Dari Anakronisme sampai Etiket Bahasa


Peresensi: Adib Baroya *
Judul : Perca-perca Bahasa
Penulis : Holy Adib
Penerbit : Diva Pres
Cetakan : Pertama, Maret 2021
Tebal : 180 halaman
ISBN : 978-623-293-098-8
maarifnujateng.or.id, 28/05/2021

Bahasa tak bisa dilepaskan dari persoalan kosakata, makna dan konteks zaman. Bahasa jelas menangkap semangat suatu masa. Bahasa berubah dan bersinggungan dengan perubahan masyarakat. Perjumpaan dengan sekian tatanan hidup ini memberi pengaruh dan membentuk kultur berbahasa. Menciptakan pasang-surut penggunaan kosakata dan kemunculan kosakata-kosakata baru dalam perkembangan sejarah suatu bahasa.

Fenomena kebahasaan itu mendapat sorotan dalam buku Holy Adib berjudul Perca-perca Bahasa (2021) ini. Buku kumpulan esai ini buku kedua setelah buku Pendekar Bahasa (2019). Masih dengan tema yang sama, “Si Pendekar Bahasa” berusaha mendedah dan mencatat fenomena apa saja yang sempat bergulir. Dengan upaya semacam ini, membuat kronik berbahasa terdata dan terdokumentasikan.

Adib bersoal jawab atas pelbagai persoalan bahasa nasional kita dengan lugas dan enteng. Sehingga, saat membaca buku ini, yang terjadi adalah berdialog untuk mencermati, menggali, plus merenungi sejauh mana penggunaan bahasa Indonesia. Buku ini tersajikan dengan bahasa yang tidak akrobatik tapi tetap menarik. Dengan 7 bab yang tersaji, buku ini mengajak kita untuk lebih peka menghadapi bahasa Indonesia, baik di ranah personal maupun komunal.

Di tulisan “Anakronisme Bahasa dalam Film Bumi Manusia”, Adib menemukan kejanggalan pemakaian bahasa yang tidak selaras zaman dalam film tersebut. Kamus Besar Bahasa Indonesia V (2018) menjelaskan anakronisme sebagai, “hal ketidakcocokan dengan zaman tertentu.”

Kita tahu, film Bumi Manusia itu adaptasi dari novel Pramoedya Ananta Toer. Dalam novel pembuka Tetralogi Pulau Buru-nya itu, Pramoedya hanya menulis “kau” dan “tuan” sebagai pronomina. Namun, beberapa adegan percakapan dalam film?yang berlatar tahun 1898-1918 di Hindia Belanda? justru terang-terangan menggunakan “Anda” sebagai kata ganti orang kedua tunggal. Penggunaan ini sangat tidak logis dengan latar waktu yang diusung film. Adib mencatat “Anda” digunakan sebanyak enam kali; satu oleh Minke, tiga kali oleh Nyai Ontosoroh, dan tiga kali oleh polisi Belanda.

Para penutur bahasa Melayu-Indonesia masa lampau tentu tidak menggunakan “Anda”. Transformasi linguistik ini sebenarnya sudah diusut Adib dalam “Sejarah Anda” yang terhimpun di buku sebelumnya. Selain “Anda”, ada pula kata “sih”, yang turut diucapkan dalam adegan film Bumi Manusia dengan sangat fasih, yang turut menimbulkan anakronisme.

Sebagai representasi visual, film menghadirkan citra dan imaji yang sangat terpaut zaman. Dari segenap properti, atmosfer sosial-budaya, dan bahasa, emestinya selaras. Keberadaan bahasa dalam film tersebut tak berfungsi sebatas alat komunikasi, tapi juga penanda zaman dan identitas tokoh. Dialog film yang mengangkat latar masa silam tentu perlu menyesuaikan kosakata, gaya bahasa, struktur kalimat, sampai logat pada masa itu. Sebab, tuturan bahasa maha penting, apalagi dalam proyeksi film.

Sementara itu, Adib juga memperdebatkan makna “takjil”. Kosakata ini berasal dari bahasa Arab, ta’jiil, akan sangat ramai dituturkan selama bulan Ramadan di Indonesia. Kala sore atau menjelang petang hari, berburu takjil jadi wajar bagi masyarakat kita. Bulan Ramadan pun meriah dengan takjil.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V, “takjil” dimaknai sebagai verba ‘menyegerakan (dalam hal berbuka puasa)’ dan makna kedua adalah nomina konkret ‘makanan untuk berbuka puasa’. Yang terakhir inilah yang dikenal luas dan sering dituturkan masyarakat Indonesia, tinimbang arti pertama. Adib menandaskan bahwa penggunaan kosakata “takjil” yang tak sesuai dengan makna aslinya dalam bahasa Arab, tidak perlu dianggap salah kaprah dan wajib diluruskan.

Selain “takjil”, bentuk-bentuk lain yang memiliki makna serupa adalah “perbukaan” dan “juadah”. Kita mendapatkan informasi menarik. Konon, kosakata “perbukaan” di Malaysia jarang dipakai, musababnya terlalu baku. Orang-orang di negeri Jiran itu justru acap mengucap “juadah” dalam percakapan sehari-hari.

Kosakata dasar “perbukaan” adalah “buka”. Kata ini pada akhirnya diserap oleh berbagai bahasa daerah sesuai dengan penyerapan masing-masing; “pabukoan” (Minang) “pappabuka” (Bugis) “appabuka” (Makassar) “pebukoan” (Lampung) “bhukaan” (Madura) dan “parbuko” (Mandailing) (hal 87).

Dalam penyerapan kosakata, lazim terjadi perluasan atau penyempitan makna. Keduanya sangat kerap terjadi dalam kasus penyerapan kata dari bahasa asal alias bahasa asing. Kadang hanya diserap bentuknya tanpa meminjam maknanya, kadang jua meminjam bentuk sekaligus maknanya. Kesepakatan masyarakat berperan besar ihwal kosakata dan makna (yang meluas atau menyempit) ini. Penggunaan bahasa masih sangat bergantung konvensi sosial.

Tak melulu mendaratkan makna kata. Adib juga menyajikan pengalaman personalnya, seperti terbaca dalam tulisan “Etiket Berbahasa dalam Pergaulan Antarsuku Bangsa”. Adib mengisahkan dirinya saat berkomunikasi dengan orang yang berbeda suku bangsa. Dua kali Adib mengalami kemandekan komunikasi. Semuanya di jagat virtual, satu di Facebook, satu lagi di Twitter.

Percakapan maya memang mendominasi model pergaulan kita, apalagi saat dunia kian tertekuk dalam genggaman. Proses komunikasi yang dilakukan otomatis terhenti. Padahal, syarat utama komunikasi berjalan lancar apabila komunikator (pengirim pesan) dan komunikan (penerima pesan) memakai bahasa yang saling mereka pahami (hal 116). Bahasa, rupanya bukan hanya sebagai alat pemersatu, melainkan juga pemisah.

Kejadian semacam ini tidak bisa masyarakat Indonesia pungkiri. Negara-bangsa Indonesia terdiri atas beragam suku dengan bahasa daerah masing-masing. Bahasa satu niscaya saling bertemu dengan bahasa lain, menembus batas-batas teritorial dan kultural. Maka, etiket berbahasa di tengah negara-bangsa kita yang sangat plural ini menjadi urgen.

Adib memberi saran tanpa amarah, “Sebaiknya Anda memakai bahasa Indonesia jika belum mengetahui suku bangsa lawan bicara”. Bahasa Indonesia sesungguhnya bisa menjembatani sekian bahasa daerah. Kasus yang didedah Adib ini baru taraf penggunaan bahasa daerah, tak ubahnya dengan bahasa asing, ?yang juga intens dituturkan pada lawan bicara yang belum tentu mengerti betul makna kosakata bahasa asing tersebut.

*) Adib Baroya, mahasiswa IAIN Surakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *