Mengenang 21 Tahun H.B. Jassin, Kritikus Sastra Legendaris Indonesia


Yohanes Sehandi *

Hari Kamis, 11 Maret 2021, kritikus sastra legendaris Indonseia, H.B. Jassin, genap 21 tahun meninggal dunia. Jassin lahir di Gorontalo pada 31 Juli 1917, meninggal dunia di Jakarta pada 11 Maret 2000, dalam usia 83 tahun. Sudah 21 tahun kritikus sastra yang bernama lengkap Hans Bague Jassin ini meninggalkan kita semua. Meninggalkan dunia sastra Indonesia yang sangat dicintainya. Beliau dikenal sebagai Paus Sastra Indonesia, julukan yang diberikan seorang wartawan, Gayus Siagian, dalam sebuah simposium sastra pada 1965. Konon kabarnya, julukan itu sebagai guyonan saja pada awalnya, namun lama-kelamaan menjadi sebuah pembenaran.

Seperti gajah meninggalkan gading, Jassin pun meninggalkan nama besar dan tenar sebagai kritikus sastra dan dokumentator sastra Indonesia. Kritikus sastra merangkap sebagai dokumentator sastra itulah yang menyebabkan kedudukan H.B. Jassin bersifat legendaris, yang tak tergantikan sampai dengan saat ini. Ada sejumlah nama besar kritikus sastra setelah Jassin meninggal dunia, namun tidak merangkap sebagai dokumentator sastra yang handal dan tangguh.

Lahir di Gorontalo, Kiprah di Jakarta

H.B. Jassin lahir di Gorontalo pada pada 31 Juli 1917. Menyelesaikan pendidikan formal di HIS Gorontalo (1932). Dari Gorontalo merantau ke Medan. Selanjutnya, menempuh pendidikan MBS-B di Medan (1939). Dari Medan merantau lagi ke Jakarta. Menyelesaikan pendidikan di Fakultas Sastra UI (1957) dan Yale University, Amerika Serikat (1958-1959) dalam bidang Studi Ilmu Perbandingan Kesusasteraan. Menjadi dosen luar biasa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1953-1959, 1961-1975). Pernah dipecat dari Universitas Indonesia karena terlibat dalam penandatanganan Manifes Kebudayaan (Manikebu) pada masa Demokrasi Terpimpin era Presiden Soekarno.

Titik awal langkah besarnya pada tahun 1940, di mana H.B. Jassin berani mengambil keputusan untuk berkiprah di kota besar Jakarta sebagai pusat peradaban. Di Jakarta dia memilih bekerja di Balai Pustaka (1940-1942) atas permintaan Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994). Pada waktu bekerja di Balai Pustaka, dalam usia 23 tahun itulah Jassin mulai tekun menulis esai dan kritik sastra Indonesia.

Pada waktu bekerja di Jakarta, terhitung sejak 1940 itu, Jassin, di samping menekuni bidang kritik sastra, juga mulai melakukan dokumentasi sastra, dua bidang yang memang berkaitan langsung dengan tugas utamanya di Balai Pustaka. Selepas dari Balai Pustaka, H.B. Jassin bekerja di Lembaga Bahasa dan Budaya (1954-1973) yang kemudian lembaga ini berubah nama menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, yang kemudian berubah lagi menjadi Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, dan kini bernama Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada 24 Agustus 1970 H.B. Jassin diangkat Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, sebagai anggota Akademi Jakarta dengan ketua Sutan Takdir Alisjabana (STA). Keanggotaan Jassin berlaku seumur hidup. Pada tahun 1975 H.B. Jassin mendapat anugerah Doktor Honoris Causa (Dr. HC) dari Universitas Indonesia (UI), dengan orasi berjudul “Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia.” Pidato itu dan sejumlah tulisan yang lain sudah dibukukan oleh Pamusuk Eneste dengan judul yang sama, dan diterbitkan oleh Penerbit Gramedia, Jakarta.

HB Jassin dianugerahi 11 penghargaan dan tanda jasa, antara lain Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI (1969) atas jasa-jasanya di bidang kebudayaan. Hadiah Martinus Nijhof (1973) dari Prins Bernhard Fonds di Den Haag (Belanda) atas terjemahan novel Max Havelaar karya Multatuli. Menerima hadiah Magsaysay dari Yayasan Magsaysay Filipina (1987), dan anugerah Bintang Mahaputera Nararaya oleh Pemerintah RI (1994).

Dunia Kritik dan Dokumentasi Sastra

Dunia H.B. Jassin adalah dunia kritik sastra dan dokumentasi sastra. Dua jenis pekerjaan yang membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan juga biaya. Dilakukannya dengan segenap jiwa dan raganya, sejak 1940 sampai wafanya pada 11 Maret 2000. Jadi, Jassin menulis esai dan kritik sastra dan melakukan dokumentasi sastra Indonesia selama 60 tahun, dari 1940-2000.

Di bidang kritik sastra, Jassin telah menerbitkan beberapa judul buku kritik sastra. Yang dinilai paling monumental adalah buku himpunan kritik sastranya yang berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei yang jumlahnya mencapai empat jilid (Jilid I-IV, Jakarta: Gunung Agung, 1954, 1955, 1962, dan 1967). Di bidang dokumentasi sastra, Jassin meninggalkan warisan yang monumental, yakni Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (PDS HB Jassin) yang kini berpusat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. PDS HB Jassin adalah pusat dokumentasi sastra terbesar di Indonesia, diresmikan 28 Juni 1976.

H.B. Jassin juga pernah menjadi redaktur majalah sastra Pudjangga Baroe (1940-1942), majalah Pandji Poestaka (1945-1947), majalah Pantja Raja (1945-1947), dan majalah Mimbar Indonesia (1947-1966). Akhirnya, hampir semua penerbitan majalah sastra dan budaya di Indonesia pada pertengahan abad XX tidak luput dari sentuhan tangan dingin H.B. Jassin, antara lain: Zenith, Kisah, Sastra, Bahasa dan Budaja, Seni, Buku Kita, Bahasa dan Sastra, dan Horison. Di samping penerbitan majalah, penerbitan buku-buku sastra pun mendapat campur tangan HB Jassin, antara lain di Penerbit Balai Pustaka, Gapura, Gunung Agung, Nusantara, Pembangunan, dan Pustaka Jaya (lihat Puji Santosa, 2017).

Jenis kritik sastra H.B. Jassin khas, bersifat impresif, bertujuan memberi apresiasi atau penghargaan, teori kritik sastra digunakan seperlunya saja. Sebagai kritikus sastra, H.B. Jassin telah menerbitkan minimal 65 judul buku, dengan perincian sebagai berikut. Pertama, sebagai penulis asli, Jassin telah menerbitkan 14 judul buku, antara lain berjudul Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (4 Jilid, 1954, 1955, 1962, 1967), Heboh Sastra 1968 (1970). Kedua, sebagai editor buku-buku sastra, Jassin telah menerbitkan 26 judul buku, antara lain berjudul Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi (1948), Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948), Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45 (1956), Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963), Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968). Ketiga, sebagai penerjemah, Jassin telah menerbitkan 25 judul buku, antara lain berjudul Al Quran Bacaan Mulia (1978) terjemahan puitis atas Kita Suci Al Quran dan novel Max Havelaar (1972) karya Multatuli seorang novelis kelahiran Belanda.

Heboh Sastra 1968

Pada tahun 1968 HB Jassin dituduh terlibat dalam kasus pidana penodaan agama karena memuat cerpen berjudul “Langit Makin Mendung” karya Kipanjikusmin dalam majalah Sastra Nomor 8, Agustus 1968. Pemuatan cerpen ini menyulut peristiwa yang dikenal dengan nama Heboh Sastra 1968. Terjadi perdebatan panas di kalangan sastrawan, pengamat dan kritikus sastra, serta para alim ulama Islam, karena cerpen itu dianggap menistakan agama Islam. Karena banyak kalangan yang menentang isi cerpen itu, maka pada 22 Oktober 1968 Kipanjikusmin (nama samara penulis cerpen yang sampai kini tidak diketahui siapa nama aslinya) meminta maaf kepada publik dan menyatakan mencabut cerpen tersebut dari majalah Sastra dan menganggap cerpen itu tidak pernah ada.

Meskipun demikian, HB Jassin sebagai redaktur majalah Sastra yang bertanggung jawab atas pemuatan cepen tersebut, tetap berurusan dengan pengadilan karena HB Jassin tidak mau membuka identitas asli penulis Kipanjikusmin. Jassin bersikukuh mempertahankan pendapatnya bahwa karya sastra adalah urusan imajinasi, bersifat fiktif. Kebenaran karya sastra adalah kebenaran keyakinan, bukan kebenaran faktual yang bersifat objektif. Jassin pun menjalani masa-masa persidangan yang melelahkan lebih dari satu tahun, sejak 30 April 1969 sampai 28 Oktober 1970. Pada 28 Oktober 1970 HB Jassin divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.

Mengapa HB Jasin bersikukuh membela cerpen “Langit Makin Mendung” dan penulisnya Kipanjikusmin? Menurut Bagus Takwin dalam tulisan “Hasrat dan Semesta Sastra HB Jassin” (2011), ada empat dimensi dalam hasrat sastrawi HB Jassin yang membuatnya teguh membela karya sastra dan sastrawan, yakni untuk kemajuan/kebaruan sastra, sastra mempunyai daya pikat luar biasa, sastra bersifat universal, dan perjuangan di bidang sastra penuh resiko.

Ende, Flores, 11 Maret 2021

*) Yohanes Sehandi, Pengamat dan Kritikus Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *