: Dipetik dari Ujaran-Ujaran Hidup Sang Pujangga *
1. Hutang Rindu
“2. Kerinduan adalah doa paling suci.”
Malam. Sepi bertabur bintang. Daun-daun setengah tertidur dibuai lembut bayu. Kegelapan malam menambah cekam hatiku yang sudah sedemikian rapuh menahan rindu. Sepuluh purnama telah berlalu ketika terakhir kali kupeluk sepenuh cinta dia. Lelaki itu. Rindu terhadapnya tidak pernah pupus, apapun tindakan yang dilakukannya, selalu doaku mengalir menganak sungai.
Jarak dan waktu terbentang. Keadaan menambah sulit situasi. Berdua, kami tak berani melanggar aturan dan protokol yang ditetapkan. Aku tahu semua tindakan yang diambilnya. Nalurinya sebagai lelaki telah menguasainya. Dia yang harus berinisiatif, bukan aku.
Malam. Bertabur bintang. Hujan dan angin silih berganti. Pangkuanku basah. Mata air yang mengalir, bersimpuh di palungku. Cahaya lilin dan butiran Rosario menjadi saksi lelah letih dan kantukku. Juga doa-doa yang mendaras mengalir deras menyampaikan rindu yang tak akan pernah lunas. Aku selalu gembira untuk mengambil hutang.
SDS. 26.12.2020
2. Lelaki Yang Memelukku Dalam Diam
:: Untukmu, elang terluka dalam setiap kata bernama “kita”
“89. Sayang, sayapnya jauh menjangkau, tetapi tak mampu berkicau; elang.”
Tak ada yang lebih kutunggu dari ucap salammu. Tentang rindumu? Jangan ditanya. Aku mendambanya di setiap helaan nafasku. Musim lalu dan musim kini, hatiku selalu bernyanyi, mengidungkan syair rindu dan cinta. Perih yang mengiris, tawanan yang memenjara. Kita sama-sama tak rela untuk belajar ikhlas.
Kepak sayapmu yang demikian kokoh, mendekapku erat penuh kehangatan. Kurasakan detak jantungmu yang demikian gemuruh tak beraturan. Kueja aksara yang kutemukan. Aku tak terkejut sama sekali ketika nama yang kubaca itu nama kita.
Lalu apa yang kita sembunyikan selama ini? Di sebalik kap lampu dan engsel pintu, kau simpan pelukmu yang paling hangat. Kau nyalakan api untuk menghangatkanku dan kita pilih sepi menjalani hidup sendiri. Kita bukan kekasih bayangan satu sama lain. Tapi kesedihan ini demikian nyata. Aku tak berdaya. Seperti halnya dirimu. Senja datang lebih cepat, kabut yang menyelimutinya mengusirku kembali ke tanah aku berpijak. Kau dengan perkasa di udara. Sayapmu terluka dan kau tak bersuara. Demikianlah kita. Terpenjara rasa. Aku menginginkanmu sebenarnya.
SDS. 27.12.2020
3. Tentang Perempuan Yang Tak Pernah Kau Peluk
“8. Wanita mengubah jalan revolusi lebih cepat dari rencana.”
Baiklah. Kalau kamu tidak mau belajar. Aku yang belajar. Kisah Amba dan Bisma, kisah Helen dan Paris, kisah Shinta dan Rama. Aku belajar. Aku belajar. Tak sadarkah kamu, perempuan-perempuan itu telah mengubah jalan revolusi lebih cepat dari rencana?
Selalu saja engkau termangu. Tak pernah sigap dengan perasaanmu. Selagi engkau tergugu, aku hanya bisa memandangimu. Terbengong. Terlongong. Aku menabrak tiang gantungan.
Apa yang akan engkau putuskan tentang kita? Bunga-bunga api, ladam-ladam rindu dan gelombang pasang tak juga membuatmu bergeming. Biarkan aku, perempuan yang tak pernah kau peluk ini, menjadi Ken Umang. Kucuri perhatian Arok, akan kunegosiasikan. Aku mau keris Gandring itu membuatmu gandrung. Padaku.
SDS. 28.12.2020
Keterangan:
* Kalimat pembuka yang bertanda petik merupakan “Ujaran-Ujaran Hidup Sang Pujangga,” yakni sebuah kitab kumpulan kata mutiara yang ditulis Nurel Javissyarqi selama 10 tahun (1994-2004), cetakan ke IV, Desember 2020 oleh Penerbit PUstaka puJAngga dan Pustaka Ilalang, Lamongan.
Bersambung: http://sastra-indonesia.com/2021/01/dua-pentigraf-siwi-dwi-saputro/
One Reply to “Tiga Pentigraf Siwi Dwi Saputro”