Catatan Perjalanan dan Kesunyian di Makam Sunan Drajat (VI)

Muhammad Yasir

Pada masa pendidikan lanjutan, aku pernah melempar seorang guru agama dengan sepatu. Bukan tanpa sebab. Belum semua kripik pisang laku terjual – untuk tetap bertahan hidup, Mamakku membuat kripik pisang untuk kujajakan di sekolah, dan keuntungannya yang tidak semahal hotel berbintang tiga untuk seorang perwakilan rakyat dan keluarganya! Perutku yang kurus mulai menuntut kewajibanku merawatnya. Baru saja aku hendak masuk ke kelas-kelas untuk menjajakan, bel sekolah berbunyi tanda pelajaran selanjutnya.

Sekuat tenaga aku menahan tuntutan itu, hingga ketika mulut guru agama itu begitu fasih menyudutkan keluarga besarku sebagai daging busuk, kemudian menyisipkan hardikan yang menyengit hatiku. Sontak, tanpa interupsi, kulepas ikatan sepatuku kemudian melemparkannya ke papan tulis – aku masih memiliki akal sehat; jika aku melukainya, maka aku harus membayar! Dan apa pun hal tentang bayar-membayar adalah hal yang harus orang-orang sepertiku hindari! Semua kelas menjadi hening. Guru agama itu tidak bicara sekata pun, kemudian pergi ke kantor. Aku pun demikian, keluar kelas dan menjajakan kripik pisang-kripik pisang itu agar pada waktu istirahat kedua aku bisa makan mie dengan telur rebus ditambah es!

Aku tidak melupakan hal-hal melecehkan dalam perjalanan hidup. Justru aku mengarsipkannya dengan baik dalam otak kecilku; aku yakin, kelak, ingatan itu akan hadir dan membantuku menjadi manusia yang menjadi. Lihat betapa bulan bersinar terang di langit pada suatu malam satu dekade kemudian! Lihat pula bunga kamboja yang bermekaran, jalan raya yang lengang, dan enduslah bau tanah makam yang segar ini! Aku telah menjadi yang berbeda yang berbahaya jika engkau lecehkan! Sekali pun di beberapa sudut makam dan hatiku, malam dan kegelapannya tidak bisa ditawar.

Dan, bulanlah yang membawaku ke sini; Muhammad Qasyim alias Sunan Derajat di jalan perlintasan Gresik-Lamongan-Surabaya. Tidak ada sensasi yang berbeda dari sebelumnya, ketika aku berada di makam Sunan Giri. Sensasi dingin dan getar membuat langkahku terhenti di tempat wudlu. Aku tidak sendirian datang, Maksimin dan Siti Mekka adalah pembimbingku. Maksimin, meski dalam kondisi sakit, bersedia mengantarku ke sana. Baginya, membimbing seorang bajingan muda sepertiku ke jalan sunyi bathiniah, adalah sesuatu yang sarkas dan menarik untuk dilakukan. Aku tidak mendebat anggapan Maksimin. Dia seorang penyendiri yang sakit dan digiling-gilas penyakit non-saintifik. Meski demikian, Maksimin tidak memberikan tanggapannya tentang aku yang tidak fasih dalam membaca ayat-ayat dan doa. Dia memilih duduk di samping Siti Mekka, istrinya, sembari menahan sakit.

Setelah membacakan al-Fatikhah, aku memiliki sedikit waktu untuk bicara kepada Sunan Derajat, sebelum Maksimin bangkit. Begini bila kutuliskan:

Sunan Derajat… sehormat-hormatnya aku bertarung dengan diriku sendiri, aku memiliki waktu untuk menghadapmu. Sebelumnya, aku datang ke makam Sunan Giri. Engkau tahu? Sensasi ketika aku memasuki makamnya dan makammu, sama saja. Dingin dan getar pada tubuhku! Oh! Aku sempat berfikir, setelah meninggalkan makam Sunan Giri, bahwa akan datang nasib baik kepadaku. Sungguhlah itu kekeliruan semata. Engkau tahu? Derajatku sebagai seorang penulis, sebagai seorang suami dari anak-cucumu di tanah Jawa Timur ini, sedang kupertaruhkan dengan waktu dan persoalan sistem berkehidupan yang kacau!

Sebelum aku datang kepadamu, sebuah majalah, Jubi, menerbitkan berita tentang Steven; seorang Papua telah dilecehkan oleh dua orang anggota Polisi Militer! Dengan gagah, mereka menginjak kepala Steven dan yang lebih menyedihkan lagi adalah Wakil Gubernur Merauke mengatakan bahwa persoalan ini sudah diselesaikan dengan saling memaafkan. Darahku tiba-tiba meruap. Betapa tidak? Kekerasan kekuasaan ini telah menelanjangkan “Budaya Ketimuran” yang menjadi hukum bagi moralitas “Orang Indonesia” yang konon dianggap sebagai suatu negara yang berbudaya Nusantara, bahwa sejatinya makna “Budaya Ketimuran” tidak lain hanyalah kedok bahwa negeri ini telah gagal melindungi hak warga negaranya. Bagaimana akal sehat dan nuraniku menerima bahwa pelecehan manusia ini hanya akan selesai dengan mengucapkan kata “maaf”, wahai Sunan Derajat?! Beri aku tanda yang bisa menjadi jawaban untuk pertanyaan ini.

Sunan Derajat… sehormat-hormatnya aku sebagai seorang bajingan, kita harus bersepakat bahwa derajat Steven dan orang-orang dimiskinkan di negeri ini tidak lebih tinggi dari bunga yang tumbuh di halaman Istana Negara! Dan, bahwa dengan kekuasaan seseorang bisa dengan mudah menguasai orang lain. Steven hanya satu. Aku tidak memiliki pengetahuan tentang berapa jumlah pasti orang-orang Papua dibunuh sejak Perjanjian New York (1966) hingga abad amoril sekarang ini, serta berapa orang keluarga mereka, terkhusus Mamak, yang kehilangan jari-jemari mereka sebagai tanda bahwa perpisahan tanpa kesepakatan bersama adalah pesakitan yang sukar dideskripsikan.

Tidak ada tongkat untuk mereka. Tidak ada makanan untuk mereka. Tidak ada tempat untuk mereka. Tidak ada pakaian untuk mereka. Sejatinya, Indonesia dengan sendirinya menjadi gizi buruk dan teror bagi setiap yang hidup di Papua. Berikanlah aku tanda, wahai Sunan Derajat! Bagaimana aku bisa menuliskan semua kesedihanku ini menjadi cerita yang akan membuat penindas kami mati di tiang gantungan tanpa kulit melekat di tubuh mereka?! Oh! Baiklah! Aku menunggu dalam sepekan ini bagaimana jawabanmu. Selebihnya, aku tidak memiliki kemampuan untuk membuat ode untukmu.

Sama. Sensasi yang kualami ketika keluar dari makam Sunan Giri, juga terasa ketika aku hendak keluar dari makam Sunan Derajat. Apakah karena Allah merencanakan sesuatu untukku melalui sensasi dingin dan getar ini? Aku bertanya dalam hati. Jika benar, kuharap itu suatu yang baik-baik. Jika tidak, aku akan mencari lagi dan terus menuliskan perjalanan ini, hingga waktu yang kumiliki membuatku wajah guru agama yang melecehkan dan menghardik keluarga besarku itu lenyap dari benakku tanpa perlu aku memaafkannya, karena memaafkan hanya bisa dilakukan Muhammad, sementara aku dengan Muhammad menjadi nama depanku, tidak lain-tidak bukan hanyalah seorang pendosa yang menyedihkan! Surabaya, aku akan segera tiba, mari mabuk saja!

Bersambung…

Surabaya, 2021.

2 Replies to “Catatan Perjalanan dan Kesunyian di Makam Sunan Drajat (VI)”

Leave a Reply

Bahasa »