Sebuah Mimbar untuk Putu Wijaya

Kurniawan, Ahmad Rafiq, Anwar Siswadi
majalah.tempointeraktif.com

MATA kecilnya terpejam di balik kacamata silindris empat. Bocah perempuan berambut ikal itu sedang berkonsentrasi penuh. Sesaat kemudian, kata-kata meluncur lancar dari bibir mungilnya. “Bangun! Bangun, anakku! Sudah waktunya kau menatap dunia. Lihatlah dan arungi kehidupan. Menjalani takdirmu sebagai ayam. Keluarlah!” teriaknya.

Walau cadel, Sigrid Minerva Boni Avibus, 8 tahun, tetap mantap membawakan monolog Tok Tok Tok, naskah yang diciptakan Putu Wijaya khusus untuknya.

Tok Tok Tok berkisah tentang bayi ayam yang takut keluar dari cangkang telurnya karena menyangka dunia begitu ganas dan berbahaya. Tapi akhirnya telur itu menetas dan sang anak ayam pun melihat dunia, yang ternyata tak seburuk sangkaannya.

Gaya Boni tak kaku dan tak membosankan. Ia sesekali berputar, berlari kecil, menari, dan bernyanyi di panggung. Mimiknya pun berubah-ubah, sesuai dengan perannya sebagai anak ayam atau induknya.

Boni mementaskan monolog itu dalam Mimbar Teater Indonesia di Surakarta pada Sabtu dan Ahad pekan lalu. Tahun ini, pertemuan tahunan para dramawan Nusantara itu mengangkat tema “Menyoal Naskah-naskah Putu Wijaya”. Pertemuan berlangsung di Taman Budaya Jawa Tengah, selama sepekan, dan diikuti sekitar 35 dramawan dan kelompok drama. Kelompok teater yang ikut serta adalah Teater Cermin, Teater Mandiri, Teater Tanah Air, Teater Lungid, Lingkar Studi Teater Palembang, Masyarakat Batu, dan Seni Teku. Adapun dramawan yang hadir antara lain Wawan Sofwan, Agus Nur Amal, Butet Kartaredjasa, Ikranagara, dan Rita Matumona. Mereka mementaskan berbagai karya Putu, baik monolog maupun drama kelompok. Digelar pula seminar dengan pembicara ahli teater dari dalam dan luar negeri. (Lihat “Mengurai Teror Mental Putu”.)

Boni menjadi aktor termuda yang tampil dalam acara itu. Putu Wijaya tampaknya kesengsem pada siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri Banjarsari, Bandung, itu. Bahkan, saat mementaskan monolog Burung Merak bersama Teater Mandiri pada November 2009 di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung, Boni dan Putu tampil sepanggung bergantian. “Boni pemain paling muda yang dikenal Putu,” ujar Semesta Aubrey, ayah Boni, yang juga mantan pemain teater.

Pengalaman Boni dimulai dengan latihan bersama kelompok teater Laskar Panggung pada awal 2008 di bawah asuhan sutradara Yusef Muldiyana dan Teater Anak Negeri. Boni juga sering membaca puisi tanpa teks dan beberapa kali ikut main film. Dia mengaku senang berteater karena asyik. “Senang bisa dilihat banyak orang,” katanya.

Selain menampilkan aksi Boni, Mimbar Teater Indonesia diisi penampilan beberapa aktor dan kelompok teater. Putu Wijaya tampil membuka acara dengan monolog Merdeka karyanya, yang mengisahkan percakapan antara Setan dan Pejuang mengenai makna kemerdekaan.

Aktor 66 tahun itu tampil dengan pakaian adat Bali berwarna hitam. Tata panggung juga sederhana dengan kain putih sebagai latar, yang sesekali menjadi layar film yang menampilkan gambar-gambar untuk memperkuat suasana.

Seusai jeda beberapa saat, Putu kembali tampil bersama Teater Mandiri pimpinannya, dengan membawakan Zero. Berbeda dengan penampilan pertama, pementasan ini lebih mengedepankan gerak dan visual. Zero bercerita mengenai pertikaian yang terjadi lantaran cara pandang yang sempit terhadap sebuah perbedaan. Masing-masing menganggap diri sebagai orang yang benar. Masalah tersebut baru bisa diurai saat mereka bisa duduk sama rendah alias kembali ke titik nol.

Di hari kedua, Genthong Hariono Selo Aji, aktor senior Yogyakarta, tampil membawakan Klenk, monolog terbaru Putu yang bercerita tentang Klenk, seorang pria yang mendapat surat panggilan dari sebuah kantor. Dia menyangka surat itu merupakan panggilan kerja. Dengan mengendarai sepeda ontel, dia mendatangi kantor tersebut. Di kantor itu, dia merasa tertekan dengan berbagai macam aturan yang membelenggunya. Klenk justru merasa kehilangan kemerdekaannya. Hingga akhirnya dia menyadari bahwa surat itu bukan sebuah panggilan, melainkan penangkapan.

Dalam pementasan berdurasi 25 menit tersebut, pemain seolah-olah tengah berdialog dengan salah satu petugas di kantor. Melalui jawaban-jawaban pemain, penonton harus menduga kata-kata yang diucapkan petugas tersebut. Namun tidak begitu sukar menduganya, karena Klenk sering mengulang perkataan petugas sebelum dia menjawabnya. Bagi Genthong, Klenk memiliki ciri khas Putu, seperti tanpa penyelesaian masalah di akhir cerita. “Ini memberikan ruang bagi penonton untuk berpikir dan berfantasi,” kata Genthong.

Wawan Sofwan, aktor dari Bandung, menampilkan monolog Dam pada Rabu malam pekan lalu. Naskah itu merupakan salah satu karya Putu yang menjadi favoritnya. Bahkan sutradara Mainteater itu telah beberapa kali mementaskan naskah tersebut. Wawan mementaskan naskah itu dengan gaya dalang topeng Pajegan Bali. Naskah tersebut menceritakan seorang dalang yang tengah mengisahkan pengadilan terhadap seorang pembunuh. Sang aktor harus memainkan empat watak sekaligus dalam pementasan tersebut, yakni dalang, terdakwa, jaksa, dan hakim. Peran jaksa dibawakan Wawan melalui cara bicara yang gagap. Sedangkan tokoh hakim dibawakan dengan karakter banci yang cukup kental.

Bagi Wawan, naskah Putu sangat menarik. Cerita dalam naskah-naskah Putu sarat dengan berbagai logika melalui permainan kata yang digunakan. “Terkadang kalimatnya menjadi sebuah provokasi yang bertubi-tubi,” katanya. Menurut dia, konflik yang muncul di naskah Putu cukup menarik dan variatif meskipun konflik tersebut merupakan persoalan sepele.

I Gusti Ngurah Putu Wijaya telah menulis sekitar 30 novel, 40 drama, seribu lebih cerita pendek, serta sejumlah skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, ia mendirikan Teater Mandiri pada 1974 dan mementaskan puluhan lakon, baik di dalam maupun di luar negeri.

Produktivitas Putu sebagai penulis naskah drama itulah yang mendorong panitia Mimbar Teater Indonesia memilih naskahnya sebagai tema tahun ini. “Ini bukan mengkultuskan Putu Wijaya,” ujar ketua panitia Ha-nindawan. Selama ini, kata dia, bangsa ini kurang berani memberikan penghargaan kepada tokoh yang masih hidup, padahal Putu sangat patut menerima penghargaan dari para seniman teater.

Penggagas acara sekaligus kurator kegiatan ini, Halim H.D., menilai penghargaan terhadap penulis naskah masih memprihatinkan. Kondisi tersebut membuat banyak penulis drama kita, yang sebenarnya produktif, enggan mempublikasikan naskahnya. Naskah itu kemudian hanya dipentaskan oleh kelompoknya atau disimpan begitu saja. Kalau ini dibiarkan terus, “Indonesia bisa mengalami krisis naskah drama,” kata Halim.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *