LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (22-33)

Sunu Wasono

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (22)

Sebelum awak melanjutkan cerita “Lenga Tala” awak sampaikan dulu sedikit catatan. Sejujurnya awak lagi menghadapi satu masalah yang lumayan bikin awak pusing. Apa masalah itu? Buku! Sudah lama awak ingin memindahkan buku ke tempat atau ruang yang lebih “aman”. Masalahnya, ruang itu belum ada. Untuk membuat ruang, dibutuhkan uang dan tukang.

Pada waktu itu, jauh sebelum pandemi corona tiba dan menggila, awak sudah menyiapkan dana, tapi tukangnya belum siap. Dia masih kerja di tempat lain. Cari tukang yang cocok, katakanlah yang sebagus dan setangguh macam Bang Muh dan Bang Yaya, tak mudah. Lebih baik awak menunggu tukang yang sudah lama awak langgan itu daripada mencari tukang lain yang belum tentu cocok. Sekian lama awak menunggu tak apa-apa. Karena pekerjaan tukangnya di tempat lain itu tak kunjung selesai, awak jadi tak yakin bahwa tahun ini awak bisa membuat ruang buku. Seiring dengan itu, hasrat awak untuk memegang erat-erat dana yang sudah terkumpul dengan susah-payah itu melemah. Dana yang sudah awak simpan di tempat paling tersembunyi pun akhirnya banyak terserap, tak seperti dana di kementerian pemerintah yang lamban terserapnya sehingga presiden marah. Dana awak yang tak seberapa itu muncrat ke sana-sini, untuk menalangi ini itu, untuk membantu yang lagi kesusahan, dan macam-macam lagi sehingga habis begitu saja. Dana melesat tanpa jejak. Datangnya pandemi corona makin memperparah keadaan.

Singkat kata, dana lepas dari genggaman. Di tengah-tengah kondisi macam itu, sekonyong-koyong dwitunggal Bang Muh-Bang Yaya datang dan menyatakan siap bekerja. Coba, siapa orangnya yang sanggup tak bilang waduuuhhhh. Awak bukan macam orang yang sekali angkat telepon uang langsung datang sendiri karena awak bukan siapa-siapa. Awak pun tak punya pesugihan macam babi ngepet, kandang bubrah, atau jaran panoleh, tak punya pula piaraan Nyi Blorong atau thuyul yang bisa awak perintah untuk mencari uang. Kemudian dalam sekejap uang yang awak butuhkan datang. Lalu apa yang bisa awak lalukan? Karena sudah terikat janji dengan tukang, tak bisa tidak, awak sambutlah kesiapan tukang tersebut. Risiko apa pun awak tanggung.

Bagaimanapun, apa yang sudah awak ceritakan tadi sedikit banyak memengaruhi (mengganggu) kelancaran penulisan “Lenga Tala.” Tapi bicara tentang gangguan, kalau awak boleh berterus terang, gangguan terberat sesungguhnya justru datang dari Lik Mukidi, bukan pembangunan ruang buku. Kalau menyangkut dana, seperti biasanya, awak masih bisa “menyekolahkan” sertifikat atau SK ke bank. Itulah yang selama ini terjadi bila awak ingin membayar uang kuliah anak atau ingin memperbaiki talang bocor, dll. Tapi menghadapi gangguan Lik Mukidi, apa yang bisa awak lakukan? Nah, di sini masalahnya, seperti yang terjadi sekarang ini. Baru saja awak mau menulis, tiba-tiba mak bedengus: Lik Mukidi datang.

“Kapan kau mau melanjutkan cerita ‘Lenga Tala” itu?’ tanya Lik Mukidi.
“Sekarang baru mau menulis, Lik,” jawab awak singkat.
“Nah, kebetulan sekali. Aku mau menanyakan beberapa hal. Aku baca dari awal cerita yang kau bikin itu, tapi kenapa Rahwana gak keluar-keluar. Kapan akan kau keluarkan?”
“Tidak akan pernah keluar, Lik.”
“Kenapa tidak dikeluarkan. Bukankah dia cocok untuk tokoh jahat. Aku ingin menyaksikan tokoh jahat beraksi dalam cerita-cerita kau, khususnya cerita “Lenga Tala.” Aku ingin tahu saja, apakah kalau lagi kesal dengan tokoh jahat, menyeruput kopi panas terasa dingin.”
Awak tak langsung menjawab pertanyaan Lik Mukidi. Awak langsung ke dapur, menyalakan kompor, merebus air, menyeduh kopi, dan menghidangkannya kepada Lik Mukidi.
“Oh ya, aku dengar beberapa dari tetangga kau, khusunya bapak-bapak, sudah meninggal dunia. Otomatis, istrinya jadi janda dong.”
“Apa maksud Lik Mukidi? Tertarik? Mau poligami? Pengin disaduk Bulik?”
“Tak bermaksud apa-apa. Ingin tahu saja apakah rondho-rondho atawa janda-janda itu royal hidupnya.”
“O, itu. Lik Mukidi ingin makan kue rondho royal.”
“Aku nggak minta lho. Tapi kalau disuguh, aku pantang menolak rejeki.”

Coba, untuk sampai pada kopi dan rondho toyal, jalannya mutar-mutar. Apa tak puyeng. Ini baru kopi dan rondho royal, belum yang lain.
Beginilah perjalanan ‘Lenga Tala”. Faktor nonliterernya banyak.
***

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (23)

Sebetulnya awak segan bertanya kepada Lik Mukidi, tapi awak susah mencari cara lain selain bertanya untuk mengawali pembicaraan. Biar sajalah kalau pertanyaan ini selanjutnya membawa petaka. “Setelah menyeruput kopi, bagaimana, Lik. Pertanyaan Lik Mukidi tadi perlu awak jawab tidak?”
“Pertanyaan yang mana, ya. Di kepalaku ini banyak ide. Aku sore ini harus memberi pencerahan masyarakat adat, malamnya harus ke kampung nelayan untuk menggembleng mental mereka. Besok pagi-pagi aku sudah ditunggu petani kopi di seberang bukit.”

Awak memberi isyarat kepada bini awak untuk menyeduh kopi sasetan. Tampaknya Lik Mukidi ingin tambah kopi lagi. Alhamdulilah bini awak tak hanya membuatkan kopi, tapi juga menambah hidangan buat Lik Mukidi. Sukun goreng. Bukan main.
“Pertanyaan yang mana?” Lik Mukidi mengulangi.
“Tentang Rahwana, Lik.”
“O iya, tiap pertanyaan harus dijawab. Aku menunggu jawaban kau,” tegas Lik Mukidi.
“Begini, Lik. Saya menulis cerita wayang. Meskipun saya menambah banyak rempah-rempah, saya berusaha untuk tetap di jalur cerita wayang. Ada pakem di cerita wayang, Lik. Dalam menulis lakon-lakon carangan sekalipun, orang tak boleh asal menulis. Rahwana itu tokoh cerita di Ramayana, sedangkan cerita yang saya tulis berada dalam lingkup cerita mahabarata. Tak boleh dicampur begitu saja. Tak boleh muncul anakronisme dalam penulisan cerita wayang.”

Awak panjang lebar menjelaskan cerita wayang kepada Lik Mukidi. Kapan lagi kalau tak sekarang awak lakukan. Mumpung dia mau mendengarkan, awak terus saja nerocos bicara. “Oh ya, boleh tokoh Rahwana hadir dalam cerita di mahabarata, tapi bukan Rahwana yang masih hidup di alam fana. Rahwana dalam cerita macam itu haruslah Rahwana dalam wujud roh gentayangan. Biasanya di lakon-lakon carangan, macam “Romo Nitis”, “Wahyu Purbo Sejati,” “Wahyu Pakem Makutha Rama” dan lakon-lakon sejenisnya roh Rahwana muncul. Dia masih terobsesi terus untuk mengawini Dewi Widowati. Sembadra dianggapnya titisan Dewi Widowati. Karena itu, dia selalu berusaha menculik istri Arjuna itu. Namun, usahanya selalu digagalkan Anoman, senopatinya Rama, yang ditakdirkan berumur panjang untuk menjaga Pandawa dan keturunannya. Begitu Lik penjelasannya.”

Awak pun sedikit lega setelah bisa panjang lebar memberi “kuliah” tentang cerita wayang kepada Lik Mukidi tanpa dia potong. Rasanya awak ingin menambahkan penjelasan lagi agar Lik Mukidi tahu bahwa awak tahu tentang cerita wayang, tapi…Astagfirullah. Ternyata Lik Mukidi sudah di alam mimpi. Dengkurnya keras sekali, hampir mengalahkan suara kipas angin yang sudah kendur baling-balingnya. Selain mengucapkan astagfirullah, awak pun mengucapkan diamput asem kecut, dan “kata-kata mutiara” lainnya, tapi cuma di dalam hati.
***

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (24)

Awak tak mengusik Lik Mukidi yang sedang terlelap, tapi masalahnya di rumah, awak tak sendirian. Bini awak sudah terbiasa dengan situasi macam ini, tapi anak-anak tak seperti ibu mereka. Anak ragil awak yang biasanya tak ambil pusing dengan urusan bapaknya tiba-tiba merasa terganggu, ikut-ikutan kakaknya.
“Kita setrum saja eyang biar cepat bangun, Pak,” ujarnya.
“Hus, gak boleh kurang ajar,” saut kakaknya.
“Ini bukan sekadar ngorok,” kata anak awak yang tertua. “Bapaknya temanku sebelum meninggal ya begini ini. Jangan-jangan eyang lagi koma, Pak,” lanjutnya.
“Kita panggil Bu Dokter di RT satu saja,” usul anak kedua awak.

Awak biarkan mereka–anak-anak awak–berimajinasi. Belum ada tanda-tanda dengkur Lik Mukidi berakhir. Awak pun ke dapur untuk merebus air. Awak ambil simpanan kopi luwak awak. Setelah air mendidih, awak seduhkan segelas kopi luwak cisadon untuk Lik Mukidi. Kopi yang masih mengepul awak dekatkan ke lubang hidung Lik Mukidi. Tak menunggu lama. Lik Mukidi pun terbangun. “Musik” dengkur ala Mukidi pun berakhir.
“Segar, Lik.”
“Alhamdulilah. Tidur itu tak perlu lama-lama. Cukup sekejap, yang penting berkualitas,” kata Lik Mukidi seraya tangannya meraih kopi.

Awak tak minta dijelaskan tentang tidur, tapi Lik Mukidi terus nerocos bicara tentang tidur. “Tidur dan tertidur itu berbeda,” katanya mengawali penjelasannya tentang tidur. Sejumlah nama pun disebut-sebut sebagai referensi. Dia juga menjelaskan hakikat mimpi. Freud, Jung, dan sejumlah nama, termasuk Ki Narto Sabdo, dia sebut-sebut. Awak agak khawatir. Keadaan akan lebih runyam kalau ceramah Lik Mukidi tentang tidur dan mimpi ini tak awak potong. Kalau sampai awak yang gantian tertidur dan ngorok, habislah awak dirisak (di-bully) Lik Mukidi.
“Maaf, saya potong, Lik. Tadi saya sudah menjelaskan seluk-beluk cerita wayang sehubungan dengan pertanyaan Lik Mukidi.”
“Tadi aku tanya apa ya?”
Aduuhhh. Capek deh. Salah awak juga, kenapa awak masih ingin membahas sesuatu yang sudah terlewat. Ujung-ujungnya awak sendiri yang tersiksa.
“Tentang kenapa tak ada tokoh Rahwana dalam cerita ‘Lenga Tala’, Lik. Saya sudah jelaskan panjang lebar, tapi Lik Mukidi malah tidur.”
“Sebetulnya aku sudah tahu tanpa harus kaujelaskan panjang lebar. Sebelum kau lahir pun aku sudah tahu.”
Lik Mukidi kembali menceritakan pengalaman masa mudanya. Bagaimana ia bersama pemuda sekampungnya menonton wayang sampai di desa-desa yang ada di gunung dia ceritakan. Katanya dia tak kenal takut. Dia saat melewati sawah dan ladang pada malam hari tak takut ular dan hewan buas. Bukan hanya itu. Ia juga menceritakan pengalamannya memburu ledhek (penari tayub) ke daerah Manyaran dan daerah-daerah lainnya yang lebih jauh. Setiap kali akan awak potong, ia mengucapkan kata lebih keras sehingga kata awak yang baru sesuku kata terpenggal oleh kata-katanya. Benar-benar mirip dialog dalam tontonan Srimulat. Namun, akhirnya awak berhasil menyela pembicaraan Lik Mukidi ketika Lik Mukidi sedang meneguk kopi terakhirnya.

“Lik, kembali ke soal semula. Tadi Lik Mukidi bilang sudah tahu. Tapi kenapa Lik Mukidi tanya?”
“Jawabnya sederhana,” katanya. “Sebetulnya aku hanya ingin tahu apakah kau benar-benar tahu tentang cerita wayang.”
Alamak. Cuma karena itu. Edan.
“Ternyata” cecar awak
“Ternyata aku belum tahu bahwa kau tahu.”
“Katakan sejujurnya, Lik.”
“Itu jawabanku yang jujur. Bagaimana aku bisa mengatakan bahwa kau tahu kalau aku tertidur pada saat kau menjelaskan.”
Iya juga ya, kata awak dalam hati. Benar-benar payah awak. Lik Mukidi terlihat santai, seperti tidak terjadi apa-apa. Sebaliknya, awak seperti tersangka yang tak bisa berargumen di hadapan penyidik. Jian, klipuk tenan awak. Untuk sementara, awak menyerah.
“Baik, Lik. Untuk sementara kita akhiri dulu bincang-bincang kita. Ini sudah waktunya magrib.
Lik Mukidi pun pamit. Katanya mau salat ke masjid yang lebih jauh jaraknya agar mendapat pahala lebih banyak.
***

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (25)

Awak duduk sendiri di teras depan. Cenil yang pada 15 Juni melahirkan empat anaknya mengintip dari balik pintu besi. Ia sepertinya ingin keluar, tapi kami senantiasa mencegahnya. Takut ia jadi korban kucing garong. Awak sudah sejam menunggu Lik Mukidi, tapi kelihatannya tak kembali setelah magrib tadi pamit akan salat di masjid yang lebih jauh jaraknya agar mendapat pahala berlipat ganda. Kebetulan kalau dia tak kembali, awak tak ada yang mengganggu. Awak ingin menyambung cerita “Lenga Tala”. Tapi baru satu kata awak tik, mendadak ada yang datang. “Asalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. E, Lik Mukidi. Kebetulan saya mau melanjutkan cerita. Senang rasanya (padahal awak kesal) Lik Mukidi datang lagi. Saya ingin minta pertimbangan Lik Mukidi untuk penokohannya.”
“Itu mainanku. Tokoh mau digambarkan bagaimana dan karakternya akan dibentuk atau dikembangkan seperti apa banyak teorinya.”

Waduh. Awak termakan basa-basi awak sendiri. Lik Mukidi mulai ceramah tentang penokohan.Tak didengarkan bagaimana, kalau didengarkan sampai kapan dia mengakhiri dongengnya. Tapi awak perhatikan dia tak sesemangat sore tadi. Tiba-tiba ia berhenti mendongeng dan mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Dia bicara tentang berbagai aliran musik.

“Dalam musik ada bermacam-macam mazhab atawa aliran. Dalam penulisan cerita pun ada macam-macam aliran,” katanya. Awak salah duga. Awak pikir dia mengalihkan ke topik lain. Ternyata dia lagi membuat semacam analogi.
“Tapi yang aku tak habis pikir, kenapa kalau bicara tentang musik keroncong, orang mengaitkannya dengan rasa kantuk. Lebih mengherankan lagi kalau orang lagi lapar bilang ‘perutku sudah mulai memainkan musik keroncong’. Apa hubungan lapar dengan musik keroncong. Ditinjau dari sudut apa pun, lapar, sekali lagi lapar: el-a-pe-a-er, ya lapar. Coba, paham nggak, kau.”

Awak langsung tanggap sasmita. Kata “lapar” berkali-kali diucapkan dengan tekanan tertentu. Lama-lama terbaca arah pembicaraan Lik Mukidi.
“Saya paham, Lik!” jawab awak singkat.
“Hebat kau. Coba katakan, aku ingin mendengarnya.”
Tanpa ragu-ragu, awak pun menjawab dengan lantang, “Kini sudah waktunya bagi Lik Mukidi untuk makan karena sudah lapar.”
“Tak kuduga secepat itu kau menebak pikiranku. Hebat kali kau. Ini baru keponakan aku.”
“Tapi maaf Lik, kami tak masak. Kita cegat nasi goreng dung dung saja ya. Bentar lagi lewat,” kata awak meyakinkan Lik Mukidi.
“Tumben istri kau tak masak. Biasanya rajin.”
“Kebetulan istri dan anak-anak sudah makan tadi di resto dekat rel kereta. Ada soto mbok Giyem yang lagi buka dan kasih diskon. Sepertinya itu sotonya wong Wonogiri, Lik. Sayang saya sekarang kalau malam tak makan nasi.”
“Oh, kenapa tak makan nasi. Apa kau sudah jadi wong Londo, atau sudah jatuh miskin karena covid 19 sehingga tak sanggup beli beras. Kasihan kali kau.”
“Bukan begitu, Lik. Saya lagi berusaha mengecilkan perut. Lemak di perut ini harus hilang sebagian agar nyaman.”
“Ah, takut amat sama lemak. Lihat, perutku besar. Aku nyaman-nyaman saja. Kau tahu, yang penting sehat.”
“Lemak di perut saya tarafnya sudah mengganggu, Lik.”
“Mengganggu apa?”
“Mengganggu kalau lagi nganu, Lik.”
“Hah. Berarti selama ini kau tak sanggup memberi nafkah batin istri kau karena perut kau besar. Jangan salahkan perut kau. Bilang dari dulu kenapa. Nih…” sambil menepuk dadanya, “jangan panggil Mukidi kalau tak bisa bikin pasangan aduh aduh.”
Weladalah, gara-gara awak bilang nganu, pikiran Lik Mukidi ngelayap ke sana, padahal awak mau bilang “kalau lagi jongkok”. Dasar sial, yang terucap dari mulut awak “kalau lagi nganu.” Beginilah jadinya. Lik Mukidi tampaknya sudah kelaparan. Bicaranya makin ngawur. Ke mana nasgor dung dung. Biasanya sudah lewat. Kenapa sekarang nggak lewat lewat. Kacau.

Alhamdulilah, akhirnya nasi goreng yang ditunggu-tunggu tiba juga. Tanpa tanya Lik Mukidi, awak pesan satu nasi goreng dan satu mie goreng. Dua-duanya disikat Lik Mukidi tanpa sisa. “Tak biasanya aku makan sebanyak ini. Hanya karena menghormati kau sebagai tuan rumah, semua aku habiskan.”
“Iya, Lik. Tidak apa-apa. Tak baik makanan disisakan. Biasanya Lik Mukidi sepiring pun tak habis. Mesti dikurangi separuhnya dulu, baru setengahnya dihabiskan. Terima kasih atas penghormatan Lik Mukidi.”
Rupanya Lik Mukidi tahu bahwa awak menyindirnya. “Ya nggak begitu amat. Masa aku cuma makan setengah piring. Bagaimana aku bisa memuaskan bulikmu kalau makanku cuma setengah piring. Ha ha ha.”
Hadeeuh. Ke situ lagi arahnya. Gak lucu. Moga-moga Lik Mukidi tak semakin menjadi-jadi setelah perutnya terisi. Tiba-tiba ia berdiri dan menjauh dari awak. “Ya, halo..iya iya yayaya. Aku di rumah keponakanmu. Ya ya ya, di Pondok Rajeg. Bagaimana? Bukan..aku di Cibinong, di rumah keponakan kita. Hek eh. Benar..kenapa? Suara perempuan? Itu suara bininya. Ini sudah siap-siap. Ya, aku pulang segera, sayang. Ha…iya ya.”

Habis berbicara via handphone, Lik Mukidi memasukkan hp-nya ke saku. “Aku harus segera pulang.”
“Ada apa, Lik?” Awak jadi cemas. Sepertinya ada kabar duka. Wajah Lik Mukidi mendadak pucat.
“Ada apa, Lik? tanya awak sekali lagi.
“Gara-gara aku kelamaan di sini Bulik kau marah. Bisa berabe nih. Sudah ya. Asalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Alhamdulilah. Beginilah makna lega: ketika orang yang tak diharapkan lama-lama bertandang, akhirnya pulang sendiri tanpa harus ditundung. Kini saatnya bagi awak melanjutkan cerita “Lenga Tala.”
***

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (26)

Pernahkah sampeyan membaca sajak “Bunga di Atas Batu” karya Sitor Sitimorang, salah seorang penyair Angkatan ’45 dari Sumatera Utara? Larik pertama dan kedua sajak itu berbunyi /bunga di atas batu/dibakar sepi/ . Bayangkan kalau bunganya itu Kerpi, betapa sedihnya. Mungkin gambaran Kerpi sebelum menjadi isteri Bambang Kumbayana seperti bunga yang tumbuh di atas batu, lalu dibakar sepi itu meskipun faktanya dia sekar kedaton yang kalau mau minta apa saja bakal keturutan (terpenuhi). Namun, faktanya, khususnya menyangkut laki-laki idaman, tak demikian. Situasi macam yang terlukiskan dalam sajak itu pernah dialami Kerpi: hari-harinya diliputi kehampaan. Hasrat atau keinginan untuk mendapatkan kekasih yang didambakan tak kunjung terwujud. Setiap kali oleh ayahnya diperlihatkan laki-laki kepadanya, selalu ia tolak. “Bukan itu, Ayah.” Baru tepat di ulang tahunnya yang ke-40 ia mendapatkan kekasih yang didambakannya, yaitu Bambang Kumbayana.

Sekarang, sejak Bambang Kumbayana hadir di sisinya, Kerpi bukan lagi bunga yang dibakar sepi. Ia kini berseri-seri, parasnya yang cantik itu tak terhiasi mendung. Tak ada kesan murung di wajahnya. Matanya berbinar, bukan hanya memancarkan kegembiraan, tapi juga memancarkan semangat yang meluap-luap untuk mereguk hidup. Hatinya sepenuhnya gembira dan bahagia. Suasana gersang atau tandus sebagaimana tersirat dalam larik sajak Sitor Situmorang tak ada lagi. Sebaliknya, hanya kegirangan dan kebahagiaan yang ia rasakan.

Malam pertama Kerpi bersama Bambang Kumbayana adalah malam terindah dalam hidupnya. Pun yang dialami dan dirasakan Bambang Kumbayana. Pengalamannya bersama Dewi Wilutama sebelum dipertemukan dengan Kerpi membuat ia tak kikuk di hadapan Kerpi yang ibarat buah sudah matang di pohon. Karena itu, dalam berolah cinta, Bambang Kumbayana tak membutuhkan pembimbing atau instruktur cinta. Ia tak perlu dilatih seorang gowok agar tampil prima sehingga tak memalukan di hadapan perempuan yang akan dipasok kebutuhan biologisnya. Ia tak memerlukan pawang asmara, pemandu dan pelatih seks, atau apa pun istilahnya, macam Srintil yang menjadi gowok bagi anak dari orang kaya seperti yang terlukis dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari. Ia juga bukan laki-laki macam Guru Isa di hadapan Fatimah, istrinya, dalam novel “Jalan Tak Ada Ujung” karya Mochtar Lubis. Ia laki-laki normal, bahkan lebih dari sekadar normal. Ia adalah laki-laki yang saking perkasanya sanggup membuat kuda sembrani buah kutukan Batara Guru itu terkonto-konto. Kalau bukan Bambang Kumbayana yang melakukannya, kuda sembrani itu selamanya tetap kuda sembrani, tak akan pernah menjelma Dewi Wilutama. Berkat jurus-jurus bercinta “tanpa nama” –meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma dalam novel tebalnya ‘Naga Bumi–Kumbayana, Dewi Wilutama yang dikutuk Batara Guru jadi kuda sembrani karena petualangan cintanya bisa berubah menjadi bidadari lagi dan kembali ke kahyangan.

Pertanyaannya, apa yang terjadi di malam pertama Kerpi-Kumbayana? Sampeyan yang membaca cerita ini jangan berlagak pilon, sok lugu, lalu ikut-ikutan bertanya: apa yang terjadi, ya. Niscaya semua sudah tahu. Karena sudah tahu, tak perlu awak ceritakan di sini. Biarlah “pertempuran” Kerpi-Kumbayana di ranjang pengantin itu hidup di benak pembaca sesuai dengan pengalaman masing-masing. Untuk yang benar-benar masih nol atau blank pengalaman, terimalah ini sebagai bagian dari nasib kalian. Salah sendiri belum punya pengalaman. Ringkas cerita, pokoknya seru. Tak perlu awak ceritakan bagaimana pangku-memangku, gosok-menggosok, tindih-menindih, banting-membanting, pithing-memithing, patuk-mematuk antara Kerpi dan Kumbayana terjadi. Begitu Kumbayana melihat betis Kerpi, ia kalap. Yang jelas, saat itu Haswatama tidak berada di kamar pengantin. Ia dijaga emban di kamar lain agar jalannya “pertempuran” kedua mempelai seru tanpa terganggu. Kekalapan Kumbayana benar-benar terdukung oleh suasana yang kondusif, aman, nyaman, dan terkendali. Ah, seperti bahasa petugas keamanan saja.

Kocap kacarita yang sedang berada di tempat lain, juga di tempat peraduan, yakni Prabu Kerpaya, apa gerangan yang sedang terjadi? Tak seperti yang terjadi di kamar Kerpi, di kamar Prabu Kerpaya suasananya tenang. Di tempat sini, di tempat peraduan Prabu Kerpaya, tak ada yang beradu atau diadu. Nyonya Kerpaya sudah pulas setelah siang hingga petang mengikuti ritual perkawinan putri kesayangannya. Prabu Kerpaya tak mau mengusik mimpi permaisurinya. Lalu seperti yang dilakukannya sehari-hari, ia keluar dari tempat peraduannya, lalu berkeliling di lingkungan istana, ke taman, termasuk ke tempat keputren.

Suasana di istana malam itu benar-benar lengang dan sepi, kontras dengan suasana sore tadi saat pesta perkawinan Kerpi-Kumbayana berlangsung. Tampaknya para abdi dalem sudah pada tidur karena capek. Prabu Kerpaya menyusuri jalan menuju tempat di mana para abdi dalem biasanya bersantai di malam hari. Tapi di sana pun sepi. Tak ada siapa-siapa. Tapi di gerbang istana dan di sekitar pintu butulan pasti dijaga prajurit lengkap dengan senjata mereka.

Ketika sampai di dekat kamar Kerpi, Prabu Kerpaya berhenti sejenak karena dari dalam kamar itu terdengar suara-suara aneh. Eh eh eh….uh uh uh. Jelas suara itu berbeda dengan suara anak-anak teater yang lagi latihan vokal. Kalau anak-anak teater biasanya akan melatih vokalnya dengan mengucapkan a-i-u-e-o terus-menerus, sementara pelatih vokal mengawasi dan sutradara membolak-balik naskah seraya menyeruput kopi dan sesekali memasukkan rondo royal, klenyem, atau mendoan ke mulutnya. Suara dari dalam kamar Kerpi sama sekali berbeda. Ada bunyi vokalnya, tapi senantiasa diikuti bunyi h. Awak tak bisa mendeskripsikan–apalagi menganalisis–lebih jauh macam linguis, khususnya pakar fonetik dan fonemik, dalam menjelaskan bunyi bahasa. Satu hal yang perlu ditambahkan yakni bahwa suara itu disusul suara lain, semacam suara benda yang bergesekan dengan lantai. Dan suara-suara aneh itu–sebetulnya tak aneh juga, apanya yang aneh?–makin keras, keras dan temponya pun makin cepat, namun tetap berirama. Kerpaya yang semula ingin mengetuk pintu tak jadi. Ia pun teringat pada masa lalunya sendiri. Sebelum tingkahnya diketahui abdi dalem di istana, ia pun bergegas kembali ke kamarnya sendiri. ***

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (27)

Ketika pagi menetas, kedua sejoli tampak ceria. Oleh Bambang Kumbayana cahaya merah mentari di timur disongsongnya dengan senam di lantai, sementara Kerpi yang sejak pagi itu cara jalannya agak berbeda daripada biasanya memerintahkan emban untuk menyediakan madu dan telor setengah matang buat suaminya. Ia seperti menahan rasa sakit yang entah datangnya dari mana. Besar kemungkinan sumber rasa sakit itu berasal dari “celah” yang terletak di antara kedua pangkal pahanya. Tapi semua yang tinggal di istana maklum bahwa rasa sakit itu tak seberapa berbahaya dibandingkan dengan keasyikan dan manfaat yang didapatkan sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Pada akhirnya rasa sakit itu akan tergulung dengan sendirinya oleh kenikmatan tak bertepi dan kebahagiaan tak bertara yang merupakan buah dari perpaduan gerak yang ritmik dan apik serta kerja sama yang kompak dan rancak dari keduanya. Dalam dua atau tiga hari ke depan Kerpi akan baik-baik saja, bahkan akan tampak lebih cantik dan bergairah daripada hari ini dan hari-hari sebelumnya. Konon hampir semua perempuan yang pernah menjadi pengantin mengalami hal serupa, dan pengalaman itu akan disimpan baik-baik dalam ingatannya sebagai kenangan manis yang tak terlupakan.

Sejam kemudian keduanya, Kerpi dan Bambang Kumbayana, duduk santai di teras taman. Rambut keduanya terlihat masih setengah basah, tanda bahwa mereka pagi itu habis mandi keramas. Di atas pangkuan Kerpi, Haswatama tampak sedikit tak tenang. Tangannya menggapai-gapai wajah Kerpi. Tampaknya Haswatama hampir mendekati fase memberangkang. Para abdi dalem di istana menyaksikan dari jarak yang tak begitu jauh. Mereka siap jika sewaktu-waktu harus mengambil alih Haswatama dari gendongan ibunya.

Gambaran serupa di atas terjadi berturut-turut atau berulang-ulang selama tujuh hari. Pagi Bambang Kumbayana melakukan senam hingga bercucuran keringat, emban menyediakan telor setengah matang yang dicampur dengan bubuk lada hitam dan madu hutan, Kerpi-Kumbayana, setelah mandi keramas, duduk santai di teras seraya mengudang Haswatama, dilanjutkan jalan-jalan di sekitar istana, dan seterusnya dan seterusnya.

Pada hari ke-8, setelah perkawinannya, Bambang Kumbayana menghadap Prabu Kerpaya. Di hadapan Prabu Kerpaya, Bambang Kumbayana menyampaikan uneg-unegnya. “Rama, izinkan ananda menyampaikan uneg-uneg. Namun, sebelumnya mohon maaf bila ada kata-kata ananda yang kurang berkenan di hati Rama,” ujar Bambang Kumbayana sopan dan berhati-hati.
“Katakan apa yang menjadi keinginanmu, anakku. Apakah kamu membutuhkan maspicis rajabrana? Jangan khawatir. Semua yang kauminta, akan kuturuti,” jawab Prabu Kerpaya.
“Mohon maaf, Rama. Ananda tak menginginkan dan tak membutuhkan itu semua.”
“Lalu apa yang kauinginkan, anakku.”
“Ananda hanya mempunyai satu keinginan. Satu permintaan saja, Rama. Mohon permintaan ananda ini dikabulkan.”
“Cepat katakan. Jangan bikin penasaran.”
Berat rasanya Bambang Kumbayana untuk mengatakan apa yang pada hari ketiga keberadaannya di istana sudah ingin ia sampaikan. Kepalanya tiba-tiba terasa berat. Dadanya turun naik menahan napas yang jalannya seperti tersendat. Di dahinya mulai terlihat butiran keringat. Matanya berkaca-kaca. Semua itu terlihat oleh Prabu Kerpaya. Ia tahu bahwa anak mantunya mempunyai beban batin. Prabu Kerpaya mulai membayangkan yang bukan-bukan. Mungkinkah menantunya kecewa dan tidak puas dengan pelayanan putrinya. Apakah Kerpi tidak cukup menarik bagi Bambang Kumbayana. Mungkinkah karena Kerpi usianya sudah 40 tahun tidak bisa mengimbangi permainan Bambang Kumbayana, lalu mereka bertengkar, batin Prabu Kerpaya.
“Bambang Kumbayana anakku, apakah kamu habis bertengkar dengan Kerpi. Kenapa dia tak kamu ajak menghadap Rama?”
Akhirnya, Bambang Kumbayana sanggup bicara setelah menghimpun segenap kekuatan yang ada pada dirinya. “Duh, Rama. Maaf seribu maaf, diajeng Kerpi baik-baik saja. Kami saling mencintai. Selama tujuh hari di istana ini ananda gembira dan bahagia, tapi..”
“Tapi kenapa, anakku. Sesungguhnya apa yang sedang terjadi?”
Sejatinya pantang bagi seorang ksatria menangis di hadapan raja. Dulu saat dipaksa dan diancam ayahnya untuk menikah, Bambang Kumbayana bergeming. Ia tegar, bahkan berani sesumbar bahwa dewa sekalipun yang memaksa, ia tetap tak mau tunduk, tak mau menikah. Tapi kali ini, di hadapan mertuanya, Bambang Kumbayana terisak, sama ketika ia dipamiti Dewi Wilutama untuk kembali ke kahyangan.
“Bambang Kumbayana, nyata kamu dalam kesusahan. Ramamu akan membantu. Tapi katakan apa yang membuat kamu susah.”
Entah datangnya kekuatan dari mana. Kini Bambang Kumbayana merasa siap untuk mengutarakan maksud dia menghadap Prabu Kerpaya. Diperbaikinya posisi duduknya. Diusapnya butiran air mata di pipinya.

Mengamati perubahan sikap anak mantunya, Prabu Kerpaya pun siap mendengarkan dengan baik kata-kata yang sebentar lagi akan terlontar dari mulut Bambang Kumbayana.
***

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (28)

Menulis cerita bersambung, meskipun pendek-pendek, ternyata capek juga. Terkadang kecapekan itu mendorong pikiran dan perasaan berkelana ke mana-mana. Lalu kucing pun dijadikan sasaran iri. “Enak jadi kucing piaraan. Kalau lapar, tinggal minta makan dengan cukup mengeong. Habis makan nongkrong, seperti yang dilakukan Dory ini,” gumam awak pagi ini.

Dory tak perlu capek-capek berpikir. Segala sesuatu dikerjakannya berdasarkan naluri. Kalau naluri memerintahkan kawin, maka kawinlah dia. Tak perlu pertimbangan macam-macam. Dia tinggal mencari kucing betina. Begitu ketemu langsung sikat. Habis perkara. Kalau masih kurang puas, sikat lagi. Satu, dua, atau tiga saja hambatannya: kucing lain yang lebih kuat dan garang, langka kucing betina atawa sebaliknya, dan aksi orang yang merasa terganggu oleh ekspresi birahinya sehingga mengusirnya entah dengan siraman air, pukulan, atau tendangan. Itu saja, dan semua itu tak melibatkan nalar atau pikiran.

Awak yakin hakul yakin bahwa Dory yang lagi nongkrong sambil mengamati ibu-ibu yang asyik bercanda dengan tukang sayur itu sama sekali tak memikirkan hari depan Bambang Kumbayana yang lagi kesulitan mencari kata yang tepat untuk mengutarakan maksudnya kepada Prabu Kerpaya. Dia juga tak peduli pada awak yang tiap hari memberi makan, menyediakan minum, membukakan pintu, melindunginya ketika ada kucing lain menyerang, memberi oleh-oleh kalau lagi keluar rumah, dan sebagainya. Baginya yang penting makan, minum, tidur, main, kawin.

Meskipun kalau lagi kumat isengnya amat keterlaluan, masih mending Lik Mukidi. Separah apa pun, ia masih mau membaca tulisan awak meskipun setelah itu mengganjar awak dengan komentar seenak jidatnya sendiri. Ah, rasanya tak etis membandingkan kucing dengan Lik Mukidi. Awak harus berhenti di sini. Awak tak mau kualat hanya gara-gara menggunjingkan atawa “ngrasani” paman sendiri. Lebih baik awak gunakan waktu untuk melanjutkan cerita “Lenga Tala”. Meski hanya beberapa gelintir yang menunggu-nunggu lanjutan cerita itu, awak tetap harus menyelesaikannya. Secara moral awak harus merampungkan, apa pun kendalanya. Kalau awak mendudukkan diri pada posisi pembaca, awak akan bilang “Kau yang mulai, kau yang mengakhiri” sebagimana bunyi lirik lagu dangdut “Kegagalan Cinta” karya Bang Haji Rhoma Irama. Goyang, Mang. Lanjut!
***

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (29)

Akhirnya, terucap juga dari mulut Bambang Kumbayana kata-kata yang setiap akan diujarkan terhenti di kerongkongannya. “Rama, maafkanlah anakmu yang tak tahu diri ini. Izinkan dan relakan ananda hari ini juga pergi untuk mencari ilmu. Ananda titip Kerpi dan Haswatama. Pada suatu waktu nanti, ananda akan datang untuk menjemput Dinda Kerpi dan Haswatama.”

Lega rasanya setelah kalimat yang tak terlalu panjang itu terlepas dari mulutnya. Bambang Kumbayana menarik napas, memperbaiki posisi duduknya, dan bersiap-siap menerima akibat dari ucapannya. Seekor kucing hitam melintas di sisi kiri dampar kencana yang diduduki Prabu Kerpaya. Ia menatap sejenak wajah Prabu Kerpaya sebelum keluar menuju alun-alun. Hening. Tak terdengar tanggapan spontan dari mulut Prabu Kerpaya. Entahlah apa yang ada di benak raja bijaksana itu. Dalam situasi macam itu, terbetiklah keinginan Bambang Kumbayana untuk menambahkan alasan atau argumen kenapa ia harus pergi. Tapi hasrat itu segera padam sebelum termanifestasikan menyusul keluarnya ucapan Prabu Kerpaya yang bikin nelangsa hati siapa pun yang mendengarnya.
“Barangkali sudah menjadi nasibku. Baru mendapat mantu seminggu, sudah harus menahan pilu. Baru mendapat mantu perkasa, sudah harus nelangsa. Baru sesaat mengecap keberuntungan, sudah harus kehilangan. Jagat dewa batara, inikah yang kaukatakan keadilan. Inikah yang kausebut takdir? Inikah yang kaubilang titah menyembah, dewa memerintah? Dan kalau menantuku harus pergi, apakah ia pergi karena takdir dan perintahmu?”
“Ampunilah anakmu yang tak tahu diri ini, Rama.”
“Bambang Kumbayana.”
“Dalem, Rama.”
“Aku bisa memahami permintaanmu. Kamu seorang kesatria. Mencari ilmu, menempa diri dengan ilmu kanuragan dan kasunyatan wajib hukumnya. Berguru dan bertapa, termasuk bertapa ngrame, memberi pertolongan kepada yang mesti ditolong, sudah menjadi darma bagi seorang kesatria. Aku bangga punya menantu seperti kamu yang tak mau ongkang-ongkang di istana. Aku bangga punya menantu kamu yang tak cepat puas diri dengan apa yang telah dicapai. Karena itu, aku tak punya alasan untuk menahanmu. Aku tak punya alasan untuk memaksamu tinggal di Timpurusa.”
“Terima kasih tak terkira ananda haturkan kepada ayahanda yang telah berluas hati merestui permohonan ananda.”
“Tapi…”

Tak terdengar kata atau kalimat lanjutan dari Prabu Kerpaya. Kata “tapi” yang terucap dari Prabu Kerpaya seakan menjelma patung: tegak berdiri dan tak tergoyahkan oleh gerak apa pun. Kata itu seperti menampik kata-kata lain yang secara sukarela ingin mendampinginya agar menjadi kalimat dan wacana yang utuh sehingga bisa dicerna dan dipahami Bambang Kumbayana dan siapa pun yang mendengarnya.

Kucing hitam yang belum lama keluar dari ruang itu urung masuk kembali ke istana. Seperti terkena perbawa raja yang sedang sungkawa, begitu kakinya menapak di sitihinggil hawa panas segera menjalar di tubuhnya. Ia pun kembali berlari menuju alun-alun. Lama Bambang Kumbayana menanti apa yang akan terjadi. Ia tak sanggup menerka-nerka atau berandai-andai. Karena itu, tak ada yang dapat dia lakukan kini kecuali menanti dan menanti. Kata apakah gerangan yang akan keluar dari mulut Prabu Kerpaya setelah kata “tapi?”
***

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (30)

Sebentar lagi magrib. Awak harus bergegas mengambil foto awak di tukang bingkai. Dalam perjalanan menuju tukang bingkai sore ini, masih terngiang terus di telinga awak kata-kata Prabu Kerpaya. Sampai di tempat tukang bingkai, awak masih bertanya-tanya, kira-kira kata apa setelah kata “tapi” yang akan diucapkan Prabu Kerpaya. Awak pergi ke tukang bingkai untuk mengambil foto-foto awak yang sudah selesai pengerjaannya. Di samping itu, awak juga ingin membingkaikan batik hadiah kakak ipar awak sewaktu ia berkunjung ke rumah awak tahun lalu. Tak lama awak di tempat tukang bingkai karena hari sudah sore. Karena itu, awak buru-buru pulang. Maklum di rumah masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Pulang dari tukang bingkai, baru awak duduk plek di kursi teras depan, Lik Mukidi mengontak awak.
“Halo. Mukidi di sini. Kau di mana?”
Waduh, ada apa ini. Dari nada bicaranya, sepertinya ada sesuatu yang penting. Cara mengucapkan kata “di sini”-nya berbeda dari biasanya. Alamat tak enak ini.
“Di rumah, Lik. Ada apa, ya? Tumben nada suara Lik Mukidi beda dari biasanya.”
“Sejak kapan aku ngutang kau. Hati-hati kalau bicara!”
Benar. Bakal ada masalah serius. Awak harus menyiapkan mental. Pasrahkan saja sama yang di atas.
“Siapa yang bilang mau ngutang, Lik.”
“Tadi kau bilang suara aku beda dari biasanya. Kau mengira aku mau ngutang, ya.”
“Ha ha ha.” Awak memberanikan diri tertawa. “Apa kalau beda suara sudah dengan sendirinya identik mau ngutang, Lik. Aya- aya wae. Sebetulnya ada apa, Lik.”
“Aku cuma mau menanggapi cerita yang sedang kau susun itu, bukan mau ngutang, tahu?”
“Oke, Lik. Lupakan ngutangnya. Lagian kalau Lik Mukidi mau ngutang, saya tak punya uang. Lik Mukidi tahu kan gaji saya cuma tujuh koma. Kalau memasuki tanggal tujuh, rasanya seperti orang koma. Ha ha ha.”
“Tak lucu. Aku tak mau ngutang kau. Titik.”
“Iya Lik. Saya tahu. Lalu Lik Mukidi mau bilang apa tentang cerita yang lagi saya susun. Sabar, Lik. Saya siap mendengarkan.”

Seperti biasa, Lik Mukidi berceramah tentang hakikat fiksi, khususnya cerbung (cerita bersambung). Katanya, tradisi penulisan cerita bersambung dalam sastra Indonesia itu sudah lama. Dikatakannya bahwa cerbung hadir sejak koran terbit di persada nusantara. Oleh karena itu, pada dasarnya pers berperan besar dalam kesusastraan Indonesia. Pada awal abad XX, bahkan sebelumnya, penerbitan koran dan majalah sudah marak di Indonesia. Kaum Cina peranakan telah menjadikan koran selain sebagai media komunikasi, juga sebagai sarana mengekspresikan diri dan sarana bisnis. Di koran-koran seperti itu cerbung dimuat. Ada juga koran yang digunakan sebagai sarana menyebarkan ideologi. Sekedar contoh dulu pernah terbit “Medan Prijaji” yang kalau dikaji isi berita dan tulisan di dalamnya, jelas bertendensi menentang kebijakan pemerintah kolonial.

Ceramah Lik Mukidi jauh lebih panjang dari apa yang awak kemukakan di atas. Kalau awak biarkan, kuping awak pasti pengeng. Maka sebelum kedlarung-dlarung (berkepanjangan), awak potong saja.
“Terima kasih Lik atas pencerahannya. Intinya apa yang akan Lik Mukidi katakan. Soal bagaimana cerbung dulu tumbuh dan berkembang, saya bisa membaca sendiri sejarah sastra, Lik. Ada penelitian Claudine Salmon, ada buku Jakob Sumardjo, ada buku Sapardi Djoko Damono, Leo Suryadinata, dan penelitian-penelitian yang membahas topik itu.”
“Ah, kau. Mentang-mentang “orang sekolahan” dikasih masukan orang awam begitu saja sudah alergi. Sombong kau.”
“Maaf, Lik. Saya tanya poinnya apa. Masih banyak yang harus saya kerjakan. Cucian menumpuk. Anak juga minta dijemput. Belum lagi harus membaca Tugas Akhir mahasiswa.”
“Ya sudah. Susah bicara sama akademisi yang sok tahu. Aku keluarkan semua ilmuku bakalan mlehe kau. Begini saja. Dulu, di zaman koran masih jaya, cerbung dibaca dan ditunggu-tunggu pembaca. Cerbung yang dimuat hari ini ditunggu lanjutannya besok karena koran terbit tiap hari. Sekarang kau menulis di facebook. Pikiran kau jangan sama dengan pikiran di zaman koran.”
“Maksudnya?” Awak kejar agar to the point.
“Lanjutkan segera cerita yang kauposting hari ini. Tak usah menunggu besok. Di bagian akhir Prabu Kerpaya bilang “Tapi”. Segera lanjutkan, kata-kata berikutnya apa. Tapi apa itu. Jangan kau siksa pembaca.”
“O, dari tadi itu Lik Mukidi mau bilang bahwa Lik Mukidi tersiksa ya.”
“Enak saja. Memang aku membaca cerita yang kau susun. Jangan gede rasa dan gede kepala ya.”
“Ma..”
Klek. Lik Mukidi menutup teleponnya, padahal awak mau bilang maaf dan ingin mengundang dia untuk berbincang di rumah awak sambil menyeruput kopi dan menikmati rondo royal. Sayang, sebelum kata itu awak ucapkan, Lik Mukidi keburu mutung dan menutup teleponnya. Belum jadi rezeki Lik Mukidi.
***

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (31)

Meskipun ditenang-tenangkan, batin Bambang Kumbayana tetap gelisah. Kegelisahan itu tak urung terpancar juga di wajahnya. Ia sudah mulai menghitung satu, dua, dan seterusnya. Jika setelah hitungan sepuluh, Prabu Kerpaya belum juga menyambung kata “tapi”, ia akan memberanikan diri untuk bertanya “tapi apa”. Namun, tepat ketika ia sudah sampai pada hitungan delapan, suara Prabu Kerpaya terdengar. Kata “tapi” diucapkannya kembali, diikuti kata-kata lain yang “mbrubul” bak laron keluar dari liangnya.
“Tapi bagaimana aku harus mengatakan keinginanmu kepada Kerpi. Bagaimana aku bisa menemukan kata-kata yang tepat buat meyakinkannya. Bagaimana aku sanggup menyampaikan bahwa apa yang kaulakukan bukan melecehkan dan mencampakkannya. Bagaimana aku bisa tega menyampaikan semua yang kaukatakan kepada Kerpi.” Memang Prabu Kerpaya tak terlihat menangis, tapi nada bicaranya seperti memperlihatkan kesan bahwa ia sedang sekuat tenaga menahan tangis.

Mendengar sabda sang mertua, Bambang Kumbayana hanya bisa diam, tapi dalam diam itu sesungguhnya ia berkata “Aku baru menyadari bahwa tak mudah membahasakan hasrat dan keputusanku kepada Kerpi. Tak terbayangkan betapa terpukulnya Kerpi ketika apa yang kukatakan kepada Rama Prabu Kerpaya kuucapkan kembali di hadapan Kerpi.”

Pada titik itu Prabu Kerpaya dan Bambang Kumbayana sama-sama memahami betapa tidak mudahnya menyampaikan hasrat Kumbayana. Di tengah-tengah situasi sulit itu keduanya membuat daftar gagasan yang kemungkinan dapat diterjemahkan ke dalam tindakan nyata. Mereka bahkan membuat semacam skenario dan rencana. Jika rencana A gagal, rencana B segera dilancarkan. Jika rencana B pun gagal, rencana C siap menggantikan. Belum sempat rencana-rencana itu dimatangkan dan disimulasikan, tiba-tiba Kerpi datang menghadap Prabu Kerpaya. Ia pun menyembah seraya mengucapkan permohonan maaf atas keberaniannya menghadap tanpa dipanggil.
“Maafkan Ayah, Kerpi datang tanpa diundang. Ada persoalan apakah? Kenapa Kanda Bambang Kumbayana lama sekali. Bukannya aku ingin mencampuri urusan laki-laki, bukannya aku ingin mengajari atau menggurui. Sebaiknya kalau ada sesuatu yang penting dan genting yang harus dipecahkan, libatkanlah aku,” ujar Kerpi.

Prabu Kerpaya dan Bambang Kumbayana saling memandang. Mereka tampak tak siap menghadapi kedatangan Kerpi yang tiba-tiba itu. Mereka sama-sama tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Kerpi. Situasi macam itu sama sekali tak ada dalam rencana yang mereka rancang. Akhirnya, setelah mereka saling menanti, keluarlah kata-kata Prabu Kerpaya.
“Benar anakku. Kalau ada persoalan serius di istana ini, kamu berhak tahu dan dilibatkan. Tapi yang barusan kami bicarakan hanya persoalan remeh-temeh. Jika kuutarakan, belum tentu kamu tertarik karena hanya soal berburu rusa.”

Bambang Kumbayana rupanya tak siap dengan akting spontan Prabu Kerpaya. Ia tak segera menimpali dan membumbui ucapan Prabu Kerpaya. Ia sulit menemukan kata untuk bersandiwara. Sebenarnya bukan soal kata sulit, tapi soal keberanian mengatakan sesuatu yang tak ingin ia katakan. Ia tampak kikuk. Tak urung, suasana itu terbaca Kerpi. Tanpa rasa takut, apalagi malu, Kerpi mendesak ayah dan suaminya berterus terang. “Aku merasakan ada sesuatu yang aneh dan dirahasiakan di sini. Tak perlu ditutup-tutupi. Ayah, katakan apa yang sedang terjadi, ada persoalan apa? Begitu pentingkah untuk disembunyikan?” Kepada Bambang Kumbayana, “Kanda, katakan kepada istrimu ini, ada masalah apa?”

Sejenak tak ada yang bersuara. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Prabu Kerpaya dan Bambang Kumbayana berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk dilontarkan, tapi setiap kata yang ditemukan hendak diucapkan seperti ada usaha dari kata itu untuk membelot atau menghindar. Kata-kata itu bak belut: licin, sulit dipegang dan ditundukkan.
***

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (32)

Prabu Kerpaya segera menyadari bahwa aksi spontannya tak membuahkan efek apa-apa. Bambang Kumbayana yang diharapkan merespon kata-katanya justru diam saja, bahkan ia terlihat seperti orang yang baru saja siuman setelah sekian lama pingsan. Tahu bahwa orang yang diharapkan berbuat sesuatu hanya diam, tak sanggup berbuat apa-apa, akhirnya Prabu Kerpaya berterus terang.
“Kerpi, sesungguhnyalah ayahmu kini sedang dalam kesulitan.”
“Apakah kesulitan ayah? Bukankah kerajaan Timpurusa kini baik-baik saja. Apakah kedatangan musuh?”
“Tidak sekali-kali kesulitan itu berhubungan dengan keamanan kerajaan. Benar katamu, Timpurusa baik-baik saja. Rakyatnya sehat-sehat dan sejahtera. Tak ada pagebluk atau pandemi di negeri kita, anakku.”
“Lalu kesulitannya apa, ayah? Katakan. Aku ingin mendengar,” desak Kerpi tak sabar.

Prabu Kerpaya menarik napas dalam-dalam. Masih ada keraguan di hatinya untuk berkata apa adanya. Ditataplah Bambang Kumbayana sesaat. Tapi yang ditatap menunduk. “Bagaimana Bambang Kumbayana?”
“Duh, Rama. Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk mengatakanya. Tak ada gunanya kita tahan-tahan,” jawab Bambang Kumbayana.
Karena Prabu Kerpaya tak juga berbicara, Kerpi bereaksi. “Kalau memang aku tak boleh berada di sini karena persoalan yang dibahas adalah urusan laki-laki, aku menyingkir saja agar kalian leluasa membahasnya.”
Kerpi siap-siap undur diri, tapi Prabu Kerpaya mencegahnya. “Jangan, anakku. Persoalan yang kita bahas justru persoalanmu. Tenang, tenanglah. Sekarang dengarkan aku.”

Kerpi memperbaiki duduknya. Bambang Kumbayana berusaha menepis kegelisahannya dengan berdehem meski dehemnya kedengaran dibuat-buat.
“Kerpi, sekian lama kamu menanti kehadiran laki-laki. Tak usah aku berkilas balik, tak perlu aku mengungkit-ungkit kembali apa yang telah terjadi di masa lalu. Faktanya, yang penting, kamu sekarang berbahagia karena telah mendapatkan laki-laki yang kau idam-idamkan. Orangnya yang duduk di sisimu itu. Tapi..”
Tiba-tiba Prabu Kerpaya terdiam. Rasanya berat baginya untuk melanjutkan kata-kata berikutnya. Kerpi penasaran. “Tapi apa, Ayah?”
Prabu Kerpaya bergeming. Ia seperti kehabisan stok kata untuk diucapkan.

Menghadapi situasi macam itu, tiba-tiba seperti ada kekuatan yang membuat Bambang Kumbayana sanggup meneruskan kata-kata Prabu Kerpaya.
“Tapi tak selamanya seorang istri kesatria senantiasa berdua dengan suami, mereguk kenikmatan dan kemewahan hidup di istana dengan sekian banyak abdi dalem yang siap melayani. Sesuai dengan status, peran, derajat, dan darmanya, seorang ksatria harus menempa diri, mengembara, bertapa, berguru dan mencari ilmu. Untuk itu, seorang istri ksatria sewaktu-waktu harus siap ditinggal pergi suaminya meskipun masa bulan madunya belum usai. Ringkas kata, Dinda, tabahkanlah hati Dinda, bersiaplah karena hari ini juga aku akan meninggalkan istana guna mencari ilmu di negeri jauh sampai waktu yang tidak ditentukan. Karena itu, janganlah Dinda terlalu berharap aku segera kembali agar tak kecewa.”

Bambang Kumbayana setengah tak percaya bahwa ia akhirnya dapat mengatakan itu semua. Plong. Ada kelegaan tak terukur setelah ia berhasil meneruskan kata-kata mertuanya, terlepas dari apakah memang kalimat-kalimat itu yang akan disampaikan Prabu Kerpaya. Istana sejenak hening. Prabu Kerpaya dan Bambang Kumbayana menunggu reaksi Kerpi. Tak ada yang berbicara. Tak ada suara. Hanya lamat-lamat terdengar derap kuda di kejauhan.
Lama ditunggu, Kerpi belum juga berbicara. Apakah yang akan dikatakannya?
***

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (33)

Prabu Kerpaya setengah gelisah. Kenapa dari mulut Kerpi belum juga keluar kata-kata, gumamnya dalam hati. Sejak Bambang Kumbayana mengambil alih kata-katanya, ia sebenarnya khawatir. Ia tak yakin Kerpi sanggup mendengarkan kata-kata Bambang Kumbayana sampai akhir. Karena itu, ia berjaga-jaga untuk merengkuh tubuh Kerpi manakala tiba-tiba pingsan. Tapi nyatanya Kerpi baik-baik saja. Yang lebih mengherankan Prabu Kerpaya dan Bambang Kumbayana adalah tidak adanya ekspresi sedih pada wajah Kerpi. Sebaliknya, wajah Kerpi malah seratus kali lebih cantik dan segar daripada sebelumnya.

Kenyataan itu justru membuat Prabu Kerpaya semakin khawatir. Jangan-jangan pada saat Bambang Kumbayana mengutarakan maksudnya, jiwa Kerpi kosong, lalu danyang Kaki Jobregulo, roh Mbah Mentodrono yang mbaureksa pohon beringin di belakang istana, atau lelembut lain macam Wewe dan Kuntilanak telah merasuk ke tubuh Kerpi. Namun, kekhawatiran itu punah seketika begitu melihat binar mata Kerpi. Lebih-lbih setelah mendengar Kerpi bicara tanpa diawali ketawa ngikik sebagaimana yang sering diperlihatkan lelembut atau siluman saat merasuk ke tubuh korbannya.
“Sudah, Kanda. Itu saja yang ingin Kanda katakan?”
“Ii iiii iya, Dinda,” jawab Bambang Kumbayana terbata-bata.
“Apakah Ayah ingin menambahkan?” tanya Kerpi kepada Prabu Kerpaya.

Mulut Prabu Kerpaya masih ternganga. Ia tak percaya dengan apa yang terjadi. Setelah mulutnya mengatup pun, ia tak segera menjawab pertanyaan Kerpi, sampai akhirnya Kerpi mengulangi lagi pertanyaannya.
“Apakah Ayah baik-baik saja? Ayah ingin menambahkan kata-kata apa?”
“Cukup. Cukup, anakku.”
Kerpi tersenyum puas seraya menatap kedua lelaki yang dari tadi mengalami kesulitan untuk bicara terus terang.
“Kalau hanya itu yang ingin disampaikan, kenapa harus berpura-pura dan bermain sandiwara segala hingga kopi dan hidangan didiamkan sampai dingin. Kenapa tidak sejak aku datang tadi dikatakan.”

Tampaknya Prabu Kerpaya belum yakin bahwa Kerpi baik-baik saja. “Kerpi, apakah kamu sehat, Nak?”
“Semoga Dinda baik-baik saja,” Bambang Kumbayana menambahkan.
“Seperti yang Ayah dan Kanda lihat, aku sehat.Sepenuhnya sehat.”
“Syukurlah,” kata Prabu Kerpaya.
“Kalau boleh aku simpulkan, yang ayah katakan mengalami kesulitan tidak lain adalah kesulitan untuk mengatakan bahwa Kanda Bambang Kumbayana akan pergi hari ini. Betulkah Ayah?”
“Benar, anakku.”
“Sepele sekali. Hanya untuk bilang begitu, kenapa harus bertele-tele. Aku tak tahu apa sesungguhnya yang ada di benak Ayah dan Kanda Bambang Kumbayana tentang aku.”
“Dinda, sejujurnya Rama dan Kanda khawatir. Kita belum mengakhiri bulan madu. Kanda khawatir Dinda tak kuat menerima kenyataan bahwa Kanda akan pergi jauh dan entah kapan kembalinya.”
“Benar yang dikatakan Bambang Kumbayana, Kerpi,” tambah Prabu Kerpaya.
Kerpi menggeleng-gelengkan kepala. Lalu ia kembali tersenyum. “Bukan main,” katanya. “Ayah, Kanda, bukankah seorang istri ksatria harus siap dan tak bisa menawar-nawar ketika suaminya hendak pergi berguru, berkelana, atau maju di medan laga? Kalau boleh kutebak, pasti dalam benak Ayah dan Kanda tebersit anggapan bahwa perempuan itu lemah, sementara laki-laki kuat. Karena perempuan itu makhluk lemah, ia harus diayomi laki-laki. Bukankah begitu? Jika betul dugaanku, sungguh kusayangkan. Maafkan, aku bukan tipe perempuan macam yang dibayangkan Ayah dan Kanda. Itulah sebabnya sebelum aku dipertemukan dengan Kanda Bambang Kumbayana lewat mimpi, dan aku percaya bahwa mimpi bukan sekadar bunga tidur, setiap laki-laki yang Ayah sodorkan, bilamana tak sesuai dengan pilihanku, kutampik. Aku punya hak untuk memilih dan menentukan jodohku. Aku pun berhak atas pilihan hidupku.”
“Ayah bangga punya anak perempuan macam kamu, Kerpi. Tak kunyana seluhur itu budimu. Tak kusangka seteguh itu pendirianmu. Tak kusangka sekuat itu mentalmu.”
“Maafkan aku, Dinda. Begitulah sesungguhnya yang hidup di benak Kanda. Tapi sekarang, setelah mendengar kata-katamu, tidak lagi. Tak sekali-kali Kanda berpikir seperti itu.”
“Ayah, Kanda, jangankan ditinggal pergi, diajak pergi pun aku sedia. Ayo, ke mana Kanda hendak berguru, aku ikut. Ke mana Kanda mencari ilmu, aku turut. Siapa takut?”
“O, Dinda. Jangan, Dinda. Kumohon jangan. Kumohon Dinda menjaga dan mendidik Haswatama, anak kita, hingga kelak menjadi seorang ksatria yang perkasa. Dan itu sungguh merupakan tugas serta pengabdian yang mulia.”

Dengan pernyataan sikap Kerpi, akhirnya tak ada lagi yang menjadi kendala bagi Bambang Kumbayana untuk mengawali pengembaraannya setelah ia menikah dengan Kerpi. Di benak Bambang Kumbayana, ia harus memperdalam ilmunya, khususnya ilmu memainkan senjata, lebih khusus lagi ilmu memanah. Ia pun ingin menjalani tapa “ngrame” setelah dirasa ilmu yang diperolehnya cukup. Namun, sebelum semua itu dilakukan, ia ingin mengunjungi teman seperguruannya di Pancalaradya karena sudah lama sekali tak bertemu. Benarkah ia kini menjadi orang nomor satu di kerajaan itu? Seperti apakah tampang dia sekarang? Sudah setinggi apakah ilmunya? Ia ingin pertanyaan-pertanyaan di benaknya itu terjawab. Dan jawaban itu kiranya baru ia dapatkan setelah dirinya bertemu langsung dengannya. Berhasilkah Bambang Kumbayana menemui teman seperguruannya? (Bersambung)

2 Replies to “LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (22-33)”

Leave a Reply

Bahasa ยป