Tiga Cerpenis Jawa Timur

Beni Setia *
horisononline.or.id

YANG dimaksudkan dengan tiga cerpenis Jawa Timur dalam tulisan ini adalah: Fahrudin Nasrulloh, yang termanifestasikan dengan kumpulan cerpen, Syekh Bajirun dan Rajah Anjing, (Pustaka Pujangga, Lamongan Februari 2011); dan Mardi Luhung dengan kumpulan cerpen, Saya Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (komodo books, Depok Februari 2011); serta R. Giryadi dengan kumpulan cerpennya, Dongeng Negeri Lumut (Satukata, Sidoarjo Januari 2011). Dua bulan di awal 2011, tiga kumpulan cerpen dari tiga cerpenis yang mempunyai latar belakang berbeda, dan bagaimana perbedaan latar belakang itu menentukan corak ekspresi ber-“cerpen” mereka.

Fahrudin Nasrulloh lahir di Jombang, 16 Agustus 1976. Selepas dari nyantri di Pesantren Denanyar, Jombang (1995), berkuliah di Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah di IAIN Sunan KalijagaYogyakarta (2002) sambil nyantri di Pesantren Salafiyyah Al-Musin, Nglaren, Yogyakarta (2005). Satu sosok dengan latar belakang ayah NU dan ibu Muhammadiyah ini total dalam komunitas pesantren, aktif menelisisik dakwah Islam di masa awal ketika kemurnian Islam bersihadapan dengan ajaran Hindu dan kecenderungan Mistisme Jawa, dan bagaimana kemurnian itu harus memilih berasimilasi secara budaya atau berperang secara akidah. Kecenderungannya menelusuri pendakwah awal lokal dan pergulatan Hinduisme dan Mistisme Jawa yang menyerap Islam sehingga sesuai dengan cita rasa lokal–Mistisme Jawa yang beralih dari baju Hindu jadi berbaju Islam–merupakan minatnya. Minat yang dikembangkan jadi penelitian personal yang amat serius tentang sejarah perjalanan adaptatif ludruk.

Mardi Luhung lahir di Gresik, 5 Maret 1965, dari latar belakang ibu Jawa serta Ayah Cina–tapi ia sendiri besar dalam tradisi nelayan pesisir sebagai orang yang ada di antara kultur Islam-Jawa pesisir dengan kultur Cina migran yang berusaha eksis di tengah lingkungan yang setengah menolaknya. Keterasingan sosial yang diperparah dengan kondisi fisik yang kurang prima sehingga usai acara di luar ruangan ia selalu demam–dan karenanya saat mengikuti pelajaran olah raga dan Pramuka harus dikawal satu pembantu. Kondisi rentan dan perlidungan berlebihan itu dimanifestasi Ayahnya dengan banyak memberinya bacaan komik, sehingga instink petualangan fisik di alam bebas riil dialihkan ke kebebasan buat mengembangkan fantasi petualang dari bacaan yang mengumbar fantasi, serta menyebabkannya peka untuk meliuk-liuk berfantasai. Lahan subur untuk bersastra, yang di SMA dikembangkan untuk menulis puisi yang ditujukan untuk ”menembak” seorang siswi yang kemudian jadi pasangannya. Meski begitu ia menyelesaikan studi Sastra di Unej, Jombang–sambil terpukau oleh potensi pengetahuan bawah sadar dari bacaan yang siap dimobilitasai jadi bubungan fantasi.

Rakhmat Giryadi lahir di Blitar 10 April 1969. Ia menempuh pendidikan formal di Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya–lulus 1994. Tapi meski bersibasis pedidikan formal sarjana kependidikan seni rupa, ia lebih terserap oleh dan syur dalam kegiatan Teater dan berteater di kampus, sekaligus (setelah) suntuk berteater ia mulai bersastra dengan menulis puisi, esei, dan terutama cerpen. Kini meski ia telah jadi staf pengajar di Unesa, Surabaya–sambil sesekali menjadi redaktur dan berkegiatan jurnalistik–, ia tetap berteater dan bersastra. Dan bila ditelusuri, instink dan ketersipukauan di dalam profesi pekerja teaterlah yang paling dominan, seperti yang akan dibicarakan nanti. Tapi, meski tulisan ini berfokus pada tiga kumpulan cerpen sebagai olah unik tiga cerpenis, saya tak akan membandingkannya. Pertama, jalurnya berbeda, tradisi pengucapan dan pilihan tema yang berbeda dan teramat khas si bersangkutan. Selain itu, kedua, tulisan ini hanya apresiasi untuk melihat keunikan dari masing-masing si cerpenis–dan bukan memilih yang terbaik dari tiga yang unik dan tak mungkin dibandingkan.

FAHRUDIN NASRULLOH: MENGORAK MISTISME JAWA

AFRIZAL MALNA, via ”Sebuah Novel dalam 11 Cerpen dan Politik Imajinasi Jawa dari “dia-yang-bercerita””–Kata Pengantar kumpulan cerpen Syekh Bejirun dan Rajah Anjing–, menggarisbawahi tiga faktor (entitas) pendukung cerita: obyek yang diceritakan, subyek sang pencerita, dan penerima cerita. Sedang Fahrudin Nasrulloh, sebagai subyek sang pencerita pun menulis pengantar yang menggarisbawahi peranan penting dari bahan-bahan riil yang mendorongnya bercerita, dengan merunut asal-usul bahan dari semua cerita yang kini berujudkan 11 cerpen itu. Lantas bagaimana nasib pembaca cerita yang meresepsinya?

Rasanya hanya obyek yang pasif menerima semua pendadaran dan pewedaran. Persis seperti ketika Fahrudin Nasrulloh bercerita tentang santri teman mondok-nya yang kerasukan serta tidak bisa disembuhkan oleh kiai mana pun–karena si santri itu kalah bertanding dengan jin. Bagian teks ini merupakan rujukan riil cerpen ”Arung Beliung”, yang bercerita tentang seorang santri yang secara batiniah diajari ilmu sesat oleh kelompok malaikat pendosa dan jin terkeji, dan mendapat ikon tato rajah puting beliung, dan akan jadi problema besar akidah di Indonesia cq sembilan “wali kutub”. Dan meski si santri itu mengorbankan dirinya dengan ikhlas lillahi taalla buat dikubur hidup-hidup oleh kiainya, tapi rajah puting beliung–ikon nash-nash sesat itu–tak bisa ditaklukkan, bahkan bangkit dari kuburan, berupa ratusan cacing merah dan lintingan rajah api yang mengganyang eksistensi kiai Bahlawi. Manifestasi magic’s thriller nan mencekam seperti serial Supernatural.

Sedangkan pengalamannya mempelajari ilmu tarekat dan sufisme Jawa terbuhul dalam cerpen ”Surabawuk Megatruh”. Kisah tentang seorang hamba rasionalitas yang mampu menguasai pengetahuan filosofi murni karena ditakdirkan benang ruhnya bisa menghubungkan sukma, nalar murni dan kesadaran hening. si Tokoh yang bertualang demi debat dengan sembarangan kiai supaya mendapatkan kepastian tentang hakekat adanya Tuhan–sekaligus menafsikan keimanan yang tidak didukung bukti keberadaan Tuhan. Akhirnya Surabawuk bertemu dengan Kiai Hasan Besari, dari Ponorogo–guru pujangga besar Jawa, Ranggawarsita. Terjadi debat tentang keberadaan Tuhan, antara rasionalitas yang amat membutuhkan rujukan bukti riil dengan yang penghayatan yang dalam terhadap keberadaan-Nya ketika diri didatangi (kerasukan) Tuhan.

Debat soal keimanan yang disampaikan nyaris datar, tapi sengaja dibuhul dalam pengalaman Surabawuk yang berada dalam ketiadaan karena munculnya keberadaan TUhan yang mutlak dan meniadakan segala ada yang diadakan. Aroma spiritual ini nyaris sejajar dengan aura batiniah cerpen ”Abu Zardak”, yang bercerita tentang proses mengalami alam ada dan tiada tapi tanpa kerasukan ”yang mengadakan” sebab berangkat dengan ilmu sesat yang menggadaikan ketiadaan. Kita tak tahu: Abu Zardak dicerahkan seperti Surabawuk, atau tersesat seperti murid kiai Bahlawi, Ali Subaka. Pengalaman tersebut berbeda dengan cerpen ”Syekh Bajirum dan Rajah Anjing”, yang bersicerita tentang kitab Arabi yang berisi aneka ajaran takhayul yang sengaja dioplos dengan ilmu sekuler, yang dipesan Majapahit untuk menjinakkan Demak (baca: Islam). Teks sinkretisme sesat yang tidak diridlai Allah, yang dieliminasi-Nya dengan bencana badai yang memusnahkan kapal pembawa kitab Arabi pesanan Majapahit itu.

Syeikh Bajirun–kurir penjemput–mati, teks kitab Arabi pesanan–berikon rajah anjing–musnah, karenanya babon ajaran sesat itu tak sampai di Jawa dan dipakai oleh Majapahit buat mengacaukan hakekat Islam kaffah. Sayangnya pihak yang tak punya latar Pesantren tak hapal akan etos validisasi menulis buku kuning di pesantren, yang harus selalu bertolak dari ikhlas dan berharap agar kuasa Allah SWT mengujud ketika menguji yang ditulis itu apa merupakan ilmu yang bermanpaat. Caranya kitab yang selesai ditulis itu dimasukkan ke dalam air (al-maa’un) dan bila saat bergegas ditarik tintanya tidak luntur maka buku itu legal dianggap Allah SWT bermanpaat. Dan kalau tintanya hilang dan sang pembawanya mati dalam bencana laut? Dan bagaimana Serat Centini–di dalam versi prosa Elizabeth D Inandiak–mempersona si pengarang, serta mendorongnya buat membuat cerita rekaan bebas, sempalan dari pakem Serat Centini. Fiksionalisasi fakta (fiktif) seperti terlihat di dalam cerpen ”Montel”, ”Abu Zardak”, ”Prahara Giri Kedaton”, dan ”Huru-Hara Babarong”.

Dan terasa kalau Montel itu sisi lain dari Abu Zardak, si yang terpilih menjadi si pengemban Mistisisme Jawa setelah Giri Kedaton itu dimusnahkan Sultan Agung dan Pangeran Pekik. Seiring Amongraga dan Tambangraras menjadi dua ulat yang dilahap oleh Sultan Agung dan Pangeran Pekik–seperti yang ditekankan cerpen ”Prahara Giri Kedaton”. Sekaligus cerpen ”Duel Dua Bajingan” itu menjadi versi kembangan paling sekuler, melulu soal kanuragaan dari para murid Mistisme (Jawa) dari Giri Kedaton–sejajar dengan cerpen ’Huru-Hara Babarong” serta cerpen ”Puputan Walanda Tack” yang berinterteks dengan pemberontakan Surapati di masa Amangkurat II. Sedangkan dua cerpen lain, ”Memburu Maria van Paousten” serta ”Nubuat dari Sabrang” murni fiksi. Dan meski bertolak dari pemburu kitab kuning dan ilmu mistik Jawa sehingga si tokoh dihantui kebenaran lain, dan bagaimana aura kebenaran itu bisa digunakan buat menolong yang dikutuk kejahatan masa lalu–cerpen “Memburu Maria van Paosten”–, tapi tekanannya tetap ke cerita, usaha, rasa bersalah, dan takdir yang tak bisa ditolak.

Cerpen ”Nubuat dari Sebrang” berkisah tentang kitab Nubuat dari Sabrang yang tampaknya sengaja ditulis Snouck Hurgrunje untuk memecahbelah Islam, meski teks itu seperti ditulis bersama asistennya: Teungku Husein Goeje–sehingga isinya sama dengan Hikajat Pejalan dari Sabrang yang ditulis dan didedikasikan Teungku Husein Gouje buat Snouck Hurgronje. Tapi, seiring dengan informasi Teungku Husein Goeje itu penganut Hamzah Fansury, si penganut dan pengamal mistisme, maka penyesatan dalam teks Nubuat dari Sabrang itu bermotif apa? Apa si Snouck Hurgronje memang sengaja menuliskan ilmu sesat sementara mereka–bersama si tokoh cerpen, Teungku Hasan Musthapa, yang dikenal sebagai mistikus Sunda–pernah bersitualang ke Jawa Timur dan Madura, dan mendapatkan hadiah kitab-kitab tentang mistisme Islam dari pesantren-pesantren di Jawa Timur dan Madura?

Apakah sosok Snouck Hurgronje itu seperti Ali Subaka atau seperti Surabawuk? Tapi untuk apa ikut memahami hal yang hakiki itu kalau Snouck Hurgronje itu hanya Orientalis yang bertugas–melakukan riset partisipasif–memahami apa landasan nash dari jihad Islam di Aceh, sehingga dengan mengetahuinya Belanda merasa akan kuasa memotong motif jihad dengan nash yang menentang anjuran jihad? Sayang pengarang merasa lebih berkepentingan dengan fakta jiwa Snouch Hurgronje itu telah dicerahkan secara mistis, sehingga (agaknya) tidak mungkin menyampaikan ajaran sesat–dengan menunjukkan kesesatan dan penyesatan itu mungkin berasal dari asistennya, Teungku husen Goeje. Fakta-fakta itu–banyak yang dikuatkan dengan catatan kaki, yang bisa mencapai satu halaman, dan juga rujukan referensial yang menunjuk ke kitab kuning tertentu– membuat kita berkutet dengan tanya: apa yang diceritakan itu berdasar data rujukan yang valid. Karena catatan kaki itu terkadang tempat si pengarang menuliskan lanturan fiksi kecil yang imajinatif, tapi pengembangan fantasia itu tetap berlandaskan asumsi mistisme yang menuntut pengalaman dan pengetahuan mistisme Jawa tertentu.

Tanpa itu kita akan tersesat dalam ketidakpahaman. Dan lebih rumitnya, semua yang merujuk ke mistisme Jawa itu diungkapkannya dengan gaya sastra tutur berbasis diksi bersanjak ala ludruk, simbolika refresentatif yang esotermik, dan idiom berkosa kata Jawa yang dituliskannya tanpa bercatatan kaki. Rumit serta menuntut penafsiran yang lebih. Sekaligus teks (Fahrudin Nasrulloh) kuasa jadi varian dan sisi lain sastra berbasis mistisme Jawa Danarto–varian genre lokal dari sastra Indonesia modern.

MARDI LUHUNG: TEKS FANTASI BERTENDENS

PADA awalnya Mardi Luhung seorang penyair, setidaknya dibuktikan dengan kumpulan puisi tunggalnya, macam Terbelah Sudah Jantungku (1996), Wanita yang Kencing di Semak (2002), Ciuman Bibirku yang Kelabu (2002), serta Buwun (2010) yang memenangkan Khatulistiwa Literary Award 2010. Tetapi awal dari semua buku itu fantasi bagi anak yang sering sakit-sakitan dan amat dilindungi sehingga buat ikut latihan Pramuka saat SDpun harus dikawal dan diawasi seorang pembantu. Karenanya sang ayah memuaskan instink ingin bertualangnya itu dengan bacaan, setumpuk buku komik dengan tokoh pendekar kelana, superhero, dan karakter kartun yang bertualang untuk menegakkan keadilan atau sekedar bertualang di alam antah berantah.

Puncak mengempati yang terbayangkan serta bukan sekedar partisipasif dengan fakta yang riil terjadi ketika ia sedang menyusun skirpsi S1-nya di Unej, Universitas Jember, yang membutuhkan validisasi oral lewat wawancara dengan Budi Darma, dan yang harus ditemuinya setelah satu ceramah di Fakultas Sastra. Sayang Mardi Luhung datang terlambat tapi tidak memaksa masuk, Mardi Luhung cukup menyimak semua ceramah itu dari balik pintu, sambil membayangkan apa yang ingin dipastikan dengan yang bangkit terbayang.dari satu ceramah yang cuma didengar dan tidak partisipasif disaksikan. Mardi Luhung menyebut fakta itu sebagai keindahan mengintip, dan saya menyebut itu sebagai spontanitas mengempati liukan fantasi yang disibangkitkan oleh ceramah. Pengetahuan potensial yang pasif di alam bawah sadar yang tersibangkitkan dan diempati–mimpi sadar dalam idea psiko-analisis Freud.

Dan hal itu amat cocok dengan pengakuan genetika kreatif Mardi Luhung, yang selalu bilang kalau sajaknya itu liukan fantasi yang dibangkitan oleh suasana ketika ia melihat sesuatu yang kongkrit–sehingga yang kongkrit itu dirumuskan secara teramat fantatis dengan rincian deskriptif yang serba entah apa serta entah bagaimana.Teramat subyektif kalau terma liukan-liukan fantastik terlalu obyektif untuk merumuskan kerja deskriptif-naratifnya. Konstruksi pengkongkritan lanturan semacam itu pada dasarnya membutuhkan keberadaan (i) fantasi yang utuh-bulat, dan karenanya bisa membentuk sebuah pengalaman rekaan yang selesai, serta (ii) pola rekonstruksi fantasi utuh-bulat itu dalam kalimat yang efektif dengan memakai jejaring bahasa lugas sangat terfokus. Setelah sekian tahun berupaya, maka Buwun, saya rasa, merupakan bukti pencapaian kepenyairan Mardi Luhung dengan menghadirkan dua acuan mendasar itu.

Dan cerpen yang ditulisnya di dekade 2000-an–ini dipisahkan dengan cerpen di dekade 1990-an, yang dalam Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku, merujuk enam cerpen dari subkumpulan Tembok, serta bukan enam cerpen dari subkumpuilan Sepeda– ada dalam komposisi semacam itu. Memuat pengalaman rekaan yang utuh-bulat sebagai hasil dari berfantasi yang suntuk, dan bahasa pengungkapan yang sangat membius dan menempatkan apresiatornya sebagai pendengar pasif dari kelincahan bertutur si story teller atau salesman. Pola puisi Mardi Luhung–kemudian cerpen–berawal dari energi fantasi, yang dibangkitkan dan disibiarkan liar mengsibubung dan membuatnya aktif menginpentarisasi apapun yang muncul dan hadir. Tak heran bila Mardi Luhung suka bilang, puisi itu liukan transkripsi dari fantasi pendek, cerpen liukan transkripsi yang panjang–seperti fantasi yang berkepanjangan membuat cerpen Olenka menjadi novel dan bukan hanya cerpen dalam diri Budi Darma, tokoh yang dikagumi Mardi Luhung.

Fantasi yang membuka diri semaunya fantasi itu sendiri yang menghubungkan Mardi Luhung dengan Budi Darma, meski dalam endorsemen untuk buku kumpulan cerpen Mqardi Luhung seorang Budi Darma menolak untuk menandai fantasi liar, dan melulu bicara–dengan sinisme seorang akademisi–dari sisi yang melihat kecerdasan fantasi (seorang) penyair, sebagai pola instink yang tak sepenuhnya disadari. Suasana yang membuat penyair tranced, dan karenanya tak sepenuhnya menyadari semua itu–tidak faktual seperti yang dihadirkan Budi Darma dalam sederetan catatan kaki dalam Olenka–, dan untung ketaksadaran impulsif itu kuasa ada mendatangkan hal-hal yang menyenangkan bagi yang membacanya. Klangenan, bila kita mengutip terma Rendra. Tidak jungkir balik tapi meliuk-liuk penuh goyang kibul yang menyentakkan dengan ketakterdugaan. Sesuatu yang tampak amat naïf serta lugu seperti dalam enam cerpen dari subkumpulan Tembok.

Seperti terujudkan dalam teror tembok yang jadi simbol perluasan pabrik dalam ”Tembok Pabrik”. Seseorang yang kehilangan kepala karena tak ingin direkayasa oleh orang tuanya dalam cerpen ”Kepalaku”.Atau perasaan terhina suami yang terluka oleh apresiasi sadar akan besarannya nafkah si suami dari istri dalam ”Pengingkaran”; dan bagaimana ihwal itu jadi kemesraan hari tua kala masalah ekonomi telah kuasa diatasi dalam cerpen ”Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku’. Kemarahan kepada sikap menurut dan loyal dari orang yang lebih pintar menjilat, seperti anjing, yang membuat si tokoh pitam dan menjadi anjing dalam ”Menggonggong”. Dan daya adaptasi tanaman yang membuat pohon jambu jadi bersesipat robotik berdaun plastik dan berakar baja–yang menjalar dengan kemarahan destruktif pada awal dari segala situasi rak nyaman yang polusif itu: pabrik. Sebuah kaitan interteks dengan ”Tembok Pabrik”.

Cerpen-cerpen dalam subkumpulan Sepeda, lebih mencekam sebab fantasi yang diterawang dan diempatinya lebih bulat dan direkonstruksi dengan bahasa yang lebih tajam dan jernih. Kita lihat cerpen ”Sore Itu Sepedaku Menabrak Dinding”, yang usil bertutur tentang pengalaman seseorang yang naik sepeda menabrak dinding (penbatas yang riil dan yang tak riil), serta mencebur ke dalam laut dengan segala imaji lautnya. Tak ada cerita riil selain pengalaman rekaan bersepeda dalam laut dengan rujukan riil dunia kanak-kanak yang riang. Atau kisah tentang lelaki yang tersubordinasi wanita, istrinya, hingga mengerjakan tugas-tugas domestika perempuan di rumah–mencuci–, yang diungkapkan secara puitik di dalam cerpen ”Tukang Cuci”. Atau tafsir fantastik subyektif sekitar kisah kejatuhan Adam dan Hawa karena godaan ular (Iblis) dan lugu melanggar larangan Allah SWT dalam cerpen ”Penghikayat Ular”. Atau empati yang berlebih pada pengalaman bermain catur, hingga dihantui oleh raja (catur) yang mati karena agresif menyerang dan tak mengamankannya pada cerpen ”Kepompong”.

Atau imajinasi liar kanak-kanak mana kala ditinggalkan ayah dan ibunya dalam cerpen “Perahuku”. Atau instink feministik yang terperangkap di dalam tubuh lelaki, sehingga keinginan jadi ibu ditentang oleh fakta fisik lelaki. Dan mana kala sosok ibu merupakan gerbang dan jalan lurus tunggal ke sorga, maka kodrat lelaki yang bersipat kewanitaan merupakan pengkhianatan dan pendurhakaan pada sosok ibu. Instink ”tak bisa menjelmakan sorga anak” kalau berkeluarga dengan sesama lelaki, membuatnya berfantasi ibu marah dan bangkit dari kubur. Tetapi adilkah itu, kata Mardi Luhung–dengan si tokoh bernama Mardi dalam cerpen ”Ibu Jangan Jadi Hantu”. Fantasi yang lebih punya tema serta sangat bertendens–imajinasi dikendalikan tema, dibatasi pada alur terfokus, dan dengan rekonstruksi bahasa lebih terjaga. Meskipun, salah satu dari aspek khas–entah ini kelemahan atau kekuatan–dari tuturan Mardi Luhung itu justru daya lisan yang pekat.

Oralitas. Pengadeganan fantasi yang dikendalikan semacam (acuan) dramaturgi pantomin, mono play yang cerdas mengeksplorasi daya bercerita lisan.

RAKHMAT GIRYADI: CERPEN TEATERISTIK

STRUKTUR genetika cerpen R.Giryadi, ”Disapper”–Dongeng Negeri Lumut, hlm 11-19–itu sangat teateristik. Lebih tepatnya menulis cerpen dengan acuan tehnik penulisan dan pementasan teater, sebuah dramaturgi aplikatif. Setidaknya dari tehnik menghadirkan kejadian dan peristiwa ke tengah fokus minat dan perhatian pembaca, amat standard pembeberan dan pendadaran adegan kejadian dan peristiwa tahap demi tahap–dengan di penghujung terjadi letupan ending dramatik yang kaya makna. Lihat

sessi runtutannya: (1) si tokoh utama tiba-tiba muncul dengan beban masa lalu, untuk melakukan katarsis dan penebusan dosa besar korupsi, tapi polisi di masa kini dengan peralatan mutakhir tidak punya pasal UU dan KUHP untuk mengidentifikasi apa jenis kejahatan yang dilakukan si tokoh utama. Bahkan (2) segala pengakuan dari si tokoh utama tak bisa dianggap kejahatan karena tidak ada data kejahatan yang dilakukan si tokoh, sehingga si tokoh terpaksa menghadap langsung pada presiden–yang berbicara bahasa Inggris. Dan (3) tersadar kalau Indonesia telah hilang dikorupsi serta tergadai, karenanya si tokoh utama itu memilih pergi ke ufuk terjauh dengan penyesalan diri– dalam tehnik fade out.

Sangat khas sekali, di mana peningkatan beban derita si tokoh utama dihadirkan berseiringan dengan masa lalu yang semakin disadari keliru si tokoh utama, sehingga puncak penyesalan si tokoh utama itu berbanding lurus dengan pengetahuan pembaca tentang kejahatan si tokoh utama. Tapi apa Indonesia akan hancur oleh korupsi? Tidak ada jawaban dari si pengarang, hanya ajakan untuk merenungkan tingkah laku di masa kini agar ada masa depan gemilang. Dan entah kenapa, selain menganjurkan membaca kumpulan cerpen R Giryadi kedua ini, Dongeng Negeri Lumut–dalam kata pengantar disebut sebagai Dongeng Negeri Daun–, saya bersiharap agar Giryadi mementaskan ”Disapper” sebagai pertunjukan monolog, atau teaterikasi dengan bantuan multimedia yang menayangkan suasana futuristik Jakarta. Lepas dari itu, pertanyaan terpokoknya: dari mana aspek dramaturgi itu datang, bagaimana aspek dramaturgi itu menyelusup serta mempengaruhi anatomi kreasi penulisan cerpen R Giryadi?

Mengingat struktur cerpen Putu Wijaya sebelum abad ke-21 relatif amat berbeda dari anatomi naskah lakon Putu Wijaya, sementara struktur naskah lakon dari Afrizal Malna malahan teramat dipengaruhi genetika puisinya dan bukan sebaliknya seperti di pola kreatif Giryadi? Untung jawaban atas semua pertanyaan itu disediakan Giryadi di dalam bukunya, cq epilog ”Aku dan Laki-laki Miskin”, yang merupakan kertas kerja yang dibacakan dalam seminar Penulisan Kreatif, di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni, Unesa Surabaya, 25/11/2009 lamapau. Uniknya, saya malahan lebih membayangkan kertas kerja itu ditampilkan Giryadi dengan teknik berrmonolog utuh, dengan tehnik ubah timbre suara dan permainan intonasi untuk menampilkan banyak tokoh, sebelum peserta seminar menangkap apa yang ingin dikatakan Giryadi sesuai rujukan perfoming arts. Pada pendadaran proses kreatif yang didukung contoh kasus cerpen ”Laki-laki Miskin”–disertakan juga dalam kumpulan cerpennya–Giryadi ada mengungkap latar ketidakproduktifan menulis cerpen.

Pertama hal itu disebabkan oleh kehati-hatiannya dalam mewujudkan ide cerpen yang ingin ditulis, yang menyebabkan konsep cerpen cuma dikongkritkan sebagai satu manuskrip siap diketik dalam ujud naskah tulisan tangan. Celakanya, kalau manuskrip itu dianggap telah matang, ketika memulai mengetik naskah itu ia dijebak oleh kontrol rasional (proses) editing bahasa dan konsitensi karakter si tokoh dalam konflik, yang membuatnya berputus asa karena manuskrip bisa terdekonstruksi ketika diketik. Tapi apa editing dalam proses pengetikan itu cukup? Giryadi menganggap itu tidak cukup, karena bukan logika kalimat dan keruntutan bahasa ungkap dinilai, tapi editing itu alat untuk menilai kemulusan penceritaan dengan tehnik reading teater–metode dasar buat mengecek potensi dramatic dari teks. The true editing cerpen Giryadi. Lebih tepatnya: reading dramatik bersisendirian di kesunyian malam sebelum sebuah cerpen dianggap otonom sebagai teks cerpen. Meski tehnik itu membawa konsekuensi lain: dominasi (referensial) dari bahasa lisan.

Orality yang menjelaskan kenapa Giryadi lebih memilih idiom ”… yang Anda cari-cari”, pengulangan untuk menunjukan peningkatan level upaya pencarian yan keras–secara tulisan cukup merujuk ke ”cari” saja. Sekaligus itu menerangkan kenapa cerpen ”Kodrat (Luka Tak Juga Mengering)”, mempunyai 31 catatan kaki untuk kata serapan bahasa Jawa subdialek Surabaya–sesuatu yang membuat kita berpikir cerpen itu akan menarik kalau ditulis dalam bahasa Jawa Surabayan. Atau pilihannya kepada transliterasi kata yang terdengar dari yang tertulis dalam kamus–seperti chikenberger bukan chickenburger, seperti kon bukan koen, atau etikat bukan itikad, bahkan cuman dan pingin bukan cuma dan ingin, misalnya. Meskipun (seharusnya) kita melihat itu sebagai kekayaan sastra lisan, sehingga pendekatan pada aspek bahasa cerpen Giryadi dengan acuan grammar bahasa tulis baku akan mengaburkan hakekat dari eksistensial kreativitas reading teater Giryadi.

Pada dasarnya Giryadi menulis cerpen dengan rujukan (dramaturgi) pengadegan teater serta mengontrol konsistensi karakter dan klimaks konfliknya dari tensi reading dramatik lewat pelisanan untuk menangkap atmosfir aura suspens dari tempo kalimat dan intonasi diksi kata. Di titik ini, Giryadi menempatkan posisi dati titik dan koma ke dalam hukum penjedaan pelafalan demi ditemukan suasana dan suspens–rujukannya selalu adegan dan tokoh–, bukan sekedar penjedaan buat pembacaan yang murni teks, baik saat menulis cerpen atau kertas kerja–yang semuanya harus dibacakannya secara dramatik, meski itu mungkin hanya minimal berdasarkan artikulasi dan intonasi. Pola yang perlahan dirujuk Putu Wijaya ketika akhir-akhir ini ia menulis cerpen: selalu ada tokoh aku serba tahu, tokoh yang dekat dengan si aku, dan problem yang membuat si tokoh-tokoh itu membuat penafsiran berbeda, dan pelan menyerahkan kesimpulan ke pembaca yang menonton pertunjukan monolog dramatik itu–meski sering menggiring dengan ending ironikal.

Sebuah pengepingan masalah sesuai porsi si tokoh representatif yang berdialog secara dramatik, karenanya nikmat ditonton saat dibacakan secara reading teater dan bukan personal dibaca di kamar. Dulu hal itu pernah dilakukan Bagus Putu Parto, dan selain Putu Wijaya dan Giryadi–di khazanah sastra Sunda fenomena penulisan novel-novel Godi Suwarna ketat mengikuti referensi dramaturgi teater–, tampaknya banyak orang teater yang menulis cerpen serta prosa dengan acuan dramaturgi lakon, bahkan amat sadar disiapkan untuk ditampilkan dalam reading dramatik. Sebuah pengayaan khazanah sastra Indonesia, meski masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam akan hal itu. Memang!
***

*) Beni Setia, lahir di Bandung 1 Januari 1954. Tahun 1974 lulus SPMA di Bandung dan sejak itu belajar sastra secara otodidak. Ia menulis dalam bahasa Sunda dan terutama dalam bahasa Indonesia, tersebar di berbagai media cetak terbitan Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta. Buku antologi puisinya: Legiun Asing (1983), Dinamika Gerak (1987), Harendong (1993). Kini ia tinggal bersama keluarganya di Madiun, dan tulisan-tulisannya, terutama cerpen dan kolomnya, terus mengalir. Beberapa esainya dimasukkan ke dalam Inul (Bentang, 2003). Beni memilih menulis sebagai profesi tunggalnya.
http://www.horisononline.or.id/esai/tiga-cerpenis-jawa-timur

Leave a Reply

Bahasa »