PENULISAN SEJARAH SASTRA INDONESIA (16)

: LUBANG HITAM YANG HARUS DITAMBAL

Djoko Saryono

Dari esai-esai terdahulu, kita menjadi tahu bahwa sejarah sastra Indonesia agaknya dikuasai oleh paradigma nasionalitas. Paradigma ini terkesan menjadi kekuatan hegemonis dalam penulisan sejarah sastra Indonesia. Keadaan ini berlangsung hingga sekarang, setelah lebih setengah abad sastra Indonesia. Tak heran, hampir semua historiografi sastra Indonesiasenantiasa menempatkan, melihat, dan membicarakan sastra Indonesia; dalam hubungannya dengan negara-negara Indonesia. Sejarah sastra Indonesiapun terasa menjadi nasionalistis-ideologis. Ini berarti bahwa yang kita miliki adalah sejarah-makronasional sastra Indonesia. Narasi besar-umum sastra Indonesia.

Simaklah buku Sejarah Sastra Indonesia Modern karangan Bakri Siregar, Kesusastraan Baru Indonesia karya Zuber Usman, Pokok dan Tokoh I dan II atau Sastra Indonesia Modern I dan II karya A. Teeuw, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia karya Ajip Rosidi, dan Lintasan Sastra Indonesia Modern karya Jakob Soemardjo. Dalam beberapa buku ini, modernitas, nasionalisme, transformasi bahasa Indonesia, dan pelbagai peristiwa nasional lain selalu muncul sebagai dasar dan titik tolak pembicaraan sastra Indonesia. Bisa dikatakan, buku-buku itu merupakan representasi atau manifestasi paradigma nasionalitas. Itu sebabnya, buku-buku itu pada dasarnya adalah buku sejarah nasional sastra Indonesia.

Ketika sastra Indonesia tak tumbuh dan berkembang sepesat sekarang, dalam arti pusat-pusat penciptaan dan peristiwa sastra Indonesia masih terbatas di tempat tertentu, sejarah-makronasional sastra Indonesia bisa memberikan keuntungan berarti. Gambaran makro sastra Indonesiabisa disajikan tanpa terlalu banyak distorsi dan reduksi. Tapi, ketika sastra Indonesia sudah tumbuh dan berkembang begitu pesat seperti sekarang, di mana pusat-pusat peristiwa sastra Indonesia tumbuh dan berbiak di banyak kota atau daerah di Indonesia yang disangga media umum dan media sastra yang relatif banyak, sejarah nasional sastra Indonesia bisa mengalami distorsi dan reduksi secara berlebihan. Banyak peristiwa sastra Indonesia di banyak daerah akan luput dari liputan, padahal tergolong penting dan berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia.

Itu sebabnya, sejarah-makronasional sastra Indonesia perlu didampingi sejarah lokal sastra Indonesia. Perjalanan eksistensial sastra Indonesia memerlukan sejarah lokal sastra Indonesia, misalnya sejarah sastra Indonesia di Surabaya, sejarah sastra Indonesia di Makassar, sejarah sastra Indonesia di Minangkabau, sejarah sastra Indonesia di Medan, sejarah sastra Indonesia di NTT, dan sejarah sastra Indonesia di Papua. Hal ini agar berbagai peristiwa sastra Indonesiadi daerah yang umumnya cuma dipandang peristiwa kecil sehingga luput dan terselip dari sejarah sastra Indonesiatak hilang begitu saja dan memberikan kesaksian perjalanan eksistensial sastra Indonesia. Dengan begitu distorsi dan reduksi berlebihan dari sejarah nasional sastra Indonesia bisa “dikompensasi” sejarah lokal sastra Indonesia. Sejarah sastra Indonesiapun bakal jadi pluralistis.

Penulisan sejarah lokal sastra Indonesia, sayang bisa dikatakan belum banyak dikerjakan. Kita belum pernah melihat keberlimpahan historiografi sastra Indonesia khusus dari berbagai kantong budaya, seni, dan sastra di berbagai tempat/daerah di Indonesia, misalnya Solo, Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang, Bali, dan Surabaya. Apalagi di pusat-pusat baru sastra Indonesia seperti Banjarbaru, Semarang, dan Papua. Berbagai tulisan Suripan Sadi Hutomo mengenai berbagai segi perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur, khususnya di Surabaya, memang bisa dianggap karya rintisan sejarah lokal sastra Indonesia, tapi belum bisa dikatakan sebagai historiografi lokal sastra Indonesia yang utuh-bulat dan memadai. Tulisan-tulisan Yan Sehandi memberi kontribusi berarti bagi sejarah sastra Indonesia di NTT, namun masih perlu diperkuat dimensi filosofis, teoretis, dan metodologisnya. Ini perlu ditindaklanjuti oleh para sejarahwan sastra. Sudah waktunya para sejarahwan sastra menulis sejarah lokal sastra Indonesia. Ibaratnya, itu lubang hitam yang perlu segera ditambal.

Itu sebabnya, dapat dikatakan, penulisan sejarah lokal sastra Indonesia tersebut sudah mendesak dewasa ini. Sebabnya, kantong-kantong budaya dan sastra Indonesia sekarang sudah demikian banyak, muncul di berbagai daerah di Indonesia yang dulu sama sekali tak pernah kita dengan atau ketahui, misalnya Sumenep, Blitar, Ngawi, Mataram, Banjarmasin, dan Banyuwangi. Juga perdebatan sastra, kegiatan bersastra, dan penerbitan sastra banyak muncul di pusat-pusat baru perkembangan sastra Indonesia, tidak hanya di pusat-pusat lama perkembangan sastra Indonesia. bali dan Surabaya misalnya, telah tumbuh menjadi pusat baru sastra Indonesia yang disangga oleh berbagai media umum dan media sastra serta penerbitan. Makassar dan Madura, juga Kupang, menjadi pusat penciptaan dan peristiwa sastra yang membetot perhatian kita.

Semua itu jelas perlu dicatat dalam sejarah sastra Indonesia agar tak terlupakan atau hilang. Sejarah lokal sastra Indonesia yang harus mencatatnya, mengawetkannya dalam historiografi sastra Indonesia. Sejarah lokal sastra Indonesia ini niscaya bisa menjadi kisah kecil sastra Indonesia yang menyelamatkan dan mengawetkan berbagai peristiwa sastra Indonesia di berbagai tempat di Indonesia yang cenderung diluputkan atau dilupakan oleh sejarah nasional sastra Indonesia yang memang hanya menjadi hikayat besar atau narasi makro yang berisi peristiwa-peristiwa (yang dianggap) besar, yang tentu saja banyak “menghilangkan” kenyataan-kenyataan mikro yang bermakna.

Bersambung…

2 Replies to “PENULISAN SEJARAH SASTRA INDONESIA (16)”

Leave a Reply

Bahasa »