Sudarmoko
staff.unand.ac.id
Penerbit karya sastra sering dilupakan dalam kajian sastra. Padahal, dalam proses penerbitan inilah banyak terjadi perubahan teks, tarik-menarik kepentingan antara penerbit dan pengarang, wujudnya pengaruh lingkungan sastra, pengendalian orientasi pembaca berdasarkan pandangan penerbit, dan juga ideologi yang sering bersinggungan atau bersebarangan.
Contoh perubahan teks novel Salah Asuhan di penerbit Balai Pustaka sudah dipaparkan oleh Keith Foulcher dalam artikelnya (2005). Demikian juga dengan kasus-kasus penolakan naskah, kepentingan menerbitkan karya sastra untuk tujuan lomba atau anugerah, sulitnya menerbitkan karya melalui self-publishing, rendahnya serapan pasar buku sastra, rendahnya jumlah buku-buku puisi atau kritik sastra, masih dan terus menjadi keprihatinan banyak pihak. Ditambah lagi dengan dukungan dalam bentuk keberpihakan kebijakan terhadap penerbitan buku yang masih kurang.
Persoalan ini yang menjadi kejengkelan, misalnya, untuk bisa mempersiapkan Indonesia menjadi bagian penting dalam sejumlah peristiwa sastra dan budaya internasional. Bagaimana mempersiapkan terbitan karya sastra Indonesia dalam bahasa Indonesia atau terjemahan dalam bahasa asing dalam pameran-pameran buku internasional. Penerbitan karya sastra tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar, yang sering berbeda dengan inti sari dari pencarian nilai estetika melalui karya-karya yang lahir dan diterbitkan. Lebih dari pada itu, bagaimana karya sastra menjadi bagian penting dalam perkembangan budaya secara lebih luas.
Potensi perangkat untuk mengatasi persoalan ini sebenarnya tidak susah didapatkan. Banyak daerah sudah menjadi kantong-kantong hidupnya sastra dan penerbitan. Komunitas-komunitas sastra tumbuh dan berkembang di hampir setiap daerah. Diskusi-diskusi daring dan pertemuan sastra digelar di banyak kesempatan. Hampir di semua wilayah Indonesia memiliki institusi yang mengurusi sastra dan budaya. Semua potensi ini telah membantu, dalam berbagai bentuknya, lahirnya karya-karya sastra di Indonesia.
Penerbitan sastra, karenanya, memang nyaris tidak menjadi perhatian, walaupun ia menjadi persoalan yang ada di depan mata. Ada sejumlah indikator mengapa persoalan ini tidak tuntas diperhatikan. Bagi penulis, penerbitan adalah persoalan rumit, meskipun penerbitan ini menjadi medium terhantarkannya karya ke publik pembaca. Segala cara dilakukan, dengan harapan karya-karya para penulis dapat terbit. Mengirimkannya ke penerbit-penerbit terkenal hingga penerbit kecil, menerbitkan dengan mencari dukungan sponsor, menabung sekian lama dengan harapan dapat mengambil manfaat finasial melalui pasar atau lomba, dan masih banyak strategi lainnya. Meski pada satu sisi, penerbitan ini idealnya memang menjadi pekerjaan tersendiri, misalnya dengan kehadiran agen atau manajer yang membantu proses penerbitan.
Bagi penerbit, urusan menerbitkan karya sastra ini juga menjadi beban. Serapan pasar menjadi pertimbangan utama, terutama untuk jenis karya dan pengarang yang kurang menjanjikan. Mencari peluang dukungan biaya penerbitan bekerja sama dengan pihak luar, atau sistem penerbitan yang mereka terapkan. Sejumlah penerbit yang memang sejak awal membidik penerbitan karya sastra terus mengetatkan perhitungan, mengkhawatirkan pasar dan karya yang layak, dan berusaha terus menerus meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sastra. Pilihan genre karya sastra juga menjadi perhatian penting mereka.
Dukungan perkembangan lingkungan sastra, saya pikir, terus membaik. Sejumlah sastrawan dan aktivis seni budaya telah memberikan jalan terang dalam bidang ini. Akan tetapi, dibutuhkan strategi untuk meningkatkan lingkungan yang lebih luas. Misalnya saja, jumlah mahasiswa dan siswa yang pernah belajar sastra, apapun jurusan bidang sastranya, seharusnya diberikan dorongan untuk terus mencintai dan membaca karya-karya sastra. Dengan demikian, mereka akan terus menjadi bagian dari pertumbuhan sastra, sebagai apresiator atau penikmat, dan jika mungkin menjadi pembaca aktif. Mereka akan meramaikan diskusi dan mengikuti berbagai wacana yang berkembang.
Kampanye literasi juga dapat dilakukan di berbagai kalangan, sekaligus menegaskan bahwa memang sastra dibaca dan dinikmati bukan saja oleh mereka yang belajar sastra. Sastra menjadi milik masyarakat. Tak dapat ditolak pandangan bahwa sastra memang masih menjadi bagian tidak begitu penting dalam lapangan hidup umum. Akan tetapi, kenyataan bahwa setiap orang kini nyaris pernah membaca dan menikmati karya sastra juga tidak dapat diabaikan.
Beberapa kasus sebenarnya telah memberi pelajaran dan pengalaman panjang mengenai penerbitan sastra ini. Penerbit telah banyak yang jatuh bangun menerbitkan karya. Sebagian berhasil dan bertahan hingga kini. Sebagian lagi gulung tikar, berubah nama, mengatur ulang strategi, atau trauma untuk kembali bekerja di bidang yang ini. Bagi penulis, mereka telah memberikan berbagai gambaran bagaimana usaha menerbitkan karya ini dapat berhasil. Meminta dukungan pemerintah, sponsor perorangan atau perusahaan, menyisihkan penghasilan, memelas dan meminta belas kasih penerbit, dan usaha lainnya.
Bagaimana nasib buku karya sastra yang sudah diterbitkan? Sebagian besar memang tidak mendapatkan tanggapan seperti yang diharapkan. Entah itu karena menyangkut kurangnya pengulas, kritikus, pembahas. Sebagian lagi karena kualitasnya. Atau bernasib mendapat tanggapan buruk, dilarang, dibakar. Perlu kajian yang lebih mendalam mengenai hal ini.
Bisakah persoalan penerbitan sastra ini kemudian memunculkan gambaran besar bagaimana bangunan sastra Indonesia ini berjalan? Pengalaman yang sudah menumpuk mengenai proses kreatif, wacana sastra, capaian estetika, penerbitan sastra, semua ini tentulah dapat dijadikan pegangan untuk mengatur kembali arah perbaikannya. Saling keterkaitan dan ketergantungan dalam proses penerbitan sastra ini seharusnya mendapatkan perhatian bersama.
Hubungan problematik dalam proses penerbitan, terutama antara penulis dan penerbit, kebanyakan tidak sampai ke publik. Tidak hanya menyangkut kesulitan dalam proses penerbitannya, tetapi juga logika yang ada di dalamnya sering kali di luar urusan estetika. Akan tetapi, sebagai bagian penting dalam proses produksi sastra, masih terbuka banyak peluang untuk memahami dan mengetahui bagaimana proses penerbitan karya sastra ini berlangsung.
Sebagian besar penulis juga memerhatikan dengan seksama penerbitan karya sastra di media massa, di luar penerbitan buku. Dengan jumlah jadwal penerbitan yang lebih banyak dibandingkan penerbitan buku, media massa juga telah memberikan sumbangan penting dalam proses kelangsungan pertumbuhan sastra. Ia menjadi jembatan setiap minggu dalam diskusi dan interaksi para penulis, pembaca, dan penikmat sastra. Pada saat yang bersamaan, ia juga telah menyambung proses kreatif sebagian penulis dengan honor yang disediakan.
Penerbit berperan penting dalam membantu proses transformasi teks karya sastra, menjadi bentuk akhir yang ada di tangan pembaca. Tetapi bagaimana kita, sebagai pembaca, penulis, calon penulis, dapat memahami dan menyangka, bahwa karya sastra yang ada di hadapan kita telah mengalami proses panjang dalam pergulatan estetika dan soal-soal non literer di dalamnya?
***
http://staff.unand.ac.id/sudarmoko/2014/08/16/sastra-penerbitan-sastra-dan-persoalan-non-literer/