MASIH SEPUTAR PERKARA MUDIK DAN PULKAM

Maman S. Mahayana *

Kata mudik dan ungkapan pulang kampung, kini jadi polemik. Tiba-tiba bermunculan beberapa akademisi yang mengklaim diri sebagai pakar bahasa. Mereka coba menjelaskan kata dasar dan bentukan baru kata mudik, diikuti dengan keterangan yang dicomot dari kamus yang lalu ditafsirkannya sendiri. Problem besar yang melekat pada keterangan orang-orang yang merasa seolah-olah sebagai pakar bahasa itu adalah rujukannya yang cuma pada satu kamus, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring. Sementara KBBI, selain berfungsi sebagai kamus umum, juga tidak mengisyaratkan atau mencantumkan asal-usul kata tersebut. Dalam hal ini, Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) yang disusun Poerwadarminta, lebih sadar pada sejarah. Maka, sebagian besar entri dalam KUBI, diberi keterangan sumber atau asal katanya. Bagian itulah yang tak terdapat (:dihilangkan) dalam KBBI.

Problemnya menjadi lebih rumit ketika bertemu dengan ungkapan, yaitu gabungan dua kata atau lebih yang membentuk satu makna baru. Sekadar contoh, bagaimana kita menjelaskan makna ungkapan anak kolong? KBBI memberi dua makna atas ungkapan itu: (1) anak serdadu (yang lahir dan dibesarkan di tangsi pada zaman Hindia Belanda), dan (2) anak tentara.

Penjelasan (1) mengisyaratkan tempat (tangsi) yang membedakan anak serdadu yang lahir dan dibesarkan di tangsi—yang lalu disebut anak kolong, dengan anak serdadu yang lahir dan dibesarkan di luar tangsi (bukan anak kolong). Makna (2) selain memperluas makna (1), juga menghilangkan kekhususan (tangsi). Maka, semua anak tentara –yang lahir dan dibesarkan di dalam atau di luar tangsi disebut juga anak kolong. Belakangan, anak-anak anggota polisi—yang lahir dan dibesarkan di lingkungan asrama—juga disebut anak kolong. Pertanyaannya: mengapa disebut anak kolong?

Penyebutan anak kolong tidaklah lahir begitu saja. Ia berkaitan dengan situasi sosial zaman. Asrama (serdadu, tentara atau polisi) lazimnya dibangun berupa barak-barak, kamar-kamar berukuran kecil. Jika pun ada ruang tamu, ruang itu didesain terbuka, sehingga siapa pun bisa melihat apa isi ruang tamu itu; kursi, meja, dan rak kecil. Sementara dapur dan kamar mandi terletak di luar, sehingga disebut dapur umum atau kamar mandi umum. Bagaimana kaitannya dengan kata kolong?

Pada awalnya, sebutan anak kolong bersifat seloroh. Karena anggota serdadu, tentara atau polisi hanya menempati satu kamar dengan satu tempat tidur, maka ketika ia menikah dan beranak-pinak, anak-anak mereka terpaksa dipisah, tidak tidur di ranjang, tetapi di bawahnya. Kata kolong sebagai bentuk hiperbolisme di bawah ranjang. Maka, anak-anak itu disebutlah anak kolong. Ungkapan anak kolong itu kemudian mendapat legitimasi sosial, karena penghuni asrama dan masyarakat mengukuhkan pelabelan itu sebagai kosa kata bahasa mereka. Ungkapan anak kolong menjadi kosa kata bahasa yang terpakai dalam kehidupan sehari-har masyarakat. Dalam hal ini, tanpa pretensi seloroh, masyarakat menghidupkan ungkapan anak kolong sebagai kata dengan makna yang netral. Oleh karena itu, kita dapat memahami, mengapa KBBI tidak memberi penjelasan latar historis kemunculan kata itu, karena KBBI sifatnya sebagai kamus umum yang hanya mencantumkan sinonim atau makna leksikografis. Tidak lebih dari itu.

Pergeseran—perluasan atau penyempitan—makna sebuah kata dalam bahasa mana pun di dunia adalah keniscayaan. Kamus umum hampir tak mungkin menjelaskan perjalanan makna etimologisnya. Oleh karena itu, dalam kamus-kamus umum yang baik, selalu ada keterangan asal kata dalam setiap entrinya. Periksa saja, misalnya, Webster’s Dictionary. Dalam setiap entrinya, ada keterangan (singkatan) asal kata itu, seperti Gr. (German), Sp. (Spanyol), dan seterusnya. Dari situ sebenarnya kita dapat mengetahui riwayat sebuah kata dengan segala perluasan dan penyepitan maknanya. Entri pantun, misalnya, ada keterangan (Malay) yang berarti kata itu berasal dari bahasa Melayu.

Sekarang, mari kita kembali ke kata mudik dan ungkapan pulang kampung. Bagaimana asal-usulnya, sejarah pembentukannya, dan pergeseran maknanya? Mereka yang mengklaim pakar bahasa itu, tidak satu pun yang coba memberi penjelasan. Yang disentuh mereka hanyalah sinonimnya atau makna leksikografis. Akibatnya, keterangannya berputar-putar pada makna itu dan usaha mereka melakukan penafsiran atau keterangan sebagaimana yang tertulis dalam KBBI. Keterangan mereka tanpa argumen historis, tanpa penjelasan sosiologis.

Makna kata mudik dan pulang kampung hakikatnya sami-mawon alias sama saja. Meski tidak ada satu pun kata yang 100 % bersinonim, setidak-tidaknya, makna umum kata tertentu dapat dijadikan ukuran atau sandaran persamaan maknanya. Kata perempuan yang bersinonim dengan kata wanita atau laki-laki yang bersinonim dengan kata pria, misalnya. Meski bersinonim, tak 100 % maknanya sama. Oleh karena itu, ketika keduanya disandingkan dengan kata lain dalam struktur kalimat, akan lahir perbedaan nuansa makna masing-masing. Ketika seseorang melahirkan, misalnya, pertanyaan yang muncul untuk memastikan jenis kelamin si bayi, lazim disampaikan dengan kalimat tanya: “Bayinya laki-laki atau perempuan?” dan bukan, “Bayinya pria atau wanita?” Jadi, selain perkara makna kata itu sendiri yang dapat dirujuk pada kamus sebagai makna leksikografis, ada konvensi, kelaziman, dan keberterimaan makna yang disepakati bersama.

Kampung halaman sejak awalnya bermakna netral, yaitu desa atau daerah tempat kelahiran (KBBI, hlm. 498). Makna ungkapan kampung halaman masih cukup mudah ditelusuri pembentukannya. Kata kampung yang maknanya sebagai desa atau daerah tertentu mengisyaratkan sebuah wilayah yang berada di luar atau di dalam kota (bandar). Jika berada di luar kota, kampung sebagai wilayah nun jauh di sana, tetapi jika berada di dalam kota, kampung menjadi bagian kecil wilayah kota. Adapun makna kata halaman berhubungan dengan area yang berada di sekeliling rumah atau tempat tinggal. Jadi, kampung halaman berkaitan dengan tempat asal (kelahiran), tempat mukim (tinggal), dan tempat seseorang dibesarkan (rumah).

Demikian pemaknaan kampung halaman. Tetapi, Muhammad Yamin memberi beban makna yang lain bagi kampung halaman, yaitu sebagai tempat kelahiran, tanah tumpah darah. Makna ini diperluas lagi ketika Yamin menerjemahkan father land atau mother land bukan sebagai tanah asal-usul (ayah-ibu, nenek moyang), melainkan tanah tumpah darah, ibu pertiwi hingga tercipta pula kata Tanah Air bukan hanya sebagai kampung halaman tempat kelahiran, melainkan juga sebagai wilayah (tempat mukim bersama milik) sebuah bangsa. Dalam hal ini, sebagaimana yang dapat kita telusuri pada puisi-puisi Muhammad Yamin, Tanah Air dimaknai bukan lagi sebagai kampung halaman, melainkan sebagai tanah tumpah darah: Indonesia. Kampung halaman tetap berada dalam posisinya yang sempit sebagai desa tempat kelahiran.

Ketika terjadi tarik-menarik desa-kota, kampung halaman makin menyempit maknanya sebagai desa, tempat terpencil nun jauh di sana. Orang-orang yang lahir di kota(-kota) besar, tak menyebut tempat kelahirannya sebagai kampung halaman, melainkan tetap sebagai tempat kelahiran. Tambahan pula ada kecenderungan membebani makna kampung dengan konotasi negatif: terbelakang, tradisional, norak, dan udik. Munculnya kata kampungan sesungguhnya mengacu pada segala makna negatif itu.

Jika kampung halaman ditempatkan sebagai kata benda (nomina), maka mudik diposisikan sebagai kata kerja (verba). Mudik artinya pergi ke udik. Mudik secara etimologis bermakna: berlayar ke udik atau pergi ke hulu sungai. Dalam beberapa kamus, seperti Kamus Indonesia Ketjik, E St Harahap (1943), Maleis Woordenboek, Van Ronkel (1946), Logat Ketjil Bahasa Indonesia, Poerwadarminta (1948) yang dikembangkan menjadi Kamus Umum Bahasa Indonesia (I: 1953, IV: 1966), mudik dimaknai: berlayar atau pergi ke udik (ke hulu sungai).

Dalam Ensiklopedi Indonesia (Mulia dan Hidding, 1957), entri mudik tak terdapat di sana. Artinya, kata itu dianggap tak penting. Artinya lagi, mudik belum menjadi fenomena sosial. Sebelum tahun 1970-an, kata mudik belum dimaknai pulang ke kampung halaman. Pada tahun 1976 (Cet. V), Poerwadarminta menambahkan makna mudik (dari bahasa Betawi) sebagai pulang ke desa (ke dusun). Baru pada tahun 1976, mudik dikaitkan dengan pulang kampung (saat) Lebaran. Kamus-kamus lain yang terbit sesudah tahun 1976 memuat entri mudik dalam dua makna, lantaran merujuk pada kamus Poerwadarminta itu. Pertanyaannya: kapan mulanya mudik mengalami penyempitan makna menjadi pulang ke kampung halaman yang lalu berkaitan dengan Lebaran?
***

Ketika saya diminta membuat Kata Pengantar untuk kumpulan cerpen Puasa-Lebaran Kompas, berjudul Kurma (Penyunting, Kenedi Nurhan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002, xxvii + 107 halaman) yang memuat 11 cerpen karya sejumlah cerpenis terkemuka (Danarto, Senu Subawajid, Hamsad Rangkuti, Umar Kayam, Yanusa Nugroho, Yusrizal KW, Taufik Ikram Jamil, AA Navis, Jujur Prananto, dan Gus tf Sakai), saya coba melacak cerpen-cerpen lain sebelum itu yang bertema Lebaran (Lihat juga Maman S Mahayana, Bermain dengan Cerpen, Jakarta: Gramedia, 2006, hl. 116—130). Ternyata tema Lebaran dalam cerpen kita, cukup banyak—dan lebih banyak lagi dalam puisi. Dalam perkembangannya, ternyata lagi, Lebaran dimaknai secara berbeda menurut zamannya.

Suman Hs dalam Kasih tak Terlarai (Balai Pustaka, 1929), misalnya, menempatkan Lebaran sebagai momentum rekonsiliasi antara anak muda dan orang tua, meskipun di sana tidak ada acara halal bi halal dan maaf-memaafkan. Nur St Iskandar dalam cerpen “Karcis Lebaran ….” (Pandji Poestaka, 1 Januari 1935) menempatkan Lebaran sekadar latar waktu yang dalam cerpen itu tak punya makna khusus. Armijn Pane dalam cerpen “Jika Pohon Jati Berkembang” (Pandji Poestaka, No. 15, 1937; dimuat juga dalam Kisah Antara Manusia, Balai Pustaka, 1953; Pustaka Jaya, 1979) menyoroti Lebaran dari sisi yang lain lagi. Bagaimana orang-orang berkumpul dan terheran-heran mendengarkan gamelan dan khutbah solat Idul Fitri dari sebuah kotak ajaib yang bisa mengeluarkan suara. Kotak itu bernama radio.

Badrun dalam cerpen “Lebaran” (Pudjangga Baroe, No. 2, Juli 1949) bercerita tentang perjuangan pemuda Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Tokoh Syarif yang bertugas menjaga Ujungberung, Bandung dari serangan Belanda, bermaksud pulang kampung menemui ibunya di Ciamis. Tetapi, pada malam Lebaran, ia meninggal tertembak pasukan Belanda. Muhammad Dimyati dalam cerpen “Lebaran di Kampung” (Majalah Indonesia, 21 Juni 1952) menggambarkan Lebaran sebagai puncak kemenangan. Jika seseorang pulang kampung saat Lebaran, ia akan dianggap sebagai pahlawan perang, meski ia tidak membawa barang apa pun untuk dibagi-bagikan kepada sanak familinya.

Dari sejumlah cerpen itu, tidak ada satu pun kata mudik muncul di sana. Juga tidak ada kaitannya antara Lebaran dan pulang kampung. Lebaran dan pulang kampung—setidaknya dalam sejumlah cerpen itu— merupakan dua peristiwa yang tidak ada hubungannya. Bahkan, dalam cerpen “Ziarah,” Nasyah Djamin (Budaya, No. 3, Agustus 1954; dimuat juga dalam Korrie Layun Rampan (Ed.), Tokoh-Tokoh Cerita Pendek Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2005, hlm. 89—100), digambarkan sinisme tokoh aku yang berziarah ke makam ayahnya saat Lebaran. Baginya, sebagai orang yang menggelandang di Jakarta, berziarah ke makam ayahnya di kampung, sekadar menambah kegelapan masa depannya belaka. Beberapa kali disebutkan, bahwa Lebaran, pulang kampung, dan berziarah, tidak ada hubungannya. Orang bisa kapan saja pulang kampung atau berziarah. Tidak ada waktu yang istimewa. Dalam cerpen itu, tidak juga muncul kata mudik. Dari sekitar 20-an cerpen yang mengangkat tema Lebaran sejak 1929 sampai akhir dasawarsa 1960-an, tidak satu pun yang menyebut pulang kampung sebagai mudik. Artinya, kata mudik sebagai pulang ke kampung halaman, belum muncul. Jadi tentu saja belum lazim digunakan.
***

Munculnya kata mudik sejalan dengan terjadinya perubahan sosial di Jakarta, bukan di kota-kota besar lainnya, seperti Bandung, Surabaya, Medan, Denpasar, Makassar, dan seterusnya. Fenomena pulang kampung yang dikaitkan dengan Lebaran, terjadi pertengahan 1970-an ketika Jakarta tampil sebagai kota besar satu-satunya di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Di bawah Gubernur Ali Sadikin (1966—1977), Jakarta berhasil disulap menjadi kota metropolitan. Pembangunan Jakarta sebagai ibu kota negara membawa konsekuensi yang sangat kompleks. Penduduk di luar Jakarta berdatangan yang menempatkan warga Jakarta sebagai penduduk multi-etnik. Sementara penduduk yang mengklaim dirinya sebagai asli Jakarta—dengan identitas diri Betawi, tidak mungkin menolak kedatangan warga lain, karena para pendatang itu juga ikut terlibat dalam membangun dan membesarkan Jakarta.

Makin membanjirnya kedatangan warga di luar Jakarta, secara perlahan mendesak dan sekaligus memecahkan lingkungan komunal warga Betawi. Hampir tidak ada lagi pemukiman di wilayah di Jakarta yang didominasi masyarakat Betawi. Gang Kelinci di daerah Kota, sebagaimana yang dinyanyikan Lilies Suryani, tidak lagi menjadi kawasan orang Betawi, seperti juga Condet, Pasar Minggu, Kemayoran, Kebayoran Lama, dan seterusnya. Sama halnya juga dengan Pecinan, Kampung Bali atau Kampung Ambon—sekadar menyebut beberapa, sebagian besar tidak lagi dihuni kelompok etnik tertentu. Terjadi diaspora dan percampuran etnik yang belakangan juga memunculkan klaim sebagai warga Jakarta. Soekarno M. Noor, ayah Rano Karno—si Doel Anak Betawi, misalnya, leluhurnya asal Tebing Tinggi, Sumatra Utara, tetapi kemudian diterima sebagai bagian dari warga Betawi, seperti juga yang terjadi pada SM Ardan (kelahiran Medan). Tentu saja orang-orang seperti mereka bertebaran di pelosok Jakarta ini.

Meskipun demikian, pergeseran wilayah mukim warga Betawi sendiri masih berada seputar Jakarta. Itulah sebabnya, warga Betawi, ketika Lebaran, tak perlu meninggalkan Jakarta lantaran babeh-nyak, ncang, engkong, encing, dan seterusnya, berada di seputar Jakarta. Kondisinya berbeda dengan yang dihadapi para pendatang yang masih punya kerabat yang tinggal di luar Jakarta. Para pendatang dengan latar belakang kultur etniknya masing-masing, tidak dapat serta merta meninggalkan tradisi leluhurnya. Sebagian besar merasa masih punya akar budaya, tanah leluhur, dan kerabat keluarga yang tinggal di luar Jakarta. Mereka mesti menyiapkan segala sesuatu untuk sebuah perjalanan ke tanah leluhur, ke kampung halaman. Dari situlah muncul eufemisme orang Betawi kepada warga pendatang yang akan menjenguk kerabat keluarganya di kampung halaman. Mereka disebut orang udik yang akan pulang kampung; pergi ke udik. Dari situlah muncul kata kerja (verba) mudik!

Di tanah leluhurnya, di kampung halaman mereka, para pemudik ini juga seperti merasa punya kesempatan untuk menunjukkan dirinya sebagai warga Jakarta, sebagai orang kota yang (tanda-tandanya) berhasil. Lantaran dikaitkan dengan momentum Lebaran, jadilah aktivitas mudik seolah dilatarbelakangi oleh tradisi budaya. Padahal latar belakang proses terjadinya peristiwa mudik itu lebih disebabkan faktor fenomena sosial, bukan kultural. Maka, pergeseran makna mudik yang awalnya dibebani makna negatif, lambat laun mulai netral, bahkan positif ketika dikaitkan dengan konsep silaturahmi dan ziarah dalam kemasan Islam.
***

Kini pemerintah mengimbau pelarangan mudik sebagai upaya memutus tali rantai penyebaran virus Corona. Sebuah tindakan yang tepat! Warga Jakarta dan warga kota-kota besar lainnya di Indonesia sepatutnya memperhatikan imbauan itu. Tetapi langkah itu menjadi kontra produktif ketika pemerintah membolehkan orang pulang kampung. Penjelasan tentang perbedaan mudik—saat lebaran, dan pulang kampung—kapan saja, menempatkan imbauan itu dalam posisi abu-abu, setengah hati, gamang, bahkan terkesan plintat-plintut alias mencla-mencle.

Dalam menghadapi pagebluk luar biasa ini, pemerintah mesti juga bertindak luar biasa. Melarang tegas mudik atau pulang kampung (untuk sementara) dengan alasan apa pun, sampai wabah virus diyakini tak bakal lagi menyebar! Tanpa ketegasan, kesan mencla-mencle itu tetaplah akan menggerakkan publik dunia maya melahirkan kreativitas beragam meme. Jika tindakan itu dianggap kenyinyiran, sesungguhnya ia sekadar reaksi biasa sebagai bentuk kepedulian. Bukankah asap tidak mungkin ada, jika tak ada api. Maka, reaksi itu perlu ditafsirkan lebih positif sebagai harapan besar kepada pemerintah agar sekali-kali memperlihatkan ketegasannya, tanpa kompromi, dan tak perlu mencla-mencle lagi!

DAFTAR CERPEN YANG BERTEMA LEBARAN (1929—1965)

1. Pa’ Boejoeng, “Lebaran yang Sial,” Pandji Poestaka, No. 7, 1929.
2. Petroek, “Lebaran di Tahun 2000,” Pandji Poestaka, No. 9, 1931.
3. Aman Dt. Madjoindo, “Lebaran di Sanatorium Cisarua,” Pandji Poestaka, No. 11, 1933.
4. Armijn Pane, “Jika Pohon Jati Berkembang,” Pandji Poestaka, No. 15, 1937.
5. Nur St Iskandar, “Karcis Lebaran ….” Pandji Poestaka, 1 Januari 1935.
6. Badrun, “Lebaran,” Pudjangga Baroe, No. 2, Juli 1949.
7. Iman’s, “Hari Raya di Ibu Kota,” Waktu, No. 3, 1949.
8. Marsan, “Lebaran ’46,” Majalah Nasional, No. 1, 1950.
9. Marsan, “Sebelas Lebaran,” Majalah Nasional, No. 2, 1951.
10. Pramoedya Ananta Toer, “Idulfitri Mendapat Ilham,” Indonesia, No. 2, 1951.
11. M. Hasanuddin, “Lebaran,” Mimbar Indonesia, No. 5, 1951.
12. Muhammad Dimyati, “Lebaran di Kampung,” Majalah Indonesia, 21 Juni 1952.
13. Nasyah Djamin, “Ziarah,” Budaya, No. 3, Agustus 1954.
14. Ismail Anwar, “Lebaran,” Duta Suasana, No. 4, 1955.
15. M.Z. Saharman, “Lebaran yang Berdarah,” Duta Suasana, No. 4, 1955.
16. Hijaz Yamani, “Lebaran Tinggal Sehari,” Indonesia, 1958.
17. IS Ali, “Hari Raya yang Sial,” Varia, No. 2, 1959.
18. G.H. Rhama, “Idul Fitri dan Kebaktian,” Liberty, No. 7, 1959.
19. Tjia Koen Hwa, “Lebaran,” Pantjawarna, Nomor 12, 1960.
20. N.E. Djakaria, “Lebaran di Surga,” Minggu Pagi, No. 16, 1964.
21. M. Rustandi Kartakusuma, “Lebaran,” Minggu Pagi, No. 17, 1965
***

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).

Link terkait: http://sastra-indonesia.com/2020/04/akar-sosiologis-mudik-lebaran/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *