.
Nilai-nilai lokal atau tradisi, dalam sejarahnya, terbukti adaptif. Lokalitas terbiasa menerima banyak hal. Hal pertama yang “diterima” lokalitas adalah agama. Itulah sebabnya, karakter agama di setiap lokal berbeda-beda. Ada lokal yang mengadopsi agama secara dominan, tetapi ada lokal yang mempertahankan nilai lokalitasnya secara kental.
Di beberapa lokal di Jawa, misalnya, nilai-nilai lokal yang memegang teguh pada harmoni, pada kepantasan dan ketidakpantasan, masih menjadi kendali yang penting.
Agama memiliki rukun-rukun tersendiri yang khas. Rukun-rukun tersebut memberi keyakinan dan identitas, sehingga agama bisa memasukkan dan mengeluarkan seseorang dalam identitas dan keyakinannya.
Ada janji “keabadian” di dalamnya yang tidak dimiliki nilai lain. Sekali lagi contoh, orang Jawa, selamanya tetap Jawa, karena tidak ada aturan yang bisa mengeluarkan atau memasukannya. Akan tetapi, suatu ketika bisa saja orang Jawa tersebut beridentitas dengan agama yang berbeda.
Dalam sejarah Indonesia, nasionalitas mencoba mengakomodasi nilai-nilai lokal, agama, dan kapitalisme/modernisme. Hal itu dapat dengan mudah dilihat dalam Pembukaan UUD ’45. Di luar nilai lokal, agama, dan kemodernan, sesuatu yang khas dari nilai nasional terletak pada persatuan Indonesia. Persatuan dan kesatuan NKRI menjadi sangat penting.
Dalam logika yang sama, tentu seseorang bisa saja berpindah warga negara dan itu mengeluarkannya dari nilai persatuan dan nasionalitas.
Sementara itu, kapitalisme memiliki kemampuan menyerap semua hal sejauh dalam kalkulasinya menguntungkan dan meningkatkan kinerja dirinya. Artinya, kapitalisme mendorong masyarakat untuk selalu melakukan kalkulasi rasional ekonomis apakah tindakan, prilaku, atau keputusan mereka akan menguntungkan atau tidak.
Kita tahu, aspek sekuler memegang kendali penting. Dalam skala yang lebih besar, wajah kapitalisme bisa beragam karena kemampuannya memodifikasi nilai-nilai yang diserapnya untuk dijadikan komoditas.
Negosiasi Karakter
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa lokalitas dapat beradaptasi dengan apa saja. Dalam posisi itu, lokalitas menjadi bagian-bagian khusus, baik dalam nasional, agama, ataupun kapitalisme/modernisme.
Kedirian dan kecirian (lokalitas seseorang) bisa muncul dalam wajah nasional, agama, ataupun sebagai masyarakat modern. Lokalitas bermetamorfosis terus menerus sebagai sesuatu yang menjadi ciri-ciri masyarakat tertentu.
Agama bisa beradaptasi dengan nilai-nilai lokal dan nasional, tetapi sulit beradaptasi dengan kapitalisme yang rasional dan sekuler. Ada keyakinan terhadap hal-hal mistis, keberadaan dan peranan Tuhan/Allah, yang dalam setiap agama bersifat universial, tetapi tetap saja rukun-rukun dalam setiap agama ada perbedaan. Itulah sebabnya, banyak negara atau masyarakat di muka bumi ini tidak memposisikan rukun-rukun keagamaan sebagai praktik berbangsa atau bernegara.
Kalau melihat perjalanan politik Indonesia, maka diketahui bahwa masyarakat Indonesia memilih pegangan pada nilai nasional yang didukung oleh nilai-nilai lokal. Hal itu dapat dilihat dari berbagai hasil pemilu di tingkat nasional. Kalau dalam perjalanan ekonominya, Indonesia memilih modernisasi, dalam kendali kapitalisme, atau biasa kita sebut sebagai pembangunanisme.
Memang, di tingkat daerah terjadi berbagai variasi. Hal tersebut bergantung proses-proses negosiasi di antara berbagai kekuatan nilai tersebut di lokal masing-masing. Ada daerah yang tetap mengedepankan nilai-nilai nasional (nasionalitas), ada daerah yang masih berpegang teguh pada kekuatan nilai dan tradisi lokal, tetapi ada daerah yang kandungan agamanya cukup kuat.
Nasionalisme Kapitalis
Kembali mencermati situasi Indonesia, baik dalam rentang sejarah politik, ekonomi, sosial, dan budaya, maka proses negosiasi di antara empat nilai tersebut secara relatif dimenangkan oleh “gabungan” nasionalime dan kapitalisme. Persoalannya, apa kaitan “nasionalisme kapitalis” tersebut dengan masyarakat diam?
Tentu ini kesimpulan terbatas, karena bagaimanapun proses-proses negosiasi itu terus berlangsung, bergantung pada kondisi yang berkembang, dan berbagai peristiwa dengan komposisi nilai yang berbeda. Berbagai hal tersebut terus dicerna dan diikuti dengan diam dan secara diam-diam.
Merekalah yang diam-diam justru menentukan ke mana arah keputusan-keputusan yang akan diambil. Mereka adalah mayoritas yang rasional, cinta tanah air, selalu melakukan perhitungan dengan cermat, dan memilih diam sambil terus bekerja.
14 April 2021 Yogyakata
*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010).