Sunaryono Basuki Ks
Pewawancara: Adnyana Ole
http://www.balipost.co.id/
Untuk ukuran sastrawan yang umurnya sudah kepala enam, Sunaryono Basuki Ks. termasuk sastrawan yang super produktif. Bahkan keproduktifannya tak kalah dengan penulis muda energik yang kini banyak bermunculan di Indonesia. Selama dua tahun guru besar di IKIPN Singaraja ini menulis empat novel, sebuah kumpulan cerpen dan sebuah esai. Tahun 2004, dua novelnya — masing-masing “Antara Jalan Jaksa dan Lovina” dan “Sisca Ambarwati” — diterbitkan Grasindo. Lalu pada tahun 2005 juga terbit dua novel, “Maling Republik” (Mizan) dan “Cinta Berbunga di Lovina” (Pinus) serta sebuah kumpulan cerpen “Sepasang Kera yang Berjalan dari Pura ke Pura” (Kompas). Kumpulan esainya “Sastra Kita Numpang Nampang” juga terbit akhir 2005 lalu. Bahkan setidaknya Januari dan Februari ini sebuah novel dan dua kumpulan cerpen juga sedang siap untuk dilemparkan ke publik. Sebelumnya sudah banyak novel yang sudah terbit, salah satunya oleh penerbit Balai Pustaka. Bagaimana Sunaryono Basuki Ks. bisa seproduktif itu? Apa rahasianya, bagaimana proses kreatifnya dan apa pandangannya terhadap perkembangan sastra di Bali? Berikut hasil wawancara Bali Post dengan Pak Bas — begitu mahasiswanya kerap memanggil — yang dilakukan di rumahnya di Jalan Arjuna Singaraja.
———-
ANDA termasuk salah satu sastrawan yang hingga tua masih tetap produktif. Bisa diceritakan sejarah kepenulisan Anda sejak kanak-kanak hingga sekarang?
Saya menulis sejak SD. Waktu SD, ayah saya setiap pulang bawa majalah anak-anak. Saya baca cerita di dalamnya, lalu saya pikir kenapa bisa orang bikin cerita seperti itu. Saya lantas mencoba bikin cerita anak-anak. Namun tulisan yang bikin pertama kali bukan cerita, tapi laporan perjalanan ke kebun binatang di Surabaya. Itu dimuat di sebuah majalah mingguan anak-anak di Jakarta, tahun 1953. Umur saya waktu itu 12 tahun. Kemudian kegiatan menulis berlanjut hingga di SMP. Di Malang ada koran Suara Masyarakat dan ada ruang anak-anaknya. Saya menulis cerita agak panjang di situ, tentang anak-anak miskin, dimuat bersambung dua kali. Saya mendapat perhatian dari pengasuh ruang itu yang seorang guru. Dia minta saya terus menulis agar bisa menjadi seperti SM Ardan, katanya.
Lalu sejak kapan menulis sastra yang lebih serius?
Saya kalau menulis, iya menulis. Tahun 1957 saya mengirim tulisan ke luar Malang, ke majalah Pemuda Remaja yang ada ruang untuk penulis remaja. Di sana ternyata redakturnya SM Ardan. Setelah saya kirim, SM Ardan menjawab bahwa puisi saya tak bisa dimuat di majalah itu. Tapi yang mengejutkan, ia bilang akan dimuat di ruang budaya Genta dari Mingguan Merdeka. Wah, senangnya bukan main. Tak dimuat di runag remaja, tapi di ruang kebudayaan. Setelah itu saya agak ajum, sombong. Tak mau lagi nulis di ruang remaja, tapi di ruang budaya di koran di Surabaya, Jakarta dan lain-lainnya. Sejak SMP saya juga ikut teater. Jadi pemain hingga sutradara.
Hingga kini Anda terkesan sangat produktif?
Kalau dihitung karya cerpen saya tak banyak. Paling banyak 100 biji. Di kumpulan cerpen yang tiga buku itu hanya ada 71. Yang duluan paling hanya beberapa. Tak banyak. Tapi belakangan memang lebih produktif. Saya nulis itu musiman. Saya pernah menulis cerpen delapan buah dalam sepuluh hari. Semua dimuat. Tapi kalau pas lagi musim nulis esai, iya saya nulis esai saja.
Pernah mengalami macet dalam berkarya?
Sempat berhenti, tapi bukan macet. Begitu berkeluarga agak terhenti. Saking asyik ngempu anak. Mulai lagi menulis tahun 1970-an. Saat itu saya ke Yogya dan sempat bertemu Umbu (Umbu Landu Paranggi, red). Oleh seorang teman saya dikenalkan kepada Umbu. “Ini ada teman, novelis dari Singaraja,” katanya. Dan Umbu menjawab dengan dingin tanpa tersenyum, “Kalau ada ‘Ks’, saya kenal.” Itu tahun 1972. Artinya Umbu membaca tulisan saya sehingga hapal dengan inisial “Ks” di belakang nama saya. Sejak itu saya terus menulis. Puncaknya mulai tahun 1983 saya menulis novelet dimuat di Sinar Harapan dan Bali Post dalam waktu hampir bersamaan. Semangat saya juga maju lagi ketika Sinansari Ecip diantarkan ke Singaraja oleh Raka Kusuma. Dia nginep di rumah saya dan ngasih buku. Di buku berisi pesan “mengorbitlah kembali”.
Anda tetap di kota kecil Singaraja, tapi kepopuleran Anda sama dengan penulis yang tinggal di ibukota, bagaimana caranya?
Betul kata Umbu. Buleleng itu unik. Ada sesuatu yang memberi efek khusus pada saya, sehingga saya tetap bisa tergerak. Di sini ada pura sakti, sampai banyak pejabat datang ke sini. Bumi (Buleleng) ini luar biasa. Asal kita mau membuka diri, mau produktif, alam di sini pasti memberi sesuatu. Ada penulisnya yang kualitasnya masih di bawah, mungkin karena kurang terbuka. Kalau saya, saya serahkan pada alam. Kalau saya punya pintu tapi ditutup, tak akan jadi ada yang masuk. Apa yang datang harus diterima karena alamnya luar biasa.
Ada teknik menulis secara khusus agar produktif?
Dulu kalau menulis saya pernah bikin rencana seperti yang dilakukan Saut Poltak Tambunan. Tokohnya seperti ini, seperti itu. Tapi pas nulis tak sesuai rencana. Sesudah itu saya merasa tak perlu rencana. Saya lantas menulis sesuai keinginan. Sekarang bikin tokoh A, lalu besok saya tak tahu apa yang dikerjakan A. Nanti sore mau nulis cerpen, sekarang saya belum tahu apa yang mau ditulis.
Anda juga aktif membina semangat sastra di Buleleng?
Saya hanya membina orang yang mau belajar dan bertanya. Sebab, sekitar tahun 1980-an saya pernah mengundang teman diskusi, saya sudah siapkan penganan kue dan lain-lain tapi tak ada yang datang. Saya kecewa. Sejak itu saya tak mau mengundang orang untuk diajak belajar. Namun kalau ada yang mau belajar saya ladeni. Di kelas di IKIPN Singaraja saya selalu memberikan semangat kepada mahasiswa.
***
SECARA umum, bagaimana pendapat Anda tentang perkembangan sastra di Bali?
Perkembangannya memang agak berat sebelah antara Bali di selatan dan utara. Di utara (Buleleng) potensi banyak, tapi belum berkembang, belum membuka diri. Sebenarnya saya menulis terus juga dalam rangka mengajak orang lain untuk ikut bersemangat menulis.
Bagaimana cara memajukan sastra di Bali, khususnya di Buleleng?
Bikin iklim yang bagus untuk diskusi. Jangan hanya sekadar kumpul-kumpul. Kalau kumpul-kumpul harus ada jadwal, ada program tertentu. Kumpul hari ini di mana, misalnya, lalu baca karya sastra dan diskusi. Tidak hanya duduk ketemu, dan semuanya improvisasi. Misalnya saat bertemu baca karangannya Arik (Arik Sariadi, penulis muda Buleleng, red), lalu baca karya Sonia (Kadek Sonia Piscayanti, cerpenis muda Buleleng, red). Lalu dibicarakan, didiskusikan.
Banyak orang beranggapan pendidikan sastra di sekolah keliru, bagaimana pendapat Anda?
Tampaknya memang begitu. Guru yang punya kemampuan untuk mengajarkan sastra di kelas tidak banyak. Hanya memberi teori. Tapi bagaimana mengaplikasikan teorinya tak bisa dilakukan. Kalau di IKIPN Singaraja, pendidikan menulis juga ada. Teater juga ada. Hanya, selain ada majalah kampus, juga harusnya ada majalah khusus sastra. Penulisnya mahasiswa. Penulisnya dibimbing. Dosen sebagai editor, misalnya, jangan hanya memeriksa, lalu dimuat begitu saja, tapi juga membina.
Apa yang harus dilakukan pemerintah?
Membangkitkan minat baca dan membangkitkan gairah membeli buku. Penerbitan sudah oke. Perpustakaan juga sudah oke. Sekarang tinggal bagaimana mau beli buku dan baca. Sebab, beli buku itu bukan masalah punya uang atau tidak. Kini banyak komunitas remaja yang menghabiskan uang untuk beli CD atau DVD secara rutin. Buku tidak. Pemerintah harus mengadakan kegiatan untuk meningkatkan minat baca. Misalnya mengundang pengarang yang sudah punya buku untuk berbicara.
***
KARYA Anda banyak yang mengandung falsafah dari unsur budaya Bali, padahal Anda datang dari latar budaya yang berbeda?
Soal budaya Bali saya belajar langsung. Dulu saya selalu ikut jika ada orang ngaben, upacara menikah dan sebagainya. Saya belajar langsung. Apalagi di Bali saya sudah 37 tahun, belajarnya jadi banyak.
Menurut Anda apa yang unik dari budaya Bali?
Alamnya bagus, tapi bukan itu yang membuat orang datang ke Bali. Alam itu di mana-mana banyak yang bagus. Soal ukiran, lukisan dan lain-lain, di luar Bali juga banyak yang bagus. Namun yang unik di Bali, seniman itu kerja sehari-hari. Itu luar biasa. Di Air Sanih, Kubutambahan, teman saya pernah heran karena menyaksikan ada orang megambel sambil tidur. Ia bisa tidur karena musik Bali tak ada dirigennya, tak pakai partitur. Semua ada di kepala. Ini tak ada di tempat lain. Kesenian hidup dalam jiwa orang Bali.
Bisakah suatu saat nanti menulis cerpen dan puisi menjadi keseharian orang Bali?
Bisa saja, tapi jangan menulis puisi dengan keinginan rumit. Tulis masalah sehari-hari. Dasar kepenyairan juga harus tetap ada. Dasari jiwa dengan dasar kepenyairan. Di Bali hal itu sebenarnya sudah ada dengan adanya pesantian. Bagaimana bisa menulis puisi kalau jiwa tak didasari kepenyairan. Saya pernah satu mobil dengan mahasiswa, lalu kami mendengar ada orang makidung. Saya tanya pada mahasiswa, “ngerti nggak, tahu nggak”? Ternyata mereka tak tahu, padahal orang Bali.
BIODATA:
Nama : Sunaryono Basuki Koesnosoebroto
TTL : Kepanjen, Malang, 9 Oktober 1941
Ayah/Ibu : Saim Koesnosoebroto/Sariati Koesnosoebroto
Istri : I Gusti Ayu Made Darmika
Anak : Agus Herwanto Pribadi (alm.),
Andi Herwindo Permadi
Adhi Heliarto Pirngadi.
Pendidikan:
1. SD Kauman, Malang, tamat 1954
2. SMPN 3 Malang, tamat 1958
3. SMAN 1 Malang, tamat 1961
4. Fakultas Psikologi UI, tahap persiapan, 1961-1963
5. IKIPN Malang, tamat 1970
6. Post Graduate Leeds University, 1976
7. Lancester University, 1982
8. Ohio State University, 1988
9. Dan program pendidikan lain di Inggris
Pekerjaan:
1. Guru SMAN 1 Malang Cabang Kepanjen 1967-1969
2. Asisten Dosen Fakultas Keguruan Unud (kini IKIPN) di Singaraja 1969-1971
3. Dosen Fakultas Keguruan Unud (kini IKIPN) di Singaraja 1971-2000
4. Guru Besar IKIPN Singaraja 2000-sekarang
Penghargaan:
1. Wija Kusuma Pemkab Buleleng 1987
2. Penulis Esai Terbaik Pusat Bahasa 1992
3. Berbagai juara lomba penulisan esai, cerpen dan novel.