Naskah drama kepunyaan WS Rendra yang berjudul Mastodon dan Burung Kondor kembali dipentaskan selama empat hari sampai 14 Agustus 2011 di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Setelah kali pertama dipentaskan pada 1973, naskah itu kini dimainkan Ken Zuraida Project di bawah arahan sutradara Ken Zuraida, salah satu pengelola Bengkel Teater sekaligus istri mendiang Rendra.
Ken mengungkapkan pementasan naskah drama Mastodon dan Burung Kondor yang berumur 38 tahun itu kembali dimainkan karena relevan dengan kondisi saat ini.
“Memang keadaan Indonesia berbeda, namun substansinya tetap sama. Baik itu persoalan budaya, sosial, ataupun hukum,”jelasnya, Kamis (11/8). Ken juga memastikan jika 99 persen isi naskah Rendra tetap dipertahankan Ken Zuraida Project.
Hanya saja dibandingkan pementasan awal puluhan tahun lalu, diakui Iwan Burnani, ada sedikit perubahan. Seperti pemeran Profesor Topaz itu memang sedikit pemain yang menjadi saksi ketika naskah drama ini kali pertama dipentaskan pada 1973. Ketika itu dia memainkan peran sebagai Mayor Ramos.
Salah satu contohnya, dia menyoal tata panggung yang berbeda. Pementasan kali ini tampil dengan dekor berupa bangunan di satu sisi dan pencitraan gubuk di sisi lain, seakan menyiratkan mastodon dan burung kondor. “Dulu ketika di Istora Senayan, panggung malah didominasi ban. Lebih banyak mengandalkan pencahayaan,” ujar Iwan.
Revolusi
Di atas panggung, Kolonel Max Carlos (Awan Sanwani) tampak memegangi lipatan koran. Lantas dia memukulkannya ke dada Profesor Donte Fayo. “Saya digambarkan sebagai Mastodon. Barangkali saya memang Mastodon. Tetapi Mastodon yang mengangkat pembangunan, bukan menginjak-injak rakyat,” bentak Kolonel Max.
Kolonel Carlos digambarkan merupakan sosok penguasa berlatar kawasan Amerika Latin. Pembangunan selalu dijadikannya tameng untuk mempertahankan kekuasaan. Hanya saja program itu dirasakan tawar karena malah marak kemiskinan dan penindasan. Revolusi pun didengungkan. Namun, ada yang menentangnya, yakni Jose Karosta (Totenk Mahdasi Tatang).
Dalam naskah itu, diceritakan Jose Karosta seorang penyair yang menjadi tokoh utama yang berhelat di tengah-tengah pergulatan sosial politik di Amerika Latin. Jose menentang mereka yang berniat melakukan revolusi.
Tentangan yang dilakukan oleh Jose serta-merta membuat gerah mereka yang ingin adanya revolusi, termasuk salah satu penggeraknya, Juan Frederico (Angin Kamajaya). Jose pun sengaja dijadikan “tumbal” oleh mereka yang pro revolusi.
Juan memakai media bawah tanah untuk menampilkan sosok Kolonel Max sebagai burung mastodon yang menginjak rakyat dalam bentuk karikatur, lengkap dengan puisi Jose di bawahnya.
Seakan-akan dalang gejolak revolusi adalah Jose. Karenanya Jose sempat dijebloskan ke penjara. Di saat Kolonel Max menganggap situasi sudah terkendali, gejolak revolusi malah dimulai secara gerilya.
Satu per satu provinsi dikuasai. Profesor Topaz (Iwan Burnani) kemudian dimunculkan sebagai calon penguasa berikutnya. Kolonel Max pun berang dan berupaya menjaga kekuasaannya dengan mengerahkan kekuatan militer.
Sampai akhirnya Jose berhasil dilepas dengan bantuan karibnya, Emmanuel Valdez (Padma Kuntjara). Meski begitu, pendirian Jose tetap sama. Tetap tidak setuju revolusi. Penolakannya semakin bulat setelah dia mengetahui jika dirinya telah sengaja dikorbankan oleh Juan dan konco-konconya untuk memuluskan niat revolusi.
“Saya tidak pernah setuju dengan revolusi karena saya tidak pernah setuju dengan kekerasan. Kenapa tidak lewat kenyataan kebudayaan yang ada,” kata Jose memberikan alasan.
Dianggapnya setiap revolusi yang dimenangkan kaum radikal yang fanatik pada akhirnya hanya akan melahirkan mastodon-mastodon alias penindas-penindas baru, sedangkan burung-burung kondor tetap terzalimi.
Pementasan ini memang menekankan kekuatan narasi. Hanya saja, entah disengaja atau tidak, pengibaran bendera Merah Putih pada salah satu fragmen sedikit mengaburkan logika tempat, tentu jika disesuaikan dengan isi naskah yakni Amerika Latin. Bagusnya keterbatasan pemain masih bisa diatasi di atas panggung. (CR-16)
***