Sebuah Dongeng Pinjaman untuk Adji Sudjana

Dinar Rahayu
http://suaramerdeka.com/

Jika nanti kami memutuskan untuk turun menjadi hujan…kami akan menggelapkan
gelas anggur, kami akan mainkan dongeng tentang keabadian…
(Asli Erdogan-Tentang Keabadian)

I

KAWAN, ini jam kesekian dari hari kesekian tanggal sekian bulan sekian tahun sekian dan terima kasih kau masih bersamaku. Aku masih berjalan dan terus berjalan kawan, di tempat ini tak banyak yang bisa dilakukan kecuali berjalan, itu pun tentu kalau kau masih punya kaki. Dan kakimu tidak terluka. Atau kena tembak. Hidup, kawan, menyisakan pertanyaan, tapi aku lupa pertanyaan itu kawan. Tapi kau masih di sini ya. Kami bermalam di udara terbuka lagi. Setelah menggali parit perlindungan dan membuat pagar dan mengatur jadwal melek maka tak banyak lagi yang matanya terbuka selain yang disuruh melek. Percayalah kawan, tidak ada indah-indahnya embun yang mengumpul di wajah dan selimut kami. Jangan kau bikin indah cerita tentang embun. Dingin kawan, dingin. Menyebalkan. Berapa malam pun kau bermalam di udara terbuka, embun itu tetap dingin, bukan segar. Kuulangi bukan segar, melainkan di?ngin. Dan hujan pada pagi hari itu, ?gerimis di pagi buta itu, tidak menyisakan romantis kecuali kata: anjing.

Sebuah nasihat yang tak akan kusarankan untuk orang lain, apalagi dirimu kawan: berhenti mengeluh berhenti bertanya. Itu bisa kulakukan dengan morfin. Sisakan satu dosis untuk suatu saat nanti, simpan di liontinmu. Genggam kuat saat kau ketakutan. Saat kau terpaksa harus terdiam. Gila. Gila katamu, ya, Gila kau tahu Gila adalah sejenis kadal. Kadal Gila. Heloderma suspectum. Nanti kucarikan untukmu, akan kusimpan di dalam stoples bening kuberi label ??Gila??. Berhenti bicara, kau gila. Ya. Ya. Ini bukan kenanganku. Ini bukan ingatanku. Ini bukan milikku.
Bangun. Bangun. Bangun. Bangun!!

II

GILGAMESH pernah mendatangi seseorang dan menanyakan mengapa mesti ada kematian, orang itu menjawab bahwa kematian sama diperlukannya seperti tidur. Cobalah melek terus-terusan.
Gilgamesh melek selama tujuh hari enam malam tapi begitu malam ketujuh datang ia terduduk langsung tidur. Tapi tidak mati. Saat itu ia tidak langsung mati, hanya tidur. Jadi apa maksud dongeng itu? Tidak ada, kecuali pemberitahuan bahwa kalau engkau melek terus-terusan begitu terduduk engkau akan tertidur. Seperti Gilgamesh. Tapi siapa sih Gilgamesh? Mengapa Gilgamesh tidur kok jadi berita. Seperti putri tidur saja, seperti Brynhilda yang tidur dijaga api abadi. Siapa pula Brynhilda? Sableng, orang tidur saja jadi berita…
Ayo berjalan lagi. Badai sudah berhenti…dan bisakah kali ini kau berjalan tanpa berbicara.

III

DEMAM. Engkau demam. Menceracau. Ayan. Epilepsi. Tidak. Tidak. Bukan itu. Ini karena aku punya kenangan milik orang lain. Bukan milikku. Siapa mau kenangan ini?
Kami kehabisan antibiotik. Ini ada morfin.

IV

TUHANLAH gembalaku tak takut aku melewati lembah kematian darinya kembali padanya.
Ambil anak di gendongannya.

V

CHARON ini kepeng untukmu.
Aku sudah tidak mengayuh perahu lagi. Aku sudah pensiun. Oh ya dan kepeng itu sudah tidak berlaku lagi di sini.
Jadi apa yang harus kulakukan?
Punya kepeng lain? Atau lembaran?
Tidak. Tidak. Hanya ini bekalku.
Bagaimana kau sampai ke sini?
Seekor ikan menelanku.
Ikan?
Entah. Naga mungkin. Atau capung. Mungkin juga kadal. Entahlah, apa perduliku. Kalau kau mau ambil perahumu untuk menyeberangkan aku, akan kuberitahu kau sebuah cerita.

Tidak. Tidak. Semua yang datang ke sini datang dengan cerita tentang hidupnya karena itulah aku pensiun. Semua bercerita tentang kehidupan tak seorang pun bercerita tentang kematian.

VI.

KATAKAN ini padanya:
Adji Sudjana. Nama anak itu. Kau pernah mengkhawatirkan ia bakal mati muda karena kelebihan dosis. Kau juga pernah membayangkannya ia akan bergelar tidak satu, dua, melainkan tiga atau empat yang diraihnya dari berbagai penjuru dunia. Tapi kita bukanlah peramal. Tak ada yang dapat mengatakan masa depan hanya dengan melihat bola kristal, sisa teh, sebaran tulang, atau garam. Begitu bukan?

Jadi biarlah semaumu saja bagaimana kau membayangkan dirinya kelak. Kini ia berdiri memandangi hujan. Kini ia dapat melihatmu walau ia tidak tahu yang mana dirimu karena saat kau memenuhi panggilan langit yang mendung dan turun sebagai hujan wajahmu sudah terhapus.

Lihat, kini kau jatuh di dahinya dan berjalan di sela rambut alisnya lalu kau mengumpul di sudut matanya. Hujan, hanya itu yang dapat dikatakan anak itu untuk menyebut namamu, nama-nama kami. Begitulah cara kami sampai di duniamu, Adji. Begitulah caraku menamaimu, Adji. Hujan yang kulihat di sepanjang jalan sejauh jangkauan pandangan mataku. Saujana.

Hujan di bulan Juni, kata si tua itu, adalah simbol keperkasaan dan keteguhan. Atau orang gagu. Atau sekarat. Tapi begitulah kami, bagaimana pun juga kami telah turun. Masuk ke sela-sela pasir. Merembes dan berjalan dengan satu tujuan; kembali ke laut. Semua berasal dari laut dan kembali ke laut. Hujan tidak sempat bilang cinta pada awan. Cinta tak kesampaian. Ada-ada saja si tua yang suka pinjam perahu kertas punya anak-anak itu.

Adji, kami turun untuk menceritakan sebuah dongeng tentang ke?abadian. Dengarlah suara itu karena kami pemilik keabadian. Kami rahasia semesta. Kami pendongeng. Kami mati muda untuk hidup selamanya.

Dan bila kau bertemu dengan si tua itu, Charon namanya, ceritakanlah ini. Hanya cerita ini yang mau ia dengarkan. Nanti ia akan menyeberangkanmu karena hanya kau yang tahu tentang kematian. Tanpa perlu kau melempar kepeng padanya. Tanpa perlu ia meminjam perahu.

Si tua itu akan bercerita sepanjang penyeberangan: dulu ada seorang perempuan datang padaku ingin menukar jiwanya dengan jiwa anaknya yang meninggal. Biasalah ibu-ibu. Memangnya undian dapat arisan bisa ditukar-tukar. Aku tak tahu mengapa ikan, eh naga, eh capung, eh kadal mau-maunya menelannya dan membawanya ke sini. Ia bilang ia tidak tahu tentang kematian, tapi kelak ketika anaknya kembali lagi ke tepi sungai ini, ia akan membawa sebuah cerita yang belum pernah diceritakan oleh orang lain.

Leave a Reply

Bahasa ยป