Kafka pernah menasihati penyair Georg Mordechal, “Setiap orang harus membaca setiap hari satu puisi, bukan dua.”
Sejak aku baca nasihat Kafka dari buku berjudul “Ketika Kafka Di Depanku” (Als Kafka mir entgegenkam…), aku ingin mempraktikkannya. Cuma masalahnya puisi siapa yang harus aku baca? Apakah puisi dari berbagai penyair? Aku teringat ucapan Borges, di kala usia sudah menanjak, maka ia sadar tak banyak waktu tersisa lagi. Ia bersumbar, ingin membaca karya dari abad 19 yang penulisnya sudah tiada.
Faust karya Goethe dalam bahasa Jerman menjadi pilihan dan kebetulan di sebuah meja tergeletak buku itu. Setelah aku buka di halaman pertama bagian kanan atas tertulis dengan tinta merah claudia beck.
Itu buku puisi istriku ketika ia masih usia 19 tahun di bangku SMA. Sejak itu buku itu aku baca setiap pagi. Sampai kini aku baca di halaman 128, artinya sudah 120 hari aku baca secara rutin, karena 8 halaman pertama terdapat semacam pengantar dan lainnya dari penerbit.
Sebenarnya apa yang ingin aku cari? Entah, mungkin aku hanya mengikuti anjuran dewa sastraku kanjeng Kafka. Selain itu ada niat terselubung, semoga aku menemukan sensasi khusus, syukur bisa mencatat ungkapan Mbah Goethe yang rumahnya pernah kami kunjungi di kota Weimar, di Jerman Timur.
Ketika rutinitasku membaca Faust aku ceritakan ke mertua laki-laki, aku akan dipinjami buku pengantarnya. Aku menolak, sebab aku ingin menemukan Faust dari hasil bacaanku sendiri tanpa pengaruh dari sumber lain.
Sering aku membaca buku dengan melompati kata pengatar dan endorsmen, karena itu bisa mempengaruhi temuanku sendiri. Adapun jika aku sudah menemukannya, maka pengantar bisa aku baca belakangan sebagai penunjang. Lalu, selama 120 hari itu apa yang bisa aku rasakan dan comot dari baris-baris puisi mahapanjang itu?
Pertama, aku mulai tahu bahwa ada semacam puisi yang berisi dialog melulu. Goethe dan Schiller, dua penyair klasik Jerman itu memang yang menghidupkan dunia theater di Weimar kala itu.
Goethe menghabiskan waktu selama 65 tahun hampir sepanjang hidupnya dalam menulis puisi ini. Faust dalam dialognya tampak cerdas dan tetap di tataran logika dan kemanusiaan.
Kedua, aku mulai tahu muncul berbagai tokoh. Tokoh kedua dan bisa disebut sebagai partner Faust adalah Mephistopheles. Sosok Mephistopheles ini sejenis ruh halus, namun bukan hantu yang jahat, karena kemudian muncul tokoh hantu perempuan. Tokoh lain dua perempuan yaitu Margerete, tokoh ini sering disukai oleh Faust, juga tokoh ibu Marthe. Ada tokoh murid. Yang membuat aku sadar bahwa setting kisah ini bukan seperti di negeriku yang penuh mitos dan takayul, ketika terjadi dialog antara murid dan hantu perempuan, tak nampak si murid dalam ketakutan atau ada suasana horor. Dan masih ada banyak tokoh lain termasuk penyair dan pengarang.
Sampai di sini aku menemukan dua baris yang aku catat di halaman paling belakang, karena aku anggap menyentuh. Du ahnungsvoller Engel, du (hal 110). Di belakang baris ini ada tulisan tangan istriku : Du hast recht (Kamu benar). Ketika aku tanya istriku, siapa yang bilang kamu benar dan kamu catat? Ia jawab, gurunya.
Rupanya ia mencatat perkataan gurunya. Ungkapan Goethe di atas ; Du ahnungsvoller Engel, du artinya: Kamu memang malaikat yang sangat paham, kamu. Goethe sebut dua subjek du (kamu) di pembuka dan penutup. Tentu ini untuk menekankan pada tokoh kamu.
Yang kedua ada baris; Die Mühe ist klein, der Spass ist gross (hal 126) artinya kerepotan itu hal kecil, sedang rasa riang itu utama.
Semoga bacaanku terus berlanjut hingga khatam. Ini caraku menaklukkan karya-karya klasik dengan mencicil baca dari hari ke hari. Oh, ya aku pernah mencicil baca Zarathustranya Nietzsche di kamar mandi. Setiap hari kubaca sambil jongkok di toilet dan entah sampai berapa ratus hari baru tamat. Selain itu tentu novel Ulysses yang kubaca setiap Selasa malam dalam reading group dan selama 3 tahun khatam.
Zug, 08.10.2020