Nol

Arie MP Tamba
jurnalnasional.com

Nol Buku! Itulah puncak sarkasme yang pernah dilontarkan penyair Taufiq Ismail tentang jumlah buku sastra wajib di sekolah-sekolah menengah kita. Padahal, di jenjang pendidikan yang sama, (tidak untuk memuji, tapi mengemukakan fakta), pada zaman Belanda, masing-masing siswa harus membaca 15 sampai 20 buku sastra wajib. Jumlah yang masih terus dipertahankan sampai kini di sekolah-sekolah menengah di Eropa, Amerika, bahkan Asia, seperti Singapura, Jepang, Malaysia, dan juga Brunai Darussalam. Continue reading “Nol”

Kritik

Arie MP Tamba
jurnalnasional.com

Sebagai seorang pembaca karya sastra, saya mempercayai apa yang dikatakan Jauss yang kemudian lebih dikenal sebagai paham teori resepsi, bahwa karya sastra bukanlah sebuah obyek yang berdiri sendirian dan menawarkan wajah yang sama kepada setiap pembaca dalam setiap periode. Sebab, lanjut Iser (temannya Jauss), setiap pembaca selalu berpartisipasi aktif dalam pembacaannya, sesuai cakrawala harapan atau pengetahuan kesusastraannya masing-masing. Continue reading “Kritik”

Lirik

Arie MP Tamba
jurnalnasional.com

Kritikus sastra Indonesia berkebangsaan Belanda, A Teeuw, pernah merasa “kehilangan” Rendra. Itulah yang dialami A Teeuw sebagai pecinta puisi-puisi Rendra – periode sebelum puisi pamflet (1970-an). Puisi-puisi pamflet, yang banyak mempersoalkan kehidupan masyarakat keseharian, termasuk masalah pendidikan, ekonomi, politik, bahkan kebijakan pembangungan – yang disampaikan juga dalam bahasa sehari-hari – membuat A Teeuw tidak mendapatkan kenyamanannya sebagai pembaca. Continue reading “Lirik”

Hantu

Arie MP Tamba
jurnalnasional.com

Sejarah sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya. Di dalamnya dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan dekade terakhir juga reaksi dari pihak pembaca. Ini semua dapat dihubungkan dengan perkembangan di luar bidang sastra, seperti ilmu sosial dan filsafat. Continue reading “Hantu”