Langit berwarna oranye pekat sore ini. Itu semacam lidah berbalur kunyit yang ditarik sebelum perkataan terakhir keluar. Tidak terhitung berapa kali nama Tuhan disebutkan sepanjang hari ini. Tetap saja, puluhan sampai ratusan orang naik ke Sorga.
Itulah mengapa, Rantum, seorang bromocorah, menolak berdoa. Baginya, doa adalah puncak keheningan dan ketakutan seorang manusia. Dia memilih duduk di meja, di balik jendela, dengan selembar kertas dan sebilah pena. Dia menatap kertas itu dengan perhitungan yang matang.
Ada ratusan angka berbeda mengisi setiap kotak di kertas itu. Dengan perhitungannya, Rantum mulai melingkari satu per satu kotak hingga total ada empat lingkaran. Kemudian, perlahan-lahan, mata dan tangannya bekerja membuat garis penghubung ke masing-masing angka yang telah dia beri lingkaran.
Itu belum terlalu malam. Masih terdengar suara tetangga memarahi anaknya yang bengal. Istri Rantum adalah seorang guru di sekolah dasar alakadarnya. Mestinya, selepas pukul tujuh dia sudah di rumah, tetapi situasi seperti sekarang memaksa istrinya harus bekerja ekstra. Dia membuka bimbingan belajar ke rumah-rumah muridnya.
Rantum melupakan kedatangan istrinya. Dia mengumpulkan keyakinannya terhadap angka-angka itu; harap-harap tembus keesokan hari. Tanpa disadarinya, seorang tukang becak, rekannya sepernasiban, berdiri di beranda rumahnya sembari terus mengetuk pintu.
“Rantum?” Teriak si tukang becak karena kepenatan menunggu.
“Ya! Ya!” Ujar Rantum sembari berjalan ke pintu rumahnya.
“Kau rupanya!”
Si tukang becak itu melongos masuk begitu saja dan duduk di meja Rantum, tanpa sekata pun.
“Baru saja,” kata si tukang becak, “aku bertemu seorang Karim yang gila itu. Iseng-iseng aku tanyakan angka-angka yang akan keluar esok. Dia mengatakan ini: “Ha-ha… 2348.” Aku tak yakin awalnya. Kemudian kutanyakan lagi dan jawabannya tetap sama.”
Rantum melemparkan pandang matanya dari wajah jelek si tukang becak ke angka-angkanya. Kemudian berkata, “Aku lebih yakin dengan angka-angka ini, 4565. Aku menghitungnya tak sembarang. Kau tahu bagaimana aku mendapatkan angka-angka ini? Dari total orang yang mati karena virus sekarang ini. Dan, kau tahu, hanya kematian yang mampu menembus kebengalan manusia, akan membuat mereka tunduk, dan mengakui bahwa mereka begitu murah.”
“Aku merasakan aroma pelecehan di sini,” kata si tukang becak.
“Apa dan siapa yang tidak melecehkan di sini? Seorang presiden saja bisa melecehkan kehormatanmu sebagai seseorang yang membuat dia jadi presiden. Persetan dengan ucapanmu dan orang gila itu. Aku lebih menyukai angka dari kematian ini. Sekarang, jika kau seorang rekanku, pulanglah! Istriku sebentar lagi pulang. Kau tahu ‘kan, dia tidak menyukaimu!”
Si tukang becak pulang dan tak mengindahkan ucapan Rantum. Dia lebih yakin dengan angka yang disebutkan Karim, orang gila, ketimbang angka milik Rantum yang diambilnya dari kematian. Sesampainya di rumah, si tukang becak langsung mengambil kertas dan pena, kemudian memulai melingkari angka-angka tadi.
“Aku yakin,” gumamnya, “si Rantum akan termingkem! Dia begitu sombong dengan perhitungannya. Lihat besok! Angka-angka inilah yang akan keluar! Ha-ha…”
Keesokan hari. Rantum dan si tukang becak bertemu di jalan biasanya, jalan menuju rumah bandar togel terkemuka. Langit begitu cerah, seakan-akan nasib mereka sama cerahnya. Angkakulah yang akan tembus, gumam Rantum. Lihat si Rantum, gumam si tukang becak. Angkakulah yang tembus. Ini empat angka. Aku akan kaya! Begitulah keduanya saling menghardik, hingga sampailah mereka di rumah itu.
Rantum mengetuk pintu. Tidak ada sahutan. Giliran si tukang becak. Sama saja. Tak lama kemudian, terdengar sirene, entah mobil polisi atau ambulans, tidak jelas, membuat Rantum dan si tukang becak terkejut dan bersiap-siap mengeluarkan ilmu kanuragan manusia macam mereka, langkah seribu. Rupanya itu ambulans. Keduanya, mulai mengeluarkan ilmu masing-masing. Dari ambulans yang berhenti persis di depan rumah bandar togel terkemuka keluar beberapa orang petugas kesehatan berseragam lengkap. Melihat itu,, anpa pikir banyak keduanya lari sekuat tenaga.
Sirene ambulans itu kembali berbunyi. Angka-angka itu jatuh di lantai beranda rumah bandar. Rantum dan si tukang becak tidak menyadarinya. Mereka terus lari kesetanan. Terakhir, keduanya melompat pagar pemakaman umum kemudian berhenti. Ada dua lubang makam di pemakaman itu, Rantum dan si tukang becak sembunyi di sana.
Sirene ambulans itu terdengar lagi dan sekarang terasa begitu dekat. Para petugas kesehatan keluar dan mengangkat dua peti mati – ternyata itu si bandar togel terkemuka dan istrinya – menuju lubang galian yang telah disiapkan. Ketika hendak meletakan peti mati di sebelah lubang makam terdengar suara, “Tolong! Jangan turunkan dulu. Ada orang di sini! Tolong!” Itu suara Rantum. Kemudian, “Ampun Tuhan! Hentikan!” Dan itu si tukang becak.
Surabaya, 2021