Agus Sulton
Manusia adalah pencipta budaya, dan sosial sebagai kekuatan ambisi untuk proses berbudaya. Individualitas berfikir setidaknya mampu membentuk budaya, namun budaya sendiri akan mempengarui manusia terhadapa kepribadian seseorang. Keduanya sebagai akar relasi akomodatif, dalam artian saling menyesuaikan dan dapat berkembang selama manusianya tidak menafikan sejarah pendahulu, kamudian dikemas ke dunia kekinian. Sebab itulah, sejarah sebagai tiang kekuatan bangsanya bahwa bangsa tersebut dikatakan bangsa yang banyak menyimpang tradisi-berbudaya.
Dengan kata lain, keberadaan budaya sekarang adalah hasil perkembangan dari budaya tradisional. Sama seperti hasil kesusastraan kekinian, sebaliknya merupakan perpanjangan kesusastraan yang dibangung dari sastra kedaerahan. Mulai dari lingkungan kerajaan, keraton, kaum kromo daerah, sastra Melayu peranakan, dan sastra Indonesia modern. Yang pasti hasil karya itu sebagai rekaman akan zamannya, paling tidak cerminan deskriptif pribadi dari hasil kekuatan sosial yang mempengarui.
Sastra Indonesia modern sendiri berakar dari sastra Melayu (kesusastraan Indonesia lama). Pengetahuan segala kejadian yang terkait dengan sastra Melayu, baik beredar dari mulut atau bentuk tulis itulah yang dimaksud dengan sastra Indonesia lama. Sedangkan sejarah sastra Indonesia modern, penulis tidak sepatutnya mengupas secara keterkaitan, karena dalam buku yang banyak kita baca, sejarah sastra Indonesia banyak ditunggangi politik kepentingan-pemikiran korup dan kekuasaan kolonial yang gagap mengolah perubahan.
Meski begitu, perlulah dicamkan untuk lebih kritis dalam mengamati sejerah perkembangan sastra Indonesia secara objektif dan general. Pentingnya ini akan menghadirkan analisis dari beberapa pemikiran, baik berbentuk estetika penceritaan kekinian, simbolisme tokoh, sampai polemik kesusastraan dan beberapa aliran sastra yang dari tahun 80-an hingga sekarang menuai banyak perdebatan. Dalam sastra (puisi) sejauh ini juga menawarkan kebebasan, entah dalam pemilihan kata, model ekspresi, sampai menyelingkungi konvensi. Sampai-sampai terkadang kita linglung untuk memahami teks tersebut, karena banyaknya benturan benda-benda seolah tidak ada keterkaitan, dan fungsionalitas yang dapat membentuk struktur. Terkesan sok dianggap serius, walaupun penulisnya sendiri terkadang ”kowah-kowoh” untuk menafsirkan, malah membuatnya terjerambah pada kemandulan kreatifitas. Pola ini tak ubahnya kompetensi kegenitan, dianggap keblinger. Bisa jadi melacur kepincangan eksistensi dengan berbagai statemen kubangan.
Seakan-akan ada nuansa bentuk state of madness, yaitu bentuk-bentuk kegilaan histeria di mana hubungan realitas batin telah sirna dan pikiran manusia telah terpisah dari perasaan. Di samping itu, kemasan teks yang ditawarkan pengarang terkadang juga minim pengetahuan, sehingga berdampak pada pemaksaan ide yang dalam logika berfikir terkesan ”ngamplah” walaupun kegiatan intelektual pengarang melahirkan keindahan estetik, tetapi referent yang didapat-nya masih kering. Problematika inilah yang penulis perlu garis bawahi, pengarang seolah-olah ingin memberi wabah (propaganda;tulis) kepada pembaca, namun olah intelektualitasnya masih perlu dipertanyakan. Pemahamannya dirasa arogansi teks yang kebenaran dan kepastiannya salah kaprah, toh sebetulnya sastra indentik dengan fiksi namun fiksi yang terbentuk dari fakta realitas kamudian pengarang membumbui dengan teks-teks imajinatif.
Sehubungan dengan itu kita dapat menemukan beberapa bagian terkecil dari antologi puisi Aditya, seperti pada puisi
Manuskrip
:buat Wiasa Hestitama
seperti gamelan jawa yang asyik mendengkur di museum
ditinggal keraton-keraton tua pergi naik kereta
menuju stasiun-stasiun baru, yang disebut televisi
di mana Mpu Gandring atau Mahapatih Gajah Mada tak lagi kita jumpai
sejarah sudah bengkok, menyempal dari akar tua tradisi
menempuh jauh jalan tol, menghampiri kota-kota yang sok sibuk
mengurusi penggusuran lokalisasi untuk pelebaran industri
anjungkan panji-panji plastik: junkfood dan softdrink di barisan depan
meneriakkan yel-yel berbahaya:
hei kau anak muda, come on, come on, join us brother.
hei , apa itu ditanganmu, naskah kuno? manuskrip apa peta buta?
kok tidak bersampul, dimakan rayap, apa hebatnya sih?
itu bisa dibaca ya, terus buat apa? Jual sajalah
atau tukarkan sebotol bir di diskotik terdekat
”come on man, join us, let’s dance and drunk together…”
saudara, bukankah gong yang dulu pernah ditabuh moyang kita
gaungnya sampai di telinga Columbus, dan juga Vasco Da Gama.
pelayaran demi pelayaran, kapal-kapal tak dikenal begitu lancang
tanpa permisi menciumi pipi kepulauan ini abad demi abad
mereka cuma minta, cuma-cuma dan tak pernah membeli
itu artinya kita kaya, kaya raya, saudara!
ning nong ning gung – ning nong ning gung
Ngoro, 2011
Pada puisi yang berjudul “Manuskrip” jelas-jelas penulis mengganpnya naskah atau manuskrip sebagai suatu yang paling bernilai (an sich), akar sumber budaya, karena manuskrip adalah bukti otentik tradisi tulis nenek moyang kita. Bahkan Negara Malaysia banyak berburu naskah Melayu tidak lain sebagai kekuatan Negara, mereka banyak membeli naskah-naskah dari Masyarakat Sumatra, Kalimantan. Kelak mereka menginginkan bahwa Malaysia menjadi pusat sastra Melayu tua.
Meskipun manuskrip sebagai tongga kekuatan tradisi sejarah tulis, dan kekayaan intelektual bangsanya, namun kalau kita sedikit toreh puisi di atas bahwa kesemrawutan kota, modernisasi;
menempuh jauh jalan tol, menghampiri kota-kota yang sok sibuk
mengurusi penggusuran lokalisasi untuk pelebaran industri.
Tidak sepatutnya menjadikan pengaruh, korelasi antara manuskrip dan kemajuan zaman kemiskinan moral, hedonisme, termasuk jenis makanan dan minuman mengandung bahan kimia beracun untuk bunuh diri masal secara perlahan.
Sebenarnya diera modern seperti ini yang patut kita salahkan bukanlah diri kepribadian seseorang, kenapa mereka enggan untuk mempelajari gamelan, atau sekedar cinta dan merawat naskah-naskah nenek moyang kita. Tetapi salahkanlah pada pemerintah, dalam hal ini pihak pemegang sistem pendidikan nasional. Mereka mulai lincah dalam memojokkan pelajaran dan wawasan nuansa kedaerahan, berakibat pada minimnya pengetahuan budaya kedaerahan pada generasi kita, umumnya. Bahkan pihak Indonesiais (barat) yang peduli pada naskah-naskah kita, dan mereka hidup di lingkungan perkotaan, yang kebudayaan sudut kota banyak dipenuhi kesemrawutan kian beragam dan budaya hedonisme, terkadang atheis.
Kita tengok pakar-pakar peneliti naskah di Indonesia seperti, Cohen Struart, Gericke, Van der wolen, Van der tuuk, Kern, Gonda, Juynboll, Sellabear, Winstend, Van Ronkel, Raffles, Robson, Behrend, Crewfurd, dsb. Dan naskah-naskah kita banyak diburu dan diteliti oleh Negara lain, sedangkan Indonesia sendiri belum mampu untuk menghargai sumber budayanya sendiri. Indonesia saat ini hanya mampu berontak kolektif kalau budayanya diperkosa oleh negara tetangga. Sebenarnya kita sangat terharu oleh neraga Malaysia, Singapura, Brunai, Srilangka, Thailand, Mesir, Inggris, Jerman, Rusia, Austria, Hongaria, Swedia, Afrika Selatan, Belanda, Spanyol, Italia, Prancis, Amerika, dan Belgia mereka banyak peduli dan sebagai peneliti aktif naskah-naskah kita.
Sehingga tidak perlu arogan dalam mengungkap sebuah gagasan, sebuah kekuatan karya dapat diukur dari kekuatan teks itu sendiri. Semakin “blarah nang kawul-kawul” teks itu, semakin enggan pula pembaca untuk menggurui kesan dan pesan yang tersimpan dalam teks. Malah dianggapnya kubangan murahan dengan polesan estetis, tetapi teksnya kering eksperimentasi fakta struktural.
Memaknai hakikat berkarya pasti ada sisi kelebihan dan kekurangan. Namun kita patut berbangga diri karena cak genjus yang masih usia brondong sudah mampu menelorkan teks keterbukaan yang dibentuk berdasarkan kepiawaian pengarang dalam memanfaatkan bahasa sebagai media ungkap gagasan, termasuk melahirkan keindahan estetika-humoris sebagai alat wejangan sense humanitas. Hampir semua puisi cak genjus adalah sebuah kegelisahan, berak evaluatif pengarang selama bermigrasi dari beberapa warung kopi. Lagi-lagi teks dijadikan jalinan komunikasi, dan kemenyan simbol terselubung dengan memborong semangat kemanusiaan.
Kiranya, jika kita tengok filosofi puisi yang ditulis cak genjus merupakan puisi yang bertemakan sederhana sekecil atom, tetapi menyimpan elektron dan beberapa partikel zat, tetapi masih punya kepekaan konseptual pada elektron dan proton, yaitu kontruksi sosial. Coretan peristiwa warung kopi dijadikan dominasi (eksperimentasi) fakta sosial, keluh kesah kondisi maupun terkondisi terlilit sistem sekaligus keberpihakan dan budi pekerti mengajarkan untuk berbuat jujur tanpa ada rasa keserakahan.
Disadari atau tidak sepertinya mas genjus orang yang sudah piawai dalam membangung maupun mencipta ide. Dia mampu merekam setiap kejadian di warung kopi, entah warung itu dekat mesin ATM, stasiun, terminal, sampai ledokan tempat prostitusi. Warung bagi dia adalah markas objek sastra, menyimpan jeritan impian dari seorang rakyat kecil yang hari-hari bekerja sebagai buruh tani, tambal ban, jok sadel, pedagang sayur di pasar, pekerja seks, dsb. Sesekali mas genjus juga menggambarkan kebisingan kota yang dipenuhi ketimpangan, kepalsuan, materialistik, dan watak-watak pragmatis.
Bagaimanapun juga, semua persoalan di atas dalam antologi puisi ini adalah sebuah deskripsi dan kebenaran reflektif yang ada di masyarakat sekitar kita. Namun yang sebelumnya penulis tidak sangka bahwa mas genjus juga menyimpan kegelisahan diri pribadinya, baik masalah asmara, keluarga, dan kondisi sepi keuangan. Berdasarkan pembacaan penulis, antologi puisi ini adalah ”berak kegelisahan” pada persoalan pribadi, masyarakat, dan negara yang banyak dimunculkan dari orang-orang pinggiran (kurang beruntung secara materi). Yang pasti coret demi coret dalam antologi puisi mas genjus seperti membangun identitas resistensi-perlahan karena tumbuh dari kegelisahan kondisi, dengan maksud memperhalus nilai moral. Semoga
1) Asdi S. Dipodjojo, Kesusastraan Indonesia Lama Pada Zaman Pengaruh Islam (Yogyakarta: Lukman, 1986) hal. 4
2) Zainuddin Fananie dalam Sastra: Idiologi, Politik, Dan Kekuasaan. (Muhammadiyah Universitas Press, 2000: 22) Hal yang kasat mata dijadikan kekuatan tanpa menomorsatukan logika perfikir. Kata dijadikan kekuatan Sugestif, sehingga integrasi (kaitan) antar teks kurang bisa menawarkan gagasan yang inovatif disegala pihak, terkecuali.
*) Agus Sulton, Tinggal dan berkarya di Jombang.