Menggeramkan “Cantik Itu Luka”

Bambang Kariyawan Ys
riaupos.co

Tulisan ini diawali ketika membaca berita bahwa novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan mendapat penghargaan internasional. Terbayang kembali pada tahun 2002 penulis pernah membaca novel ini ketika pertama kali terbit oleh Penerbit Jendela dan Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Saat selesai membaca novel tersebut dan berdiskusi sesama pembaca terjadi pro kontra. Ada pembaca yang pencinta sastra mengatakan bahwa novel ini dahsyat. Namun ada pembaca lain yang mengatakan jangan membaca novel tersebut. Rusak pikiran kita, apalagi kalau anak-anak remaja yang membaca, bahaya! Mengapa dilarang dan berbahaya membacanya?! Pasti ada sesuatu.

Sebuah Jalan Menjadi Cantik

Novel sepopuler ini tentunya sudah banyak yang membaca dan mengapresiasi dengan cara dan sudut pandang yang berbeda. Kita lihat kilas balik melalui uraian singkat alur ceritanya berkisah tentang Dewi Ayu sangat cantik, banyak pria yang birahi melihatnya, mereka menginginkan satu malam bercinta dengannya dan melakukan apapun yang pernah mereka bayangkan. Didesak oleh keadaan sebagai tahanan, diusia yang masih relatif muda, Dewi Ayu terpaksa menjalani hidup sebagai pelacur di rumah Mama Kalong, bekerja melayani tentara Jepang memenuhi kebutuhan badaniah mereka.

Sebagai seorang pelacur, Dewi Ayu sangat terkenal dan merupakan yang paling mahal di Halimunda. Berhubungan badan dengan begitu banyak orang, Dewi Ayu melahirkan putri-putri yang tak pernah tahu siapa ayah mereka. Ketiga putri Dewi Ayu pun mewarisi kecantikan ibunya yang sejak dini sudah terlihat dan banyak orang menantikan mereka bertumbuh menjadi gadis sempurna yang siap untuk ditiduri.

Dewi Ayu cukup kesal melihat kehidupan ketiga putrinya yang selalu bersinggungan dengan lelaki, menggoda mereka, bahkan membuat pria-pria patah hati dengan sengaja, Ia tahu kecantikan mereka suatu saat akan berakibat buruk bagi mereka sendiri. Sehingga ketika ia tahu kalau ia mengandung anak keempat, Ia berdoa supaya anak dalam kandungannya diberikan wajah yang sangat jelek. Ia membayangkan hidung seperti colokan listrik, telinga serupa panci, kulit hitam legam seperti arang sisa bakaran dan itulah yang terjadi ketika ia melahirkan putri keempatnya, dua belas hari sebelum ia meninggal. Anak terakhirnya itu diberi nama Cantik.

Penokohan Ganjil dan Perilaku Seksual Menyimpang

Maman S. Mahayana menyebutkan bahwa ini adalah jenis novel ngawur. Ia bahkan menyebut kelakuan para tokoh dalam novel ini tidak logis menurut ilmu psikologi. Perilaku semua tokoh penting dalam novel ini aneh, perilakunya tidak meyakinkan secara psikologi dan logika berpikir yang mereka gunakan menyerupai logika berpikir orang gila. Novel ini memang bicara tentang dunia timur namun benar-benar telah menabrak nilai dan norma dunia ketimuran.

Novel ini menjadi aneh dan unik karena menampilkan detil tokoh utama yang memiliki perilaku-perilaku ganjil. Keganjilan itu dapat dikelompokkan dalam perilaku oedipus complexs (konsep dalam psikoanalisis Sigmund Freud berupa kecemburuan seorang anak kepada sosok yang lebih tua dari dirinya), narsisme (perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan), dan fantasme (konsep skenario imajiner dengan subjek melaksanakan hasratnya).

Selain kegilaan dan keganjilan tokoh-tokoh utama dalam novel ini juga tergambarkan beragam perilaku seksual menyimpang. Seperti perilaku bestially, perilaku senang melakukan hubungan seks dengan binatang peliharaan dalam hal ini tokoh Ma Gedik karena tidak tersalurkannya nafsu seksualnya maka disalurkan dan digambarkan secara liar berhubungan seksual dengan sapi betina, ayam, dan domba.

Belum lagi perilaku seksual menyimpang incest (perkawinan sedarah), menyaksikan orang sedang berhubungan seksual, menghilangkan keperawanan dengan cara yang aneh, serta beragam perilaku seksual yang menimbulkan imajinasi liar yang tak tergambarkan sebelumnya. Lantas apakah novel ini termasuk dalam kategori novel porno? Tentu saja tidak, hanya bila menelisik setiap perilaku ganjil dan perilaku seksual pelaku-pelaku utama maka pembaca awam akan digiring untuk berfantasi “liar” akan masalah ketabuan itu. Namun pembaca sastra tentu tidak akan melihat itu namun yang dilihatnya adalah kelihaian pengarang mempermainkan imajinasi pembaca memang sangat berhasil. Bahkan sangat berhasil.

Memang semua itu adalah bagian dari dinamika kehidupan realitas sosial yang ada di masyarakat. Bertolak belakang dengan nilai dan norma yang selama ini dijunjung bangsa ini untuk perperilaku sebagai bangsa yang santun, apalagi tetap kita masih menjaga ketabuan dalam membincangkan urusan pertemuan dua kelamin secara vulgar. Lantas apakah semua realitas sosial harus terungkapkan dengan dalih asal tetap relevan dengan alur cerita? Serta tidak terkesan diada-adakan sehingga semua bisa dieksplor? Tidak dipungkiri persoalan-persoalan semacam ini memang ada dalam masyarakat kita, namun cara penggunaan bahasa dalam menyampaikannya perlu kesopansantunan serta muatan pesan positif. Hal ini berkaitan dengan bacaan berpengaruhi terhadap pembentukan karakter seseorang.

Apresiasi yang Menggeramkan

Beauty is Wound atau Cantik Itu Luka berhasil memenangkan penghargaan perdana World Readers. Acara ini disponsori oleh Hong Kong Science and Technology Parks Corporation yang menekankan inovasi dan kreativitas manusia. Dalam sebuah pernyataan yang diterima penyelenggara penghargaan, Eka Kurniawan mengatakan dirinya berbicara atas nama sastra Indonesia. Novel Beauty is Wound telah diterjemahkan ke dalam 24 bahasa.

Menurut penulis terlepas dari gemilangnya prestasi yang diraih atas novel ini tetap saja ada kondisi “menggeramkan”. Mengapa? Penulis melihat setiap pemberian penghargaan tentu ada alasan dan efek yang akan ditimbulkannya. Alasan pemberian tidaklah menjadi permasalahan mengingat para pakar sastra tentunya telah mempertimbangkan dengan detil kelayakannya. Apalagi pengarang (Eka Kurniawan) sempat dijuluki the next Pramoedya Ananta Toer.

Dari novel ini gambaran perjalanan sejarah bangsa ini sejak penjajahan Belanda, Jepang hingga pasca penjajahan diungkap dengan detil dari sisi yang berbeda bahkan tidak tersebut dalam buku-buku pelajaran sejarah. Setiap tokoh dalam cerita ini walaupun bukan tokoh utama digambarkan dengan utuh dan bukan sebagai pelengkap saja. Deskriptif setiap kalimat tidak terlewatkan dengan kalimat-kalimat yang rapat dengan penjabaran yang kuat. Kondisi kepenulisan seperti ini memang sangat perlu dipelajari dan dijadikan referensi oleh para pengarang-pengarang baru untuk belajar menghasilkan karya-karya yang melebihi standar.

Namun pada sisi efek pemberian penghargaan ini bisa saja memunculkan penilaian bahwa yang digambarkan dari novel ini sebagai cerminan kehidupan masyarakat bangsa kita. Terlepas pada aspek non etis dan kebebasan dalam bersastra namun sedikit banyak novel ini akan mempengaruhi pembaca tentang hal-hal “menyeramkan” dalam berperilaku seksual menyimpang. Makanya pantas ketika beberapa teman penulis menganggap “berbahaya” novel ini bila dibaca bagi pembaca awam.

Pelajaran untuk Sastrawan Riau

Kesantunan namun menggigit yang dimiliki sastrawan-sastrawan Riau menjadi modal utama untuk bisa lebih mendunia. Warisan kekayaan literasi telah mengendapkan benih-benih gairah dalam menuliskan karya-karya. Budaya santun berbahasa menjadi pembingkai untuk menghasilkan karya-karya “jujur dan berbudaya”.

Banyak cara elegan dan bermetafora tinggi yang telah ditunjukkan sastrawan Riau ketika mengungkapkan realitas sosial yang mengarah pada berbau ketabuan. Budaya Melayu Riau telah mengajarkan untuk mengungkapkan sesuatu dengan keindahan. Inilah modal besar untuk menghasilkan karya-karya yang bermartabat.

Sudah saatnya karya-karya sastrawan Riau mulai melirik dan dilirik dunia. Pintu pembukanya adalah lewat penterjemahan karya. Untuk itu peran penterjemahan nampaknya menjadi peran penting sebagai pembuka karya untuk dikenal dunia. Salah satu komunitas penulis di Riau yang saat ini mengambil peran itu adalah Forum Lingkar Pena Riau dengan membentuk Divisi Penerjemahan. Harapan kedepan dari konsistensi berkarya dengan terus menggali segala potensi lokalitas di bumi bertuah ini dipoles dengan penerjemahan karya, maka akan lahirlah karya-karya sastrawan Riau yang mendunia.

*) Bambang Kariyawan Ys, Guru Sosiologi SMA Cendana Pekanbaru. Aktif bergabung di Forum Lingkar Pena Riau. Telah menerbitkan buku kumpulan cerpen “Numbai” dan beberapa buku kumpulan puisi, novel, dan pendidikan. Peserta undangan MMAS (Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra) Kemdiknas, Penerima Anugerah Sagang, dan Peserta Ubud Writers and Readers Festival.
http://www.riaupos.co/2890-spesial-menggeramkan-cantik-itu-luka.html

Leave a Reply

Bahasa »