Anindita S. Thayf
Minggu Pagi, IV/Feb/2018
Beberapa bulan lalu, seorang pengarang laki-laki kelahiran Jepang berkewarganegaraan Inggris, Kazuo Ishiguro, terpilih sebagai peraih penghargaan Nobel Sastra 2017. Sebagaimana biasa, kemenangan ini memicu banyak pertanyaan tentang seberapa hebat karya Ishiguro hingga mampu mengalahkan para pesaingnya. Namun, tidak ada satu pun yang melempar tanya, “Bagaimana seandainya Ishiguro seorang perempuan?” Meski tampak sepele dan seakan tidak berkaitan langsung dengan Nobel, pertanyaan ini penting sebab bisa membuka pandangan seputar posisi pengarang perempuan di atas panggung sastra dunia.
Dalam pernyataan yang dilansir oleh theatlantic.com, Ishiguro membeberkan proses kreatifnya sebagai pengarang. Ungkapnya, dia menulis mulai pukul 9 pagi hingga pukul 11 malam, setiap hari. Di sela-sela itu, dia beristirahat makan siang selama satu jam dan makan malam dua jam. Seandainya Ishiguro seorang perempuan, bisakah dia mempunyai jam kerja seperti ini?
Kita bisa memakai cara Virginia Woolf ketika membandingkan Shakespeare dengan Judith, adik perempuan imajinernya. Sebagaimana perempuan pada umumnya, seorang pengarang perempuan juga hidup dalam lanskap patriarkal. Dalam kondisi ini, dia tidak bebas dari beban tugas-tugas domestik yang sudah ditetapkan untuknya. Oleh karena itu, seorang pengarang perempuan juga tetap dituntut untuk menyelesaikan tetek-bengek urusan rumah tangga, mulai dari mengurus anak, melayani suami, memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, hingga memastikan semua anggota keluarga pulang ke rumah dengan selamat di ujung hari. Di antara deretan tugas domestik sebanyak itu, seorang pengarang perempuan mestilah pandai menyisihkan waktu demi bisa menulis.
Dalam esai a Room of One’s Own, Virginia Woolf memberikan satu solusi agar perempuan bisa menulis layaknya pengarang laki-laki, yaitu memiliki uang. Uang tersebut berguna untuk membeli ruang pribadi. Dengan uang, dia bisa menyewa asisten rumah tangga dan pengasuh anak. Dengan demikian, seorang pengarang perempuan tidak akan terbebani urusan domestik meskipun untuk lepas tanggung jawab sama sekali tentu tidak mungkin. Namun, setidaknya dia memiliki ruang pribadi yang cukup luas untuk menulis.
Bagi perempuan yang terlahir dari keluarga kaya atau menikahi laki-laki berpenghasilan tinggi, dia akan memiliki ruang menulisnya tanpa susah payah. Salah satu contoh adalah Jane Austen yang diberikan ruang pribadi khusus oleh keluarganya. Pun, Isabel Allende yang dikaruniai banyak uang sehingga bisa membeli ruang menulis sendiri. Dengan bantuan uang, seorang pengarang perempuan dapat memiliki kesempatan menulis dengan jam kerja serupa Ishiguro, tanpa takut diganggu oleh pakaian kotor, makanan yang perlu dimasak, dan rumah yang harus dibersihkan.
Tugas-tugas domestik bak rantai yang membatasi gerak perempuan. Akibatnya, kesempatan menulis bagi perempuan kian sempit, terutama yang berasal kelas pekerja. Ini bisa dipahami karena perempuan kelas pekerja kesulitan mendapat ruang pribadi sekaligus terlalu lelah untuk menulis. Selain tugas domestik, mereka juga harus bekerja untuk menambah penghasilan. Dengan segunung pekerjaan di luar menulis, adalah keajaiban bila muncul pengarang perempuan dari kelas pekerja. Ruang pribadi berharga sangat mahal bagi pengarang perempuan.
Pengarang Perempuan Dunia Ketiga
Dari 114 sastrawan yang memperoleh Nobel Sastra, 14 diantaranya adalah perempuan. Mereka antara lain Selma Ottilia Lovista Lagerlof, Grazia Deledda, Sigrid Undset, Pearl S. Buck, Gabriela Mistral, Nelly Sachs, Nadine Gordimer, Toni Morrison, Wislawa Szymborska, Elfriede Jelinek, Doris Lessing, Herta Muller, Alice Munro dan Svetlana Alexievich. Bila dicermati, mayoritas penerima Nobel Sastra adalah perempuan kulit putih berkewarganegaraan Eropa atau Amerika Serikat. Adapun sisanya berkebangsaan Afrika tapi berkulit putih (Nadine Gordimer) dan keturunan Afrika-Amerika tapi tinggal di Amerika Serikat (Toni Morrison).
Sejauh ini, belum ada pengarang perempuan kulit berwarna yang lahir dan berkebangsaan entah Amerika Latin, Afrika, atau Asia yang mendapatkan Nobel Sastra. Kenyataan tersebut memperlihatkan dominasi kulit putih ternyata belum bergeser sejak era kolonial. Dalam hal ini, Akademi Swedia masih melanggengkan dominasi Eropa dan Amerika Serikat terhadap negara-negara bekas jajahan.
Penghargaan sastra memang tidak pernah berada di ruang vakum. Kepentingan ideologi dan politik tetap berperan penting dalam menghasilkan keputusan akhir. Bila pengetahuan adalah sesuatu yang “tidak polos tetapi sangat terkait dengan operasi-operasi kekuasaan,” sebagaimana ujar Ania Loomba dalam Colonialism/Postcolonialism, maka penghargaan pun demikian. Ketiadaan pengarang-pengarang perempuan Dunia Ketiga dalam daftar peraih Nobel Sastra menunjukkan Akademi Swedia belum mendengar suara mereka. Barangkali juga, suara mereka tidak dianggap ada demi langgengnya operasi-operasi ideologi dan politik tertentu, misalnya, agar pengarang perempuan Dunia Ketiga tetap berada dalam bayang-bayang tuan bekas penjajahnya.
Tidak mudah menjadi pengarang perempuan yang lahir, tumbuh dan hidup di Dunia Ketiga. Nawal el Sadawi, umpamanya, sudah sering keluar-masuk penjara karena karya-karyanya dianggap subversif. Adapun novel karya Taslima Nasrin yang berjudul Lajja dilarang pemerintah Bangladesh. Lajja yang berisi kritik keras terhadap kondisi bangsanya divonis sebagai novel penista agama. Taslima masih menjadi eksil demi menghindari pihak-pihak yang hendak membunuhnya. Ada pula pengarang feminis asal Aljazair, Assia Djebar, yang melawan dominasi bahasa Prancis atas bahasa Aljazair lewat novelnya Fantasia. Suara-suara mereka cukup kencang, tetapi entah mengapa belum mampu membuat Akademi Swedia melihat mereka. Apakah karena mereka tidak berkulit putih dan tidak memiliki kewarganegaraan Eropa atau Amerika Serikat?
Maka, seandainya Ishiguro seorang perempuan Jepang yang tinggal di Jepang, dia akan menjadi perempuan pertama non kulit putih dari Dunia Ketiga yang memperoleh Nobel Sastra. Namun, Ishiguro seorang laki-laki Jepang yang tinggal di Inggris sehingga dengan serta merta bintang keberuntungannya bersinar lebih terang bahkan ketimbang milik “saudara laki-lakinya”, Haruki Murakami. Sebaliknya, kesempatan bagi pengarang perempuan dari Dunia Ketiga untuk memenangkan Nobel Sastra sangat kecil. Dibandingkan pengarang laki-laki yang gampang berharap meraih Nobel, pengarang perempuan Dunia Ketiga justru harus bersiap menunggu dalam waktu lama sambil diam-diam menyimpan harapan. Bahwa pada akhirnya nanti, semoga saja mereka tidak sedang menunggu Godot.***
*) Anindita S. Thayf lahir pada 5 April 1978 di Makassar. Menulis cerpen dan novel. Novelnya, Tanah Tabu (Gramedia Pustaka Utama, 2009), menjadi juara I lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2008, finalis Khatulistiwa Literary Award 2009, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Daughters of Papua (Dalang Publishing, San Francisco, 2014). Novel terbarunya “Ular Tangga” (GPU, 2018).
https://www.facebook.com/anindita.thayf/posts/10204540775277586