Membaca Sajak-sajak Halimi Zuhdy

Nurel Javissyarqi *

Bahagialah, insan yang memiliki keyakinan adanya Tuhan. Setidaknya manusia tersebut mempunyai kelebihan, dari pada kehadirannya tanpa kejelasan serupa hukum evolusi yang dangkal.

Iman laksana nyanyian halus, mengantarkan jiwa-jiwa ke dalam keindahan pemahaman. Warna natural yang di dalamnya tiada pengingkaran. Dan selemah-lemahnya penerimaan berdaya rindu kesungguhan.

Di sini, watak bergumul nalar-perasaan, menjadikan tahap pengetahuan yang mematangkan kepercayaan terhadap hidup dalam kehidupan.

Yang paling kentara, sampai akhir jaman di kaki kita, seluruh insan di dunia belum ada yang mampu meneliti, apa saja partikel ruh yang menghidupkan alam semesta.

Manusia terkungkung di planet bumi, paling jauh menjangkau sekitarnya, tak lebih melampaui galaksi-galaksi. Semua itu terlupa atas percepatan perubahan di dalam jagad alit diri, yang terlalu suntuk menyungguhi hasratnya sendiri.
***

Sebaliknya, yang tidak percaya jika seluruh alam seisinya ciptaan Tuhan, ialah manusia yang kesepian dan tidak masuk akal. Bagaimana tidak sunyi, karena baginya tiada tempat bergantung, tidak punya sandaran barang sejenak di kedalaman bathinnya. Kering meranggas serupa batu-batu kehabisan air, minimal uap di pagi hari, tersebab menghianati kefitrian hidup yang sejati.

Manusia jenis ini mengeluh pada diri sendiri, logika yang dianut, perasaan yang dialami dengan menutup kemungkinan. Ia mengerang dalam dendam di tumbuk waktu padat sejarah tubuh-tubuh yang tidak elastis. Dunia puitiknya angka-angka yang jauh dari pembagian angka nol, seperti grafik berkehendak naik terus dengan melupakan masa istirah, tenggang waktu. Di hadapannya hanya evolusi yang menerus tetapi kering di dalamnya. Sebab menganggap diri sekadar alat, bukan pelaku yang bertanggung jawab terhadap alam sekitarnya.
***

Halimi Zuhdy salah satu putra Madura dari Sumenep. Bagi saya, Madura itu pulau penyair. Ini tidak tersangkal ketika kita dihadapkan seperti sosok penyair Abdul hadi WM, Jamal D. Rahman, D. Zawawi Imran, M. Faizi, Timur Budi Raja, Ahmad Muchlis Amrin &ll yang tak mungkin saya sebutkan seluruh.

Entah pamor apa yang menciptakan pulau garam itu melahirkan banyak penyair. Jika menelisik adalah tak kurang dari usaha para ulama di sana yang mengajarkan kitab kuning di pesantren.
Di dalamnya kaya dunia puitik yang tak mandek sebagai bahan pelajaran agama semata. Ada puja-pujian menjelma warna keindahan kata-kata, kalimah tuntunan menghiasi telinga serta alam bathin para pencari kesejatian.

Bersumber dari keilmuan Islamlah kehadirannya, semisal keindahan isra’ mi’rajnya kanjeng Nabi Muhmammad SAW. Ada semacam daya pantul, jarak pandang mematangkan nilai hayat dalam penghayatan hidup.

Halimi Zuhdy merupakan intelektual muda yang patut dibanggakan oleh penduduk Madura. Ia sejak belia ditempa pengajaran formal pun nonformal di tanah kelahirannya.

Awal kali hijrahnya mengambil jurusan Sastra Arab di Fak Humaniora dan Budaya UIN Maliki Malang, melanjutkan S-2 Pendidikan Bahasa Arab. Di sela-sela itu bermusyafir demi perdalam Bahasa dan Sastra Arab di King Saud University Riyadh Saudi Arabiah. Kini ia berproses menyelesaikan Program Doktoral di UIN Maliki Malang dan baru sekarang menghimpun puisi-puisinya dalam antologi.

Saya rasa ini pertimbangan cukup matang, kerja telah melewati keragu-raguan. Maka selayaknya jerit dari jerih payah anak manusia yang dilahirkan kemanusiaan itu hidup. Dunia puisinya bersimpan nalar perasaan yang terejawantah dalam laku spiritual. Ia hidup menegakkan keyakinan, masa depan diandaikan semua orang menjadi lautan manfaat, selaras kehendak bathin terdalam sebagai khalifah.
***

Membaca puisi-puisi Halimi Zuhdy yang sarat penalaran, kita tidak diajak menuju keindahan puitik yang menjauhkan kesadaran bumi. Tapi kedirian kita disenggol gagasan iman, tanah pertiwi, serta perubahan di luar diri.

Di sanalah nyanyian lembutnya, nalar menggayuh keindahan, pemberontakan santun dari perasaan kehadiran insani di muka bumi. Serta bentuk capaian dari mana menimba keilmuan, pengetahuan hayat, pengalaman menakar peristiwa bermakna.

Di sinilah kehalusan, alam gagasannya diseret menuju puncak lebih tinggi. Harapan berubah, gerak dinaya hayat bergumul dengan sekitarnya, tetap berwaspada dalam peredaran sebagai makhluk berbudi pekerti.

Sebagai awal Halimi Zuhdy memasuki dunia sastra, cukuplah pengembaraannya itu sebagai batu pijakan, guna menyempurnakan diri sampai menemukan formula kesejatian. Yakni keindahan pekabutan kesusastraannya dipenuhi kesadaran kini dan penuh warna demi mewarnai sesama. Kesadaran puitiknya hadir, sebab nalar tidak mencukupi bagi lahan kreasi dalam mengonceki misteri Ilahi.

*) redaksi jurnal kebudayaan The Sandour

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *