Muhidin M. Dahlan *
Tempo.co, 29 April 2017
Ada cap yang melekat abadi di kepala banyak orang—terutama tentara dan pejabat pemerintahan—ketika dihadapkan pada kata “Samin”: keras kepala. Terngiang lagi pembangkangan sipil yang radikal yang digerakkan Samin Surosentiko atas Belanda. Mungkin hingga sekarang.
Gubernur Jawa tengah Ganjar Pranowo merasakan betul bagaimana keras kepalanya orang-orang yang menyebut diri sebagai Sedulur Sikep yang dipimpin Gunretno itu. Mereka bertahun-tahun menyuarakan satu hal; bukan saja berjalan kaki “menemui” si Gubernur di Kota Semarang dan mendirikan tenda berminggu-minggu, melainkan juga “menemui” Presiden Republik Indonesia di Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Di Jakarta itu, para perempuan Samin pembela bumi leluhurnya dari kerusakan korporasi yang direstui pemerintah itu, bahkan melakukan aksi yang barangkali tak pernah terbayangkan oleh aksi-aksi mahasiswa progresif sekalipun. Yakni, mengecor kaki dengan semen!
Sembilan Srikandi mengecor kaki mereka di Istana Presiden dari rezim yang kebetulan berdagang politik mengatasnamakan petani dan rakyat papah itu. Aksi itu kemudian mementaskan Samin ke dunia luas. Suara kritis Samin pun hinggap hingga ke Eropa.
Tapi, Samin tak melulu berada dalam garis keras kepala yang alot itu. Orang Samin itu sesungguhnya ramah. Bahkan, dalam beberapa titik boleh disebut naif—jika tak memakai sepatu itu Anda bilang naif, lo.
Mereka juga punya perbendaharaan humor yang liat. Jika di Sunda ada si Kabayan, maka di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ada si Samin. Ada titik temu dua sosok legenda itu; lurus, ramah, lucu, genial, sekaligus alot.
Buku Dunia Samin ini membantu kita melihat Samin dari banyak titik sekaligus. Buku cerita ini sudah disusun Soesilo Toer sejak 1963. Seusai belajar di Universitas Lumumba, adik nomor enam sastrawan Pramoedya Ananta Toer ini menambahkan cerita itu.
Keluar dari penjara Orde Baru di tahun akhir 70-an, doktor yang menjadi pemulung di seantero Blora ini, menambahkan lagi cerita Samin ini. Jadilah tiga bagian cerita Samin ini ditulis dalam rentang waktu yang cukup lama. Samin yang gagah berani, pintar, lurus, dan lucu itu pun menjadi semacam jalan hidup sedulur sikep.
Alkisah, kampung geger oleh tertangkapnya seekor kera. Kera tua yang malang itu dibawa ke rumah Samin si kepala desa. Warga berseru: “Bunuh saja!” Samin menolak eksekusi seperti itu. Warga ngotot, karena si kera sudah merusak tanaman.
“Kera yang sudah lari itu yang merusak tanaman. Bukan dia yang tertangkap. Yang ini hanya cari makan. Lihat matanya, itu adalah matamu. Coba perhatikan tangannya, itu adalah tanganmu. Antara dia dan kita hanya dibedakan oleh ekor. Kalau ekor itu kita potong, ia akan sanggup bicara seperti kita,” kata Samin yang kemudian meringis persis kera tua itu.
Humor-humor satir semacam itu kita temukan bertebaran di 130 cerita Samin dalam buku ini. Tokoh utamanya memang Samin yang didampingi istrinya. Samin yang seorang kepala desa merawat kebijaksanaan dengan pikiran-pikiran di luar kotak.
Mau coba main teka-teki dengan Samin? Ayo.
“Min, mengapa air selalu mengalir ke tempat lebih rendah?” Jawab Samin, “Kalau ia mengalir ke tempat lebih tinggi, sudah lama dunia ini tenggelam!”
Suatu hari istri Samin bertanya, “Min, mengapa bulan dan matahari tidak pernah bertemu?” Dengan enteng Samin menjawab, “Kalau mereka bertemu berabe. Di mana akan ditidurkan bayi mereka? Dunia sudah begini penuh.”
Begitulah Samin. Ia terlalu mandiri untuk diberi iming-iming. Apalagi harta. Orang Samin tak pernah takut melarat, karena mereka yakin mereka selalu hidup cukup dengan bekerja di tanah mereka sendiri. Nah, istri Samin uring-uringan karena kehabisan makanan. Samin enteng saja menanggapi, “Anggapanmu kalau kau makan kenyang setiap hari panjang umurmu? Makan saja itu batu biar cepat kenyang. Raja-raja itu apa kurang makan, mereka toh mati juga!”
Bagi orang Samin, tanah di mana mereka tempati tak mungkin membikin mereka kekurangan. Apalagi bikin keluarga mereka lapar. Prinsip “sacukupe” menjadi pertahanan bagi orang Samin tetap menjaga kewarasan tentang apa yang melestarikan dan apa yang menjadi mesin penghancur.
Kewarasan sedulur sikep itu membuat mereka enteng mengambil sikap dan tindakan. Semua orang dihormati, diperlakukan dengab ramah. Namun, keramahan orang Samin tak bisa dibeli siapa pun. Saya ulangi: tak bisa terbeli.
Datanglah penagih pajak tanah ke rumah Samin yang disambut dengan ramah. Si penagih pajak itu langsung diantarkan Samin ke kebun. “Lo, saya mau kaubawa ke mana? Saya nagih uang pajaknya,” kata si penagih.
“Apanya?” tanya Samin pura-pura.
“Pajak tanah!,” kata penagih itu marah. “Silakan saja ambil sekuatnya tanah di kebun itu. Syukur kalau ada tahinya buat rabuk,” jawab Samin.
DUNIA SAMIN
Penulis : Soesilo Toer
Penerbit : Pataba Press, 2017
Tebal : 290 hlm
* Peresensi : Muhidin M. Dahlan, kerani di @warungarsip