Raudal Tanjung Banua *
harianhaluan.com
Chairil Anwar, seorang penyair yang mati muda, tapi toh menyandang prediket yang amat prestesius: Sang Pelopor. Setidaknya, ini sedikit mengobati klangenan kita akan sosok dan pokok yang lahir dan dibesarkan oleh proses kreatifnya sendiri, bukan dari ranah politik yang lebih mengandalkan intuisi dan publisitas ala selebritis sebagaimana terlihat dalam kecenderungan kehidupan berbangsa kita saat ini. Sementara sosok dan pokok dari ranah budaya, seperti HB Jassin, Mochtar Lubis atau Pramoedya Ananta Toer, di samping tentu Chairil, lenyap seiring lenyapnya tradisi pemikiran kreatif-alternatif dalam ranah politik dan keagamaan seperti pernah ditunjukkan sosok Sok Hok Gie dan Ahmad Wahib, yang sebagaimana Chairil, keduanya juga mati muda.
Dalam usianya yang singkat (lahir di Medan, 26 Juli 1922, meninggal di Jakarta, 28 April 1949—27 tahun) dan usia kepenyairan yang jauh lebih singkat (sajak pertama, “Nisan”, 1942, sajak terakhir “Aku Berada Kembali”, 1949—7 tahun), kepeloporan Chairil yang lazim disebut untuk Angkatan ’45, sebenarnya mampu menembus sekat setiap angkatan, bahkan sampai hari ini.
Lebih lima puluh tahun silam dengan rendah hati ia berkata,”Aku berkisar di antara mereka,” maka sekarang dengan hati terbuka kitalah yang berkisar di antara sosok dan pokok Chairil. Ini menunjukkan bahwa kepeloporannya memiliki derajat signifikansi yang tinggi. Tidak saja secara estetis (diksi, gaya bahasa dan tema sajak-sajaknya), melainkan juga secara biografis (pandangan hidup, gagasan dan orientasi budaya). Pada yang terakhir ini, sering muncul situasi di mana sosok biografis menjadi dominan ketimbang unsur estetis, sehingga terkadang memunculkan momen-momen krusial, dan dalam beberapa hal kontraproduktif.
Kita ingat misalnya, bagaimana isu seputar kehidupan Chairil yang bohemian, kurang ajar, pencuri buku dan pengidap sipilis pula, menjadi eksemplar paling ramai dalam pembicaraan ketimbang sesuatu yang afdol menyangkut karya-karyanya. Itu pun dengan pembicaraan yang nostalgis. Jarang sekali yang melihat kehidupan Chairil sebagai cerminan masyarakat kita saat itu. Yakni, masyarakat yang hidup di awal kemerdekaan, mencoba mencari orientasi baru, bermain-main menggoda aturan baku-konvensional—setelah begitu lama dikerangkeng para feodal dan kolonial—ke arah kemandirian.
Tidak pula ada yang melihat semangat perlawanan Chairil Anwar terhadap semangat sastrawan menara gading, sebagaimana pujangga di istana raja-raja yang memang normatif, tapi dengan menyerahkan kebebasannya pada aturan istana. Atau sastrawan Balai Pustaka yang terkesan kompromistis dengan penerbit kolonial yang mencuatkan isu adat dan kawin paksa di tengah kerasnya kolaborasi feodalisme-kolonialisme.
Sikap bebasnya itu jarang pula terbaca sebagai upaya Chairil menjaga puisi agar menjadi genre yang bebas, merdeka dan mandiri, disaat kentalnya tradisi kesenian istana yang dilakukan Soekarno seperti diterima penari istana atau pelukis istana. Kebohemianan Chairil adalah “keimanan” terhadap jalan puisi sebagai the other, dunia lain, meski kesempatan seperti Dullah misalnya sangat terbuka, karena toh ia cukup dekat dengan Soekarno maupun Sjahrir yang notabene pamannya. Kalau sekarang puisi tetap terjaga sebagai “dunia sunyi”, tidak seheboh genre seni lain seperti musik dan film, tidak pula sematerial lukisan, saya kira ini buah tidak langsung dari keimanan Chairil.
Meski jalan yang ditempuh Chairil bukannya tanpa resiko. Beban kepeloporan mengakibatkan puisi dan biografi bersaing ketat untuk tampil, dalam bahasa Chairil, “menekan mendesak sampai ke puncak.” Akibatnya, sosok Chairil pun ditarik ke sana kemari, dari ruang domestik ke ruang publik, dari kehidupan romantik ke politik. Ini tak ubahnya pewacanaan sosok perempuan dalam ranah feminisme sekarang yang memunculkan sisi romantik dan inspiratif, sekaligus mempertentangkan yang tradisi dan modern. Ya, sosok Chairil analog dengan sosok dan wacana perempuan di tanah air; enak diperbincangkan, kadang kontroversial, tapi sekaligus tereksploitasi.
Salah satu peristiwa yang menempatkan sosok Chairil dalam nuansa politik yang kental adalah penolakkan tanggal kematian Chairil sebagai Hari Sastra. Mengatasnamakan sajaknya yang dianggap kontrarevolusioner, pihak Lekra misalnya menggugurkan hari kematian Chairil sebagai Hari Sastra yang sebelumnya diusung pihak Manifes. Itu karena mereka melihat dari persfektif antara yang politik dan apolitik. Sebaliknya, Asrul Sani tampak dengan dingin memisahkan Chairil dari gelanggang politik, misal mewacanakan sajak “Aku” yang kadung dianggap ikon vitalitas Chairil (dalam beberapa hal revolusioner), ditarik pada tataran sekedar romantik, yakni urusan keluarga semata.
Sampai saat ini, berbicara tentang Chairil memang tak dapat dilepaskan dari dua sisi: biografis dan estetis. Inilah yang justru membentuk dua dunia dalam kepeloporan “si Binatang Jalang”, yang pada akhirnya menurunkan dunia binner yang lain. Seperti kasus wacana politik dan apolitik di atas, sebagai buah adukkan yang biografis dan estetis. Begitu pula tubrukan asumsi terhadap sosok Chairil: pendukung revolusi atau antirevolusi. Asumsi ini lahir lantaran di satu sisi orang menganggap puisi dan gaya hidupnya amat romantik-individualistik, tapi sebagian lain menganggap sikap indiviualistiknya cermin hasrat masyarakat luas untuk lebih bebas mengekspresikan diri, tanpa berarti harus kehilangan kolektivitas. Bukankah ini juga tercermin dari dua jenis sajak Chairil, antara “sajak kamar” dan “sajak mimbar”?
Sisi Estetis Kepeloporan
Bicara kepeloporan Chairil dalam hal estetis, pertama harus dikatakan, ia pelopor yang inklusif. Artinya, pencapaian-pencapaian estetik Chairil bisa dimasuki orang lain untuk menghasilkan variasi atau kemungkinan lain atau bahkan “penyimpangan”. Ini berkebalikkan dengan mereka yang menurut saya berhasil sebagai pelopor ekslusif, sebagaimana Sutardji Calzoum Bachri atau Afrizal Malna.
Konsepsi puitik Sutardji yang dikenal dengan “Kredo Puisi” (1973) yang “membebaskan kata dari beban pengertian”, disertai bentuk sajak mantra yang dikembangkannya, terlalu ekslusif untuk dimasuki kreator lain, bahkan mungkin bagi apresiator. Tema “maut” (kematian) di tangan Chairil bisa berbeda dengan tema “maut” di tangan Goenawan Muhamad atau Sapardi Djoko Damono, meski bahasa liris dan imajis memiliki pertalian yang jelas dengan capaian Chairil. Sebaliknya, tidak terbayangkan bagaimana kata “batu” di tangan Sutardji ditulis penyair lain dengan terlebih dahulu mengambil bentuk mantra, pastilah “batu” di tangan penyair lain itu akan tenggelam ke kebisuan dalam arti yang sebenarnya, kecuali jika ia bisa lebih ekstrem dari “batu” Tardji.
Begitu pula Afrizal, akan menjadi absrud jika konsepsinya tentang “alam benda” dipraktekkan langsung serta-merta orang lain, apalagi dengan gaya ungkapnya yang tak mengindahkan “kimiawi kata”. Itulah sebabnya, fenomena Afrizalian pada sekitar tahun 90-an tetap hanya memunculkan Afrizal sendiri karena secara riil memang dialah empunya konsepsi. Banyak yang kemudian terpental, alih haluan, meski ada juga yang keras kepala bertahan seperti T. Wijaya (Palembang) atau Shinta Febriany (Makasar), tapi toh tetap saja mengingatkan kita pada sajak Afrizal.
Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa yang satu lebih baik daripada yang lain. Apalagi untuk mengatakan bahwa estetika pelopor yang ekslusif tidak memberi jejak pada tradisi kepenyairan kita. Tidak. Spirit Tardji dan Afrizal jelas menorehkan jejak pada perpuisian mutakhir kita, namun dalam konteks membuka jalan bersama, efek eststika Chairil terhadap kepenyairan Indonesia harus diakui lebih mengena: ia meneruka dunia kata-kata dengan lebih lempang, menjadi milik semua orang. Dalam kerangka agak normatif inilah Chairil menempati posisi utama pembahru dan pelopor estetika puisi Indonesia.
Lagi pula Chairil tidak merumuskan suatu konsepsi personal yang sekiranya menjadi kredo puisinya, sebab efeknya tentulah menutup kemungkinan lain dari “jalan bersama” yang sedang dirintisnya. Sepanjang pengetahuan saya, Chairil hanya merumuskan konsepsi kolektif kepenyairan yang “ideal”, seperti terungkap dalam suratnya kepada HB Jassin (8 Maret 1944),”Mengorek kata sampai ke intinya.” Atau seperti yang disampaikan dalam pidato radionya (1946),”Sajak adalah dunia yang menjadi.” Bukankah ini sewajarnya milik setiap penyair? Meski pula ia pernah bilang, setengah meradang, “yang bukan penyair jangan ambil bagian,” namun jelas ditujukan kepada para kreator setengah hati yang justru membuat dunia bersama itu terancam mencair. Hal yang sekarang terbukti, betapa puisi, dengan memperalat demokratisasi telah mengalami penggampangan di sana-sini.
Jelaslah, kepeloporan inklusif Chairil membuka jalan bersama yang dalam bahasa keren sekarang bolehlah kita sebut demokratisasi. Sayangnya, di tengah iklim demoktratisasi ini pula muncul ironi hidup berbangsa: yang lahir bukannya si Pelopor, melainkan si Pecundang. Yang muncul bukannya kreator yang berproses dan berkeringat, tapi koruptor yang ingin mendapatkan segala sesuatu dengan cepat. Dalam situasi seperti inilah kepeloporan Chairil Anwar, baik estetis maupun biografis, menemukan momentumnya untuk diperingati, ada atau tidak ada Hari Sastra.
***
*) Raudal Tanjung Banua, Penyair dan Redaktur Rumahlebah Ruangpuisi.