Tiga Catatan Ibnu Wahyudi mengenang Sapardi Djoko Damono


DARI PUISI KE LUKISAN

Hasrat mengubah bentuk karya seni, dari satu karya ke karya lain, merupakan keniscayaan. Munculnya istilah musikalisasi puisi, ekranisasi, novelisasi, dan lain sebagainya, menunjukkan adanya aktivitas tersebut. Realitas demikian, sudah berlangsung lama.

Hasil dari pengubahan bentuk seni tersebut tentu bermacam-macam. Efeknya juga menghadirkan dua kemungkinan, yaitu menggembirakan seniman aslinya atau sebaliknya, mengecewakan. Tidak sedikit sastrawan yang kecewa dengan penglayarlebaran atas novelnya, misalnya. Bahkan ada yang sampai tidak mengizinkan namanya dicantumkan sebagai penulis asli; saking kecewanya.

Puisi karya Sapardi Djoko Damono termasuk yang laris dimusikalisasi. Jika kita cermat mengikuti dinamika musikalisasi puisi, lebih dari satu puisi Sapardi yang dimusikalisasi oleh beberapa orang atau grup secara berbeda. Puisi “Aku Ingin” misalnya, selain dinyanyikan oleh Ari dan Reda, juga dinyanyikan grup vokal lain dengan komposisi berbeda.

Sapardi, dalam konteks ini dan sepanjang pengetahuan saya, tidak pernah memberi kesan kecewa. Yang sering dikemukakan justru nuansa apresiasi. “Puisi saya dibaca orang saja, saya sudah senang kok, apalagi dimusikalisasi. Artinya mereka membaca, kan?” ujarnya suatu ketika.

Sudah lama saya mengerti sikapnya yang seperti ini. Namun, ketika tahun 1997 saya membuat lukisan yang saya transformasi dari puisinya “Sehabis Suara Gemuruh”, tetap terlintas juga kekhawatiran. Maka ketika beliau berkenan membuka pameran lukisan saya pada tahun 1997, saya beranikan bertanya.

“Gimana, Pak?”
“Sing endi?”
“Itu lho,” kata saya sambil menunjuk lukisan sosok yang tengah tidur.
“Apik, kok.”

Alhamdulillah. Lega juga. Dan akhirnya saya paham sikapnya yang cenderung memberi apresiasi seperti itu lantaran baginya, transformasi bentuk atau alih wahana dalam kesenian itu adalah hal yang sangat mungkin mengada. Buku karyanya berjudul “Alih Wahana” paling tidak merepresentasikan sikap positifnya itu.

Dalam pandangan Firman Venayaksa, hal yang wajar jika Sapardi melahirkan buku seperti itu. Melalui jaringminar yang dilakukan bersama teman-teman pascasarjana kesusastraan UI Angkatan 2003 tadi malam (25 Juli 2020), Firman menyatakan kalau diri Sapardi sendiri ibaratnya adalah gambaran alih wahana itu. “Lewat buku itu, Sapardi hakikatnya menulis dirinya sendiri.***

26 Juli 2020

POLISI DAN PUISI

Tahun 1986 akhir, Pak Sapardi tengah sibuk berkutat menyelesaikan disertasi. Di bawah bimbingan Prof. Harsja W. Bachtiar, Pak Sapardi menelaah novel Jawa tahun 1950-an. Kelak, disertasi Pak Sapardi itu diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dengan judul Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1993) dan diterbitkan ulang oleh Bentang Budaya pada tahun 2000 dengan judul Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an.

Mengingat korpus penelitiannya adalah novel Jawa, Pak Sapardi perlu melakukan pengumpulan data ke beberapa tempat. Pernah aku diajak ke Jogja untuk menemui beberapa tokoh yang banyak bersinggungan dengan novel Jawa. Itulah untuk pertama kali dan sekali-kalinya aku menginap di rumah orangtua Pak Sapardi di Solo. Pada saat itu ibunda Pak Sapardi masih ada, tinggal dengan ditemani keluarga adik laki-laki Pak Sapardi. Pak Sapardi hanya dua bersaudara.

Di Jakarta, pengumpulan atau konfirmasi data juga dilakukan. Untuk kepentingan itu, usai asar pada tahun 1986 tersebut, aku diajak ke rumah Soebagio I.N., penulis buku Jagat Wartawan Indonesia yang juga sering dijuluki sebagai “kamus berjalan”. Jurnalis senior LKBN Antara ini menurut Pak Sapardi sangat luas wawasannya sehingga perlu dimanfaatkan pengetahuannya.

Kami berangkat dari kampus FSUI Rawamangun sekitar pukul 16.00. Karena Pak Sapardi menyetir sendiri Mitsubishi Jetstar-nya dan pada waktu itu tampak belum terampil, Pak Sapardi mengajak berangkat lebih awal supaya bisa sampai di daerah Bendungan Hilir sekitar magrib.

Setelah mencari dan beberapa kali salah jalan, akhirnya sampai juga kami di rumah Pak Soebagio. Selama Pak Sapardi dan Pak Soebagio berbincang di dalam, aku menunggu di teras. Sekitar pukul 20.00, perbincangan selesai dan kami pamit.

Seperti halnya waktu mencari rumah Pak Soebagio, ketika pulang pun bukan perkara mudah untuk mencapai Slipi, kalau tidak salah. Kami sama-sama buta daerah seputaran Tanah Abang. Dan benar saja, Pak Sapardi mengambil jalan yang tidak seharusnya.

Ketika tiba-tiba tampak polisi menyetop kami, Pak Sapardi sempat bergumam, “Salah ya, kita?” Kegugupan tampak pada wajah Pak Sapardi dan terlebih aku. Aku sangat merasa bersalah dan malu sebab tidak mampu menunjukkan jalan yang benar.

SIM pun diangsurkan Pak Sapardi ketika diminta. Namun, sejenak kemudian, wajah polisi yang tadinya kurang bersahabat seketika itu berubah. Sambil agak menunduk, polisi itu berujar.

“Bapak, Pak Sapardi yang penyair itu, ya?”
“Ya, betul. Maaf, saya kurang paham jalan sini.”
“Iya, Pak. Bapak harusnya ambil jalur itu, bukan ini. Mari Pak, saya pandu berputar di depan. Ini SIM-nya. Hati-hati ya, Pak. Saya penyuka puisi Bapak.”
***

26 Juli 2020

EMPU

Niniek L. Karim, ketika memberikan testimoni mengenai Sapardi Djoko Damono dalam acara bertajuk “Tanda Kasih untuk Prof. Sapardi Djoko Damono” yang diprakarsai oleh Dewan Guru Besar UI sore ini (25 Juli 2020, 15.30-17.15) menyatakan bahwa Sapardi layak disebut empu. Julukan ini mengamini pendapat Seno Gumira Ajidarma, menurut Niniek, yang mengafirmasi pemikiran pemuisi yang sering mampu menyatakan sesuatu yang belum terjadi.

Kisah ini berkenaan dengan tsunami Aceh, Desember 2004. Ketika itu, dalam kedukaan menghadapi musibah dahsyat itu, oleh salah sebuah stasiun televisi, Niniek diminta membaca puisi berkenaan dengan peristiwa memiriskan itu. Niniek dalam waktu sangat mepet, meminta dan mengharap Sapardi Djoko Damono memberi puisi yang akan dibacakannya. Karena tidak punya puisi khusus mengenai hal itu, menurut Niniek, Sapardi menjanjikan segera akan membuatkan puisi.

Benar saja, esoknya puisi yang konon beberapa lembar itu, dikirim Sapardi melalui warnet. Ketika puisi sudah di tangan Niniek, ada bagian yang agak ganjil menurut Niniek, karena ada baris yang kira-kira menyatakan bahwa air bah seperti tembok dan mayat-mayat terbakar. Niniek agak heran mengenai hal ini.

Ternyata benar. Usai tsunami terbukti bahwa banyak korban yang seperti terbakar, yang menurut Niniek, akibat dari belerang atau zat yang seolah membakar, terbawa oleh tsunami. Kemampuan menjangkau peristiwa yang belum terjadi inilah yang dinyatakan oleh Seno dan diiyakan oleh Niniek menyebabkan istilah “empu” layak disematkan kepada Sapardi.

Sesungguhnya, seorang pujangga atau pemuisi yang baik, diberi bakat seperti ini. Tentu saja, imajinasi yang mendorong suatu karya cipta, sering memang tidak terduga dan terkadang sangat liarnya. Namun tidak berarti juga bahwa semua puisi, dalam hal ini, lantas dapat dikatakan sebagai bernuansa ramalan.

Hanya saja, berkenaan dengan puisi Sapardi, bagi saya, “Hujan Bulan Juni” hakikatnya mempunyai dimensi kecenayangan ini. Judul dan kandungan sajak ini, mempunyai makna yang dalam jika Juni tetap merupakan bulan yang kering atau berada di musim kemarau.

Pada musim kemarau beberapa puluh tahun lalu, bulan Juni (juga Mei dan Juli) merupakan bulan ketika air sulit didapatkan di mana-mana dan hujan seperti memusuhi manusia. Maka muncullah larik yang berbunyi “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni” karena ia tidak boleh turun dulu. Padahal hujan sangat mungkin ingin turun menjumpai daun, tanah, dan manusia pada umumnya. Oleh situasi yang demikian maka “ketabahan” menjadi semacam kunci.

Akan tetapi, akibat anomali cuaca, bulan Juni beberapa tahun belakangan ini lalu benar-benar diguyur hujan sehingga “ketabahan” itu tidak lagi menjadi terasa. Dalam kaitan dengan kecenayangan, dapat dinyatakan di sini bahwa sebatas “hujan di bulan Juni” saat ini, bukan lagi merupakan kemustahilan. Kenyataan ini seperti menegaskan keempuan yang disebut Niniek L. Karim.

25 Juli 2020.

______________________
Ibnu Wahyudi, sastrawan kelahiran Ampel, Boyolali, Jawa Tengah 24 Juni 1958. Mengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (d/h Fakultas Sastra) Universitas Indonesia (UI), selain itu menjadi pengajar-tamu di Jakarta International Korean School (sejak 2001), di Prasetiya Mulya Business School (sejak 2005), di Universitas Multimedia Nusantara (sejak 2009), dan di SIM University Singapura. Pendidikan S1 di bidang Sastra Indonesia Modern diselesaikan di Fakultas Sastra UI (1984). Tahun 1991-1993, mengikuti kuliah di Center for Comparative Literature and Cultural Studies, Monash University, Melbourne, Australia dan peroleh gelar MA, serta menempuh pendidikan doktor (Ilmu Susastra) di Program Pascasarjana UI. Tahun 1997-2000, menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *