PENULISAN SEJARAH SASTRA INDONESIA (11)

: PENDEKATAN PENULISAN SEJARAH

Djoko Saryono

Setiap penulisan sejarah sastra Indonesia menggunakan pendekatan tertentu sebagai sudut pemandangan dan dimensi perhatian atas bahan-bahan sejarah sasta meskipun tidak dikemukakan secara eksplisit. Dalam hubungan inilah setiap historiografi bisa ditelaah pendekatannya dengan memperhatikan historiografi itu sendiri, bukan penjelasan penulisannya. Bagaimanakah pendekatan keenam historiografi yang telah kita bicarakan sebelumnya? Mari kita menelusuri pendekatan penulisan sejarah sastra Indonesia yang terdapat dalam KBI, SSIM, ISSI, SBI I, SBI II, dan LSIM.

Dapat dikatakan bahwa KBI karya Zuber Usman menggunakan pendekatan yang mengutamakan tokoh agung (tokoh penting) dengan menggabungnya dengan karyanya sehingga tokoh-tokoh sastra menjadi sa-ngat penting dan baru kemudian karya-karyanya. Hal ini dapat diperiksa dalam semua bab atau bagian buku KBI. Sebagai contoh, dalam pembicaraan sastra zaman Balai Pustaka yang ditonjolkan dan dijadikan judul pasal se-lalu nama tokoh, yaitu Merari Siregar, Marah Rusli, Abdul Muis, Adinegoro, Nur Sutan Iskandar, Muhammad Kasim, HAMKA, dan lain-lain (lihat hlm. 15-148). Demikian juga dalam pembicaraan sastra Pra Pujangga Baru, sastra Pujangga Baru, dan sastra Angkatan 45. Dengan demikian, pendekatan KBI adalah pendekatan tokoh penting atau agung (Teeuw, 1984) dengan menggabungkannya dengan karya-karyanya.

Sementara itu, pendekatan yang digunakan untuk menulis SSIM karya Bakri Siregar adalah pendekatan sejarah umum yang menempatkan perspektif nasional sebabagai pusatnya (Teeuw, 1984). Hal ini berarti meletakkan karya sastra dalam perspektif sejarah umum khususnya sejarah sosial politik. Karena itu, pembicaraan tentang tokoh dan karyanya selalu terbingkai kerangka sejarah politik. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Siregar tentang lahirnya sastra Indonesia, konsepsi sastra Indonesia, dan pemaparannya tentang tokoh-tokoh dan karya-karya sastranya. Sebagai contoh, pembicaraan tentang mula sastra Indonesia modern berkisar pada kri-tik sosial terhadap feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme, peranan gerakan nasional bagi pertumbuhan sastra Indonesia modern, peranan pers nasional dalam pergerakan nasional, dan pikiran-pikiran ideologis tokoh-tokoh sastra baik yang tercermin dalam karya-karya-nya maupun esei-eseinya (lihat hlm. 17-30). Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa penulisan SSIM meng-gunakan pendekatan sejarah umum terutama sejarah sosial politik yang nasionalistis (Teeuw, 1984).

Berbeda dengan SSIM, ISSI karya Ajip Rosidi menggunakan pendekatan gabungan antara karya dan tokoh, yaitu suatu pendekatan yang menggabungkan karya dan tokoh dalam pembicaraan tentang perkembangan sastra (Teeuw, 1984). Faktor-faktor sosial budaya yang diungkapkan juga dalam ISSI tampak hanya dimaksudkan untuk menperjelas pembicaraan tentang karya dan tokohnya sehingga tidak dapat dikatakan sebagai pendekatan. Hal ini terlihat dari penentuan babakan sejarah dan angkatansastra Indonesia yang selalu didasarkan atas perbedaan atau munculnya karya baru yang lain dari karya sebelumnya, pembicaraan perkembangan sastra yang difokuskan pada karya dengan latar pengarangnya dan sosial-budayanya, dan ta-taan pembicaraan perkembangan sastra yang lebih banyak ditekankan pada karya. Sebagai contoh, dalam pembicaraan periode 1900 – 1933 dibicarakan ihwal bacaan liar dan Komisi Bacaan Rakyat, sajak-sajak Muhammad Yamin dan Rustam Effendi, Balai Pustaka dan roman-romannya, dan peranan Sanusi Pane (lihat hlm. 15-34). Dengan demikian, ISSI menggunakan pendekatan gabungan antara karya dan tokoh penting dengan bantuan konteks sosial budaya (Teeuw, 1984).

SBI I dan SBI II karya Teeuw menggunakan pendekatan lain lagi. Berdasarkan pengamatan dapat disimpulkan bahwa dalam SBI Idan SBI II Teeuw berusaha menerapkan pendekatan semiotika. Dalam pendekatan ini ia berusaha menjelaskan dinamik sistem sastra dari berbagai karya sastra yang penting, menghubung-hubungkan sejarah umum terutama faktor-faktor sosial politik dengan perkembangan sastra, menghubungkan penjelasan satu karya sastra dengan karya sastra lain (intertektu-alitas teks sastra), menghubungkan karya sastra dengan konteks sosial budayanya, dan menghubungkan karya lisan dengan karya sastra Indonesia. Hal ini dapat diperiksa, misalnya, pada pembicaraan sastra sebelum perang (lihat hlm. 15-119). Demikian juga pembicaraan sastra periode sesudah tahun 1965 (lihat hlm. 43-212).

Selanjutnya dalam LSIM karya Jakob Sumardjo, berdasarkan pengamatan sepintas, dapat disimpulkan menggunakan pendekatan sejarah umum atau sekurang-kurangnya pendekatan sosiologi sastra. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Jakob Sumardjo pada awal LSIM ketika mengemukakan motivasi menulis LSIM. Dikatakan Jakob, “Dorongan utama menulis buku kesejarahan ini adalah keluhan seorang mahasiswa Jepang yang belajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Nasional Jakarta. Ia menyatakan bahwa untuk memahami sejarah sastra Indonesia Indonesia perlu juga penjelasan mengenai latar belakang zaman (sosial-politik-budaya) kapan kesusastraan itu muncul. Sudah tentu keluhan demikian itu dapat dipahami…. (LSIM, v)

Selain itu, dapat pula dilihat dalam pembicaraan-pembicaraan tentang babakan sejarah sastra yang terdapat dalam LSIM. Sebagai contoh, pembicaraan tentang sastra Balai Pustaka berkisar pada persoalan latar munculnya Balai Pustaka, keberadaan Komisi Bacaan rakyat, sosok lembaga Balai Pustaka, peranan sastra Melayu, Jawa, dan Sunda bagi perkembangan sastra Indonesia, perkembangan sastra Melayu, tema-tema sastra zaman Balai Pustaka, ciri-ciri sastra zaman Balai Pustaka, syair-syair zaman yang terbit pada zaman Balai Pustaka, sastra-sastra terjemahan pada zaman Balai Pustaka, dan tokoh-tokoh sastra yang penting pada zaman Balai Pustaka (lihat hlm. 31-62). Hal ini jelas menunjukkan bahwa pendekatan sejarah umum atau sosiologi sastra digunakan dalam penulisan LSIM. Berbeda dengan SSIM yang terfokus pada sejarah politik, pendekatan sejarah umum LSIM lebih terfokus pada sejarah sosial budaya.

Berdasarkan uraian di atas tempakbahwa keenam historiografi yang disinggung di atas menggunakan pendekatan berbeda-beda. KBI menggunakan pendekatan tokoh penting dalam pembicaraan karya-karya sastra dan perkembangan sastra Indonesia; SSIM menggunakan pendekatan sejarah umum khususnya sejarah sosial politik yang materalistis-marxis; ISSI menggunakan pendekatan pendekatan paduan karya dan tokoh penting sastra Indonesia; dan SBI I dan SBI II mencoba menggunakan pendekatan semiotika meskipun belum konsisten; serta LSIM menggunakan pendekatan sejarah umum khususnya sejarah sosial budaya atau pendekatan sosiologi sastra menurut perspektif Allan Singewood. Hal ini menunjukkan bahwa penulisan sejarah sastra Indonesia tidak menggunakan pendekatan motif dan tema karya sastra dan pendekatan pengaruh asing (lihat Teeuw, 1984) sehingga dapat dikatakan penulisan sejarah sastra Indesia sangat puristis; ada semacam sikap puristis dalam menyikapi sastra Indonesia.

Bersambung…

2 Replies to “PENULISAN SEJARAH SASTRA INDONESIA (11)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *