Sunu Wasono
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (18)
Kalau saja Lik Mukidi tak merecoki, cerita “Lenga Tala” ini sudah awak selesaikan kemarin. Coba sampeyan pikir, lagi asyik-asyiknya menulis, dia bilang bahwa dirinya sudah tahu akhir ceritanya. “Tak seru dan tak lucu. Akhirnya cuma begitu saja. Kalau tahu cuma begitu, aku tak mau baca dari awal. Aku pikir ada kejutan. Gak tahunya…huh. Rugi.”
Demikian antara lain komentar Lik Mukidi ketika awak sedang menulis kelanjutan cerita ini. Seperti biasa, dia panjang lebar bicara tentang napas tulisan. Katanya napas tulisan lebih panjang daripada napas penulisnya kalau tulisan itu bagus. Penulis boleh mati, tapi tulisannya tetap hidup sepanjang masa. “Untuk mencapai tulisan macam itu tak cukup seorang penulis hanya mengandalkan bakat alam. Penulis harus senantiasa mengasah kepekaan dan intelektualitasnya,” tegas Lik Mukidi.
Dalam menjelaskan, Lik Mukidi berkali-kali menyebut artikel Subagio Sastrowardoyo, “Bakat Alam dan Intelektualisme.” Kata Lik Mukidi percuma saja kalau penulis hanya asal menulis. “Tulisan harus punya ruh. Punya energi dan spirit yang sanggup menggugah perasaan pembacanya. Kalau tidak punya semua itu boleh dibilang tak ada artinya. Kalau yang kauhasilkan itu tak ada “dulce et utile-nya”, tak punya arti, tak punya makna, tak punya guna, tak mencerahkan, tak membuat pembaca terhibur, tak membuat pembaca mengalami semacam katarsis pada dirinya, dan tak membuat pembaca sadar akan harkatnya untuk apa kaukerjakan. Mending kau menggosok akik atau mengeruk lumpur di got. Keruan saja kau berkeringat sehingga perutmu yang nyempluk atawa membuncit macam perut Semar karena kebanyakan gajih itu bisa kempes. Perut kok sebesar itu. Tak terbayang bagaimana saat kau memberi nafkah batin istrimu. Mau pakai gaya bercinta macam mana. Gaya kethek mangku, tak mungkin. Gaya Bima manggul gada, apalagi. Gaya memintal tambang macam ular talipicis saat gancet (bercinta), jauh. Gaya nungging atau mithing, tangeh lamun. Sekadar ambil posisi 69 yang memungkinkan masing-masing bisa terpagut dan memagut wilayah atau organ tubuh yang paling angker pun rasanya susah. Pasti terganjal gunung di perutmu itu. Ha ha ha ha. Wis, maju tatu mundur ajur,” ujar Lik Mukidi.
Coba sampeyan pikir, apa tak sadis komentarnya. Kata orang Jawa, khususnya orang Eromoko, Wonogiri sana, komentar Lik Mukidi itu mandhes dan nylekit. Mungkin salah awak juga. Awak lalai. Ketika dia datang, tak buru-buru awak sediakan “sajen” macam kopi dan rondo royal–sekurang-kurangnya–buat dia. Begitulah akibatnya. Kebetulan bini awak juga lagi sibuk melayani tukang yang baru datang untuk membuat ruang buku, semacam perpustakaan kecil buat keluarga sendiri. Saat dia datang, pernyataan pertama yang dia lontarkan menyinggung kopi. Dia cuma bilang begini, “Sejak kapan ya masyarakat perkopian Nusantara itu dibentuk?”
Jelas dia tidak sedang bertanya meski secara lahiriah apa yang dia ucapkan itu kalimat tanya. Dengan mengatakan begitu, secara semiotis sebetulnya dia sedang minta dibikinkan kopi. Lebih tegas lagi, dia sedang memerintahkan awak untuk menyeduh kopi–apa pun jenis kopinya: kopi sasetan, gilingan, luwak atau nonluwak–buat dia. Awak paham itu. Hanya karena awak lagi asyik menulis, bini awak lagi melayani tukang yang akan mulai bekerja, dia seperti dicueki alias kurang teperhatikan. Akibatnya panjang.
Untunglah akhirnya masalah itu tak berlarut-larut. Tak usah tanya dengan apa aksinya dihentikan. Semua bisa diatur, seperti kata mantan Wakil Presiden Adam Malik dulu, di zaman Pak Harto berkuasa dulu. Sampeyan pasti tahulah. Kebetulan di rumah awak masih ada persediaan pisang tanduk dan singkong apui. Awak rebus singkong dan pisang itu, lalu awak hidangkan bersama seteko kopi. Awak sediakan juga sebuah kipas angin untuk ngadem agar tak kepanasan. Maklum di rumah tak ada AC. Wong ndeso macam awak mana mungkin pakai AC. Bisa-bisa masuk angin terus. Dia langsung sibuk dengan hidangan itu. Tak sampai setengah jam ruhnya sudah di alam mimpi. Lumayan keras dengkurnya. Awak pun menyingkir dan mulai menulis lanjutan cerita sebelumnya. Inilah hasilnya. Selamat membaca.
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (19)
Prabu Kerpaya buru-buru ingin mendengarkan cerita putrinya, Kerpi. Dimintanya Kerpi lebih mendekat agar dirinya dapat mendengar dengan baik. “Ayo Kerpi. Kamu mau cerita apa. Katakan agar Ayah tahu keinginanmu,” perintahnya.
“Sebelumnya aku minta maaf, Ayah. Apa yang akan aku ceritakan ini betul-betul aku alami. Aku tidak bermaksud mengada-ada. Aku tidak bermaksud berbohong.”
“Katakan apa adanya. Ayah ingin mendengar. Apa yang sedang terjadi. Kalau ada yang mengganggumu, sebutkan siapa namanya. Akan kubuat perhitungan.”
“Ayah, tak ada yang menggangguku. Aku cuma mimpi,” ujar Kerpi.
“Ayah kira ada sesuatu yang penting. Cuma mimpi. Semua orang tahu bahwa mimpi itu cuma kembangnya orang tidur,” Prabu Kerpaya menimpali. “Kupikir kamu mau cerita tentang laki-laki yang kautaksir atau menaksirmu.”
“Ceritaku belum selesai, Ayah.”
“Baik. Lanjutkan. Cuma sebelum melanjutkan, dengarkan baik-baik bahwa mimpi itu bermacam-macam. Ada jenisnya. Mimpimu mimpi yang mana: kacakrabawa, kasudarsana, kawasita, atau kadarakasih. Kamu mimpi apa. Ayo cepat katakan.”
“Aku bertemu laki-laki ganteng yang menggendong anak.”
“Lalu…”
“Ia ganteng sekali.”
“Tadi sudah kaubilang. Lainnya…”
“Dia menggendong anak.”
Sampai di situ Kerpi diam. Prabu Kerpaya menahan napas. Kerpa, adiknya Kerpi, gelisah. Hawa di istana mendadak panas. Dua ekor cicak di dinding berkejaran. Tampaknya mereka sedang berolah asmara.
Terdengar isak tangis Kerpi.
“Kerpi,” ujar Prabu Kerpaya. “Kenapa kamu menangis? Apa mimpimu hanya sampai di situ, lalu kamu bangun?” Usut Prabu Kerpaya.
“Tiii ttidak, Ayah.”
“Terus bagaimana kelanjutannya? Kamu sempat bicara tidak sama dia. Kamu tak bertanya siapa namanya, Kerpi. Ayo ceritakan. Jangan membuat ayahmu penasaran.”
Kerpi menarik napas sejenak. Angin kemarau bertiup membelai wajah Kerpi. “Ayah, dia ksatria yang ganteng.” Sampai di situ Kerpi tak sanggup melanjutkan ceritanya. Bibirnya yang ranum dan semerah buah tomat itu bergetar.
“Katakan bagaimana setelah itu, Kerpi. Kamu mimpinya kapan. Tengah malam atau menjelang pagi.”
Kali ini Kerpi punya kekuatan untuk mengatakan apa yang dirasakan. “Mimpiku menjelang pagi, Ayah. Aduh Ayah, aku gak kuat. Aku jatuh cinta padanya. Nikahkan aku dengannya, Ayah. Kalau aku tak menikah dengan dia, lebih baik aku mati saja.”
Prabu Kerpaya lega sekaligus cemas. Lega karena putrinya sudah mulai tertarik pada laki-laki. Cemas karena dia tak yakin bisa memenuhi permintaan anaknya. “Ke mana aku harus mencari laki-laki yang hadir dalam mimpi Kerpi,” gumamnya. Meskipun begitu, di hadapan putrinya ia tak boleh menunjukkan kesan pesimis.
“Jagat dewa batara. Sekalinya ingin kawin kamu ngebet sekali. Mudah-mudahan mimpimu mimpi kadarakasih. Mimpi yang akan menjadi kenyataan, anakku.”
Belum sempat ucapan Prabu Kerpaya diaminkan putra-putrinya, mendadak seorang prajurit tanpa dipanggil menghadap raja. Dia melaporkan bahwa ada seorang laki-laki melakukan aksi pepe di alun-alun. Dia menggendong bayi yang terus menangis saja. Tanggap terhadap laporan prajuritnya, Prabu Kerpaya memerintahkan agar laki-laki tersebut dihadapkan kepadanya.
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (20)
Begitu kakinya menapak di sitihinggil, Bambang Kumbayana langsung disambut Prabu Kerpaya. Aneh bin ajaib, Haswatama yang semula menangis langsung diam. Kerpi tak sanggup menyembunyikan kegembiraannya. Mendung di wajahnya lenyap seketika. Semula matanya basah, tapi lama-kelamaan berubah menjadi berbinar-binar. Akhirnya kesampaian juga keinginanku, batinnya. Ia yakin bahwa laki-laki yang baru saja datang adalah jodohnya.
“Ayah, inilah laki-laki tampan yang hadir dalam mimpiku,” ujar Kerpi. “Kalau aku gagal menikah dengannya, lebih baik aku mati saja.”
“Sebentar. Sebentar. Sabar, Kerpi. Jangan begitu. Boleh cinta, tapi jangan agresif begitu. Jaga martabat. Ngono ya ngono ning aja ngono,” tegur Prabu Kerpaya. “Aku mesti tanyakan dulu siapa dia dan apa yang ingin dia sampaikan.”
Bambang Kumbayana belum sepatah kata pun berbicara karena belum diberi kesempatan.
“Ki Sanak, siapa namamu. Dari mana asalmu. Apa yang kamu inginkan,” tanya Prabu Kerpaya.
“Hamba Bambang Kumbayana, putra raja Atas Angin. Hamba menghadap Sinuhun tak lain ingin menyampaikan permohonan.”
“Katakan apa permohonanmu. Ceritakan juga bagaimana kamu sampai di sini. Untuk apa pula kamu pepe. Apa sebenarnya yang kauinginkan. Katakan sejujurnya sebelum aku menjatuhkan hukuman kepadamu.”
“Ayah, kenapa Ayah ingin menjatuhkan hukuman kepadanya. Apa salah dia. Kalau begitu, Ayah tidak sayang pada Kerpi. Aku pamit, Ayah,” Kerpi mau berdiri tapi ditahan Prabu Kerpaya.
“Kamu mau ke mana?”
“Ke laut!” jawab Kerpi singkat
“O, mau melihat laut pasang ya.”
“Ah, Ayah begitu. Masa orang gak salah akan dihukum. Aku gak terima.”
“Diam dulu. Tenang saja kamu. Lihat nanti hasilnya. Percayalah sama ayahmu.”
Kepada Bambang Kumbayana, “Ceritakan, Wong Bagus.”
Diceritakan oleh Bambang Kumbayana ihwal dirinya sejak kepergiannya dari Atas Angin hingga pertemuannya dengan Dewi Wilutama yang membuahkan seorang putra yang diberinya nama Haswatama. Prabu Kerpaya mendengarkan cerita Bambang Kumbayana dengan antusias dan saksama.
“Dari ceritamu yang panjang sekalib tadi, aku menyimpulkan bahwa kamu datang ke sini ingin mencari perempuan yang bersedia kamu nikahi dan mau menerima kamu sebagaimana adanya. Apa betul kesimpulanku, Wong Bagus,” ujar Prabu Kerpaya.
“Benar, Paduka,” jawab Bambang Kumbayana singkat.
“Ini anakku. Namanya Kerpi,” sambil menunjuk Kerpi. “Coba kamu salaman dulu.”
Bambang Kumbayana mengulurkan tangannya ke arah Kerpi yang oleh Kerpi langsung disambut dengan hangat. Tak sekadar itu. Kerpi merangkul Bambang Kumbayana. Lalu mengambil Haswatama dan menggendongnya. Haswatama langsung lengket di tubuh Kerpi. Ia kelihatan nyaman dan bahagia.
“Hei Kerpi, Bambang Kumbayana, apa aku perlu menanyakan kalian, maukah kalian berjodoh. Bagiku, semuanya sudah jelas. Kerpi sekian lama dingin terhadap laki-laki. Berapa ratus pemuda yang melamarnya harus pulang dengan tangan kosong. Semua ditampik. Sekali terbuka hatinya justru lewat mimpi. Dalam mimpinya bertemu dengan seorang laki-laki yang menggendong anak. Laki-laki itu adalah kamu, Bambang Kumbayana. Apa lagi yang mau kita bicarakan. Kalian kunikahkan. Bagaimana, setuju?”
Kerpi langsung menyambar, “Menang itu yang aku inginkan, Ayah.”
“Bagaimana dengan Bambang Kumbayana?”
“Hamba setuju dan berterima kasih telah menolong kami,” kata Bambang Kumbayana sambil menyembah Prabu Kerpaya.
“Lega rasanya hatiku,” ujar Kerpaya. “Kalian sekarang bersiap-siaplah. Istana ini akan ramai. Rakyat berhak bahagia atas perkawinan kalian. Di alun-alun mereka akan aku jamu.”
Prabu Kerpaya segera memerintahkan staf istana untuk mengurus perkawinan Bambang Kumbayana-Kerpi. Sebuah kamar khusus telah disediakan untuk kedua mempelai. Keluarga besar raja sangat berbahagia dengan perkawinan itu. Pesta pun diselenggarakan siang itu juga. Di alun-alun diadakan aneka pertunjukan seni sampai sore dilanjutkan makan-makan.
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (21)
Ada saatnya orang berhenti sejenak, tak menulis terus sampai lupa segala-galanya: lupa kalau punya bini, lupa makan, lupa tidur, lupa olahraga, dan lupa-lupa. lainnya. “Rajin” menulis itu baik, tapi kalau terlalu rajin juga tak baik. Dulu ada istilah kritik kerajinan tangan. Kalau tak salah istilah itu dilontarkan untuk menanggapi (mengejek) kritikus yang sangat produktif, tapi mengabaikan kualitas. Awak lupa siapa yang melontarkan istilah itu. Kalau tak salah, Budi Darma. Menulis cerita pun seharusnya juga mempertimbangkan kualitas. Idealnya, seorang penulis tak asal menulis. Dengan bilang begitu bukan berarti awak ingin mengatakan bahwa tulisan awak sudah berkualitas. Awak hanya ingin bilang bahwa perlu bagi penulis untuk tak buru-buru melanjutkan tulisannya kalau belum siap. Terus terang, sekarang awak belum bisa melanjutkan. Apa sebabnya? Tak usah awak katakan sampeyan pasti sudah tahulah. Siapa sih yang sering minta disediakan kopi dan rondo royal kalau ia bertandang ke rumah awak? Dialah yang membuat awak harus menunda lanjutan cerita “Lenga Tala”. Nanti awak jelaskan perkaranya. Sekarang awak selingi dulu dengan puisi–kalau ini bisa disebut puisi. Silakan baca.
KEPERGIANNYA
Tak perlu kauratapi kepergiannya sebab pada saatnya dia akan kembali. Kau akan dibuat kuyub dan basah dalam gelora rindunya.
Kau tak perlu meronta atau menepisnya ketika puncak rindu itu ditumpahkannya. Jadilah anak yang merasa nyaman dalam pelukan ibunya tanpa bertanya untuk apa. Jadilah pasir yang dengan ikhlas dihempas dan dibilas kembali oleh ombak samudra.
Bila petang ini yang kaudapati hanya debu yang memedihkan matamu, anggaplah itu bagian dari ritual yang harus kaujalani sebelum pada akhirnya dia datang untuk memelukmu.
Ada saatnya kau terpanggang di atas geladak perahu oleng, tapi percayalah di saat lain kau pun akan menjumpai telaga bening yang membasuh luka-lukamu.
Di atas telaga itu kau pun akan berlayar dengan bidukmu. Alun dan semilir angin akan setia menemanimu, bahkan sampai kau menembus alam mimpimu.