Bagaimana Cinta Menghabisi

Muhammad Yasir

Di atas meja triplek berwarna hitam, berlembar-lembar kertas berserakan. Di luar jendela, gang sempit membentang lengkap dengan bendera kebangsaan yang lusuh, melambai-lambai diterpa angin, seakan-akan atau seperti yang telah dikatakan bahwa bangsa ini telah merdeka dari kolonialisme putih. Di sisi kanan meja, ada kursi kayu tua dipernis sedemikian rupa, sehingga dapatlah engkau melihat dirimu di sana. Continue reading “Bagaimana Cinta Menghabisi”

Sampaikan Surat Ini Kepada Maksimin

Muhammad Yasir

Maksimin seorang derma yang pesakitan dan lebih tua hampir 20 tahun dariku. Tubuhnya tinggi dan kurus, rambutnya tidak terawat sepertinya begitulah perangai seorang serdadu yang kalah perang. Dua bulan belakangan ini, dia kerap menghabiskan hari-harinya di sebuah kamar sumpek. Dia menulis dan menyunting di sana. Semua penulis, barangkali, memiliki prinsip individual dalam kerja-kerja kreatifnya. Tentu ada kebebasan yang aneh yang terkandung di dalamnya. Continue reading “Sampaikan Surat Ini Kepada Maksimin”

Revolusi Orang-Orang Tidak Merdeka

Muhammad Yasir

Tahun 1941, sahlah aku menjadi seorang terdidik dari Zending Vervolgschool; sekolah milik Belanda di Kasongan. Dan, entah kenapa, tidak sekali pun terbesit dalam kepalaku untuk menjadi Belanda, meskipun Meneer Dedrick van Defras; seorang guru bahasa Belanda yang baik dan selalu menyuruhku untuk datang ke rumahnya setiap sore hari, menyuruhku untuk melanjutkan pendidikan ke Hollandsche Indische Kweekschool di Batavia. Aku memilih Kalimantan, karena tubuhku dan hidupku terbentuk dari kemuliaannya. Secara diam-diam, aku telah memantap diri dan keyakinanku untuk menjadi seorang guru. Dan, tanpa sepengetahuan Menner Dedreick Van Defras, aku melanjutkan pendidikan sekolah guru ke Kioin Josejo di Sampit. Continue reading “Revolusi Orang-Orang Tidak Merdeka”