Di Panggung Puisi Radhar Terus Hidup

Putu Fajar Arcana
kompas.com

SEJAK setahun tiga bulan yang lalu, penyair Radhar Panca Dahana (38) harus terbaring minimal sepuluh jam dalam seminggu untuk melakukan hemodialisis. Pada hari-hari Selasa dan Sabtu, ditemani istri dan anaknya, Radhar menghabiskan waktunya di sebuah bilik rumah sakit. Terbayang selang-selang, bau obat, aliran darah, deru mesin, serta cairan yang menetes ke bak penampung.

BEGITULAH hari-hariku, tutur Radhar, Kamis (10/4) malam, seusai membaca puisi di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Ia rupanya baru saja bangkit dari kelelahan. Malam itu Radhar tak kurang membaca 18 dari 28 puisi yang dibacakan dalam pertunjukan yang ia beri tajuk Pembacaan Puisi Dramatik Radhar Panca Dahana Lalu Batu. Beberapa artis yang ingin memberi selamat seperti Rieke Dyah Pitaloka dan Renny Djayusman terpaksa mengurungkan niatnya, karena Radhar masih terbaring lemas.

“Mungkin seusai pentas dua hari ini,” tutur Radhar kemudian di rumahnya, “Aku harus cuci darah tiga kali seminggu, untuk memulihkan kesegaran.”

Dalam keadaan “menyerah” pada kuasa mesin itu pun lelaki kelahiran Jakarta, 26 Maret 1965 ini masih sempat menulis: //siapa pun/tak di situ// (Sakit Itu), //berjumpa tak dengan siapa/berpisah dengan siapa// (Kalian), //ramai di kepala/sunyi di sisanya// (Suara), //terbaca yang tidak/tidak yang terbaca// (Huruf), //kuucap seribu/danau yang bisu// (Kata), //kupejam rapat terlihat/kulihat lamat ia lewat// (Pandang), //perjalanan pendek ini/panjang sekali// (Nafas).

Kutipan tadi adalah puisi- puisi pendek yang ditulis Radhar saat-saat sedang menjalani cuci darah. Malam itu, sayang, cerpenis Djenar Maesa Ayu, membaca puisi-puisi ini dengan penuh rasa tak percaya diri. Padahal (jangan-jangan) inti dari pencarian puisi Radhar justru ditemukan pada sajak-sajak pendeknya.

Ia tak lagi mengumbar tanya atau melakukan analisis terhadap berbagai situasi batin dan sosial yang mengungkungnya, tetapi menyelesaikan semuanya pada titik paling absurd. Cobalah dengarkan lagi: //perjalanan pendek ini/panjang sekali//. Puisi berjudul Nafas ini, lewat teknik kata-kata yang berantitesis, Radhar menyimpan narasi yang demikian panjang dan dalam tentang kenyataan yang melingkupi dirinya. Semuanya berupa pertanyaan- pertanyaan buntu, penuh ketidakmengertian antara penyerahan dan perlawanan.

Pada pemanggungan puisi malam itu pun, saya tak bisa melepaskan seluruh kejadian di pentas, dengan situasi yang kini membelit Radhar Panca Dahana.

Satu sisi ia bertekad untuk tidak menyerah, dengan cara terus-menerus mencipta dan menggapai obsesinya dalam memanggungkan puisi, tetapi ia toh harus berhadapan muka dengan mesin pencuci darah. Di situlah hidup dan matinya kini digantungkan. Maka lamat-lamat Radhar menulis, //terbaca yang tidak/tidak yang terbaca// atau //berjumpa tak dengan siapa/berpisah dengan siapa//.

SEBAGAI “mantan” aktor di Teater Kosong, sejak tahun 1985 dulu, secara sadar Radhar ingin melakukan “pembaharuan” di dalam mengkomunikasikan puisi kepada publik. Puisi ia perlakukan tidak lagi sebatas deretan huruf, kata, kalimat, baris, dan bait, yang terkumpul dalam sebuah buku.

Kemudian para pembacanya secara tertib membaca dan menafsir sendiri puisi yang disodorkan penyair kepada dirinya. Atau penyair yang berdiri di mimbar lalu membaca puisi untuk para penontonnya.

Pada satu sisi, metode ini memang kemudian memberi kebebasan kepada pembaca untuk memahami dan menafsir puisi. Tetapi, dari dulu sampai sekarang, puisi lalu selalu berasosiasi kepada tumpukan buku- buku berbau pengap di perpustakaan yang jarang dikunjungi. Puisi menjadi renungan- renungan yang terjepit seperti kecoak di dalam lepitan rak buku.

Pada kasus Radhar, puisi hanya salah satu instrumen dalam upaya melakukan komunikasi dengan publik. Ia pun merasa perlu melibatkan penata musik Embi C Noor, sutradara Dindon WS, perancang busana Samuel Wattimena, dan penata artistik Teguh Ostenrik. Pembacaan puisi kemudian mendekati sebuah pementasan teater, yang mengeksplorasi seluruh kekuatan seni untuk mendukung satu gagasan estetik.

Pembacaan puisi Radhar pun kemudian dibagi ke dalam babak-babak: puisi dedikasi, puisi sosial, puisi religius, dan puisi embun, dan puisi penutup, sebagaimana biasa dilakukan dalam pengadegan di dalam pementasan teater. Dengan begitu, telah tercipta satu “plot” dalam kerangka memudahkan publik saat melakukan tafsir terhadap puisi-puisi Radhar.

Puisi tidak lagi “sekadar” menciptakan situasi puitik, tetapi menampakkan situasi-situasi dramatik yang tidak terduga. Saat Radhar membacakan puisi Atas Nama Prasangka misalnya, maka situasi yang terpahami tidak sekadar bermunculan dari kata per kata, tetapi secara serentak tersampaikan sebuah narasi tentang keganasan dan kemacetan reformasi di negeri ini. //banyak kawan, banyak…/ peluru kusambut sebatas mulut/ ledakan seilham karangan/ amarah menjelma malam/ dan harapan yang bening pagi// aku tak jadi kecewa, bukan sebab/ kau pergi, martirku mati/ bukan…/ tapi kilometer yang raib/ berganti detik: ruang ziarah kita gaib/ waktu kembali ajaib//.

Dan sungguh gaib memang, dalam keterbelengguan selang-selang dan mesin pencuci darah, Radhar terus hidup di panggung puisi. Mungkin sampai ia benar-benar tidak mampu lagi mencipta…
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *