PENTIGRAF ITU ADALAH KARYA FIKSI

Tengsoe Tjahjono *

Tema “Pahlawan di Sekitarku” yang harus ditulis oleh para pentigrafis banyak menjebak mereka menulis riwayat singkat pahlawan. Komposisi kalimat yang muncul jadinya “Pak Arman adalah ….” Atau “Kamu adalah pahlawanku…” Nah, jika pola kalimat sudah pola definisi seperti itu, kita tak akan bercerita, tetapi mendeskripsikannya. Tuturan jadi sangat deskripstif dan verbal.

Bagaimanapun pentigraf itu adalah karya fiksi, karya rekaan. Seperti yang sudah saya jelaskan berkali-kali, bahan karya fiksi adalah realitas atau pengalaman sehari-hari. Hanya saja realitas atau pengalaman sehari-hari itu sudah diolah menjadi realitas atau pengalaman baru. PENGOLAHAN menjadi REALITAS BARU itulah yang membedakan karya fiksi dan karya nonfiksi.

Tema tentang tukang sampah sebagai pahlawan sangat banyak ditulis dalam proyek kali ini, termasuk tema ayah atau ibu sebagai pehlawan. Hanya saja pentigraf itu sebatas menulis kebaikan mereka sebagai pahlawan. Anasir konflik dan ending yang penuh kejutan tidak dihadirkan. Bahkan, seringkali pahlawan hadir sebagai DEWA PENOLONG, DEUS EX MACHINA, tanpa diolah hubungan kausalitas secara logis.

Berikut ini saya mencoba menulis pentigraf tentang tukang sampah sebagai pahlawan. Tukang sampah kita akui sebagai pahlawan dalam realitas faktualnya, hanya dalam pentigraf realitas faktual itu harus diolah menjadi realitas baru dengan cara menambahi realitas lain atau pikiran-pikiran kritis penulisnya.

JALAN TOBAT

Sepagi ini gerimis sudah turun. Hawa kotaku yang sudah dingin, semakin dingin terasa. Gigitannya terasa menembus jaket parasit yang aku kenakan. Gerobak tetap aku dorong menelusuri jalan kecil di perumahan. Apa pun yang terjadi sampah-sampah harus terangkut dan bersih. Pekerjaan ini sudah aku jalani selama hampir sepuluh tahun. “Pak, berteduh dulu,” seru Bu Sutri dari teras rumahnya. Aku hanyamengangguk sambil tersenyum. Gerimis bukan penghalang bagiku. Gerobak yang semakin berat pun terus kudorong.

“Apa jadinya kampung ini tanpa Bapak,” begitu sering kudengar. Bagiku yang kukerjakan bukanlah apa-apa. Tugasku memang mengumpulkan sampah, lalu membuangnya ke tempat pembuangan sampah yang terletak di timur pasar. Tiba di ujung jalan kudapati banyak orang berkerumun. Ternyata ada pencuri menjebol gembok pagar. Sebuah Vario pun raib.

Aku tertegun, nyaris terdiam. Bayangan tiga belas lalu pun melintas. Pagi-pagi begini aku nyaris jadi daging cacah setelah diajar penduduk sebab ketahuan njambret kalung siswi yang mau berangkat ke sekolah. Di kantor polisi aku mengaku sudah menjambret lebih dari 40 kali. Pagi itu pagi sialku. Siswi itu berani menendangku sambil berteriak. Kudorong lagi gerobak sampahku. Aku niatkan ini sebagai jalan tobatku. Biar kubuang sampah di kelam jiwaku.

Malang, 14 Mei 2021

SANG PEMURAH

Tiap pagi kami bertiga sudah menunggu di ujung gang. Mungkin orang-orang masih tidur, kami sudah menunggu kehadirannya. Setelah kumandang adzan subuh selesai, yang kutunggu datang, Berbaju kuning dengan gerobak yang didorongnya.

“Oh, kalian sudah menungguku, ya?” sapanya. Kami mengangguk nyaris bersamaan. Sambil berjalan di belakangnya, kami mendengarkan ceritanya. Tentang anaknya yang hanya satu, yang kini sedang belajar jauh di ibu kota. Mengapa harus punya anak lebih dari seorang, biayanya sangat besar untuk merawat dan membesarkannya, katanya sambil ketawa kecil. Kami hanya mengangguk-angguk. Di tiap rumah ia berhenti, mengambil sampah di tempat sampah, memasukkan ke gerobaknya. Selalu ia berhenti di ujung gang. Dikeluarkanlah nasi dan ikan asin yang dibawanya, meletakkan di piring seng yang sudah disiapkan. Kemudian, menyilakan kami bertiga makan. Sungguh luar biasa.

Subuh ini kami bertiga sudah menunggu seperti biasanya. Adzan subuh sudah berlalu begitu lama. Kami mulai gelisah, saling pandang di antara kami. Kami susuri gang itu tanpanya. Tiap tempat sampah kami buka, masih penuh tak tak tersentuh. Tiba-tiba pemilik rumah keluar. Sambil marah-marah sebuah sandal dilemparkan ke kami, “Minggat. Kucing hanya bisa bikin kotor!” Untung kami bisa menghindar, dan berlari menjauh. Kenapa Sang Pemurah itu tidak datang pagi ini? Semoga besok pagi kami tidak sia-sia menunggu.

Malang, 14 Mei 2021

*) TENGSOE TJAHJONO, lahir di Jember 3 Oktober 1958. Penyair yang mempunyai hobi membaca ini merupakan staf pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FPB Unesa Surabaya. Di samping itu ia juga mengajar di Universitas Widya Mandala Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, dan STKIP PGRI Sumenep. Puisi, cerpen, novel, bahkan naskah drama telah ditulisnya, di samping beberapa buku di bidang sastra. Artikel-artikelnya dimuat di pelbagai media seperti Jawa Pos, Surabaya Pos, Surya, Republika, Kompas, Horison, dan sebagainya.

Leave a Reply

Bahasa »